Harapan Palsu Industri Esports

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
9 Januari 2023 20:50 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar : pexels.com @yankrukov
zoom-in-whitePerbesar
Gambar : pexels.com @yankrukov
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa tahun ke belakang, kehidupan SMA saya dipenuhi dengan video game. Setiap pulang sekolah saya bisa menghabiskan lebih dari 3 jam untuk bermain game seperti League of Legends maupun Counter Strike. Pada saat itulah saya menemukan sesuatu yang bernama esports, di mana para pemain terbaik di game tersebut berkompetisi dalam sebuah turnamen untuk menjadi yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, menjadi atlet esports bisa dibilang impian yang biasa dimiliki oleh anak seusia saya. Melihat Bugha, yang pada saat itu berusia 16 tahun, memenangkan kejuaraan The Fortnite World Cup 2019 dengan membawa hadiah sebesar $3 juta merupakan sebuah hal menakjubkan. Sekarang, impian anak-anak itu semakin menjadi suatu yang biasa sejalan dengan pesatnya perkembangan industri esports .
Esports merupakan salah satu industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Dari tahun 2015-2021, industri ini tumbuh hampir 4 kali lipat, dari 325 juta dolar tumbuh menjadi 1,22 miliar dolar. Jumlah ini diprediksi juga akan mengalami peningkatan untuk tahun-tahun ke depannya.
Hal tersebut sejalan jika melihat industri video game itu sendiri. Pada tahun 2021, pasar game dunia mendapatkan pemasukan sebesar 180 miliar dolar, pendapatan tersebut lebih besar industri hollywood dan musik digabung.
ADVERTISEMENT
Melihat data tersebut, industri esports digadang-gadang menjadi industri yang sangat menjanjikan untuk masa depan. Namun, perkembangan industri yang cepat bisa jadi terlalu cepat bagi kita untuk menyadari segala macam permasalahannya. Sama seperti industri lain, esports juga ditimpa masalah dari berbagai bidang.
Masalah ini datang karena perkembangan industri yang cepat tak bisa menandingi kecepatan regulator untuk membuat aturan. Banyak pihak-pihak menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk meraup keuntungan. Masalah lain juga bisa disebabkan industri ini masih belum dianggap serius oleh khalayak umum, mengakibatkan ketidakpekaan terhadap permasalahan yang ada.
Hal kontradiktif yang bisa dilihat dari permasalahan industri ini adalah kesenjangan pendapatan. Pada tahun 2021, kejuaraan dunia game Dota 2 ,The International, menetapkan total hadiah sebesar 40 juta dolar. Juara pertama mendapatkan hadiah sebesar 18 juta dolar.
ADVERTISEMENT
Di atas kertas, industri esports Dota 2 seakan memberikan jaminan pendapatan yang besar bagi para pemainnya. Hal ini diyakinkan dengan marketing dan fakta bahwa total hadiah 40 juta dolar merupakan yang terbesar di industri ini. Akan tetapi, kenyataannya hanya satu persen pemain kelas atas yang dapat menikmati pendapatan yang besar tersebut.
Penelitian dari Christopher M. McLeod dalam Department of Sport Management, University of Florida menunjukkan Dota 2 merupakan game dengan rasio gini pendapatan tertinggi yaitu puncaknya mencapai 0,94 berdasarkan sampel dari 4 game esports populer lainnya, League of Legends, Counter Strike, Starcraft II dan Fortnite.
Data lain juga mendukung adanya kesenjangan pendapatan besar yang ada di industri ini. Ada ketimpangan pendapatan yang sangat besar pada tahun 2015-2019. Pada tahun tersebut jugalah industri ini berkembang pesat dan terlihat juga garis tersebut relatif stabil tanpa ada perubahan . Hal ini menandakan, seiring dengan berkembagnnya industri esports, kesenjangan pendapatan semakin melebar.
ADVERTISEMENT
Model bisnis industri ini utamanya berasal dari sponsor. Berbagai produk berbondong-bondong masuk agar namanya dapat terpasang di kompetisi esports dunia. Sebut saja Mastercard, brand kartu international ini merupakan sponsor utama turnamen esport terbesar di dunia yaitu League of Legends Worlds Championship sejak tahun 2018. Selain itu, pada tahun 2020, banyak merk terkemuka menghabiskan sekitar 1.2 miliar dolar untuk sponsor dan iklan esports, naik dari 517 juta dolar di tahun 2017.
Angka tersebut memang terlihat fantastis. Tetapi jika diteliti, model bisnis industri ini cukup lemah karena hanya mengandalkan sponsor sebagai sumber pendapatan utama. Pada tahun 2020, meskipun pasar esports tetap tumbuh meski dihantam badai pandemi, banyak turnamen dan kompetisi dibatalkan dan mengakibatkan pendapatan industri ini mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Tak seperti industri olahraga konvensional, pendapatan industri esports tidak terlalu beragam. Hak media untuk menayangkan pertandingan masih minim, pendapatan tiket masih terlalu sedikit dan merchandising masih belum terlalu terjangkau oleh pasar. Hal ini menyebabkan penyelenggara event sulit mendapatkan keuntungan.
Sama halnya dengan penyelenggara acara, model bisnis klub esports juga memiliki masalah. Penggalangan dana, sponsor, dan pengembangan konten merupakan tiga sumber utama pendapatan klub esports. Masalah pendanaan klub menjadi penting karena para pemain ini bergantung hidupnya pada klub yang mereka tempati.
Model bisnis yang tidak menguntungkan akan berakibat pada pendapatan klub dan pada gaji pemain. Kasus klub tidak membayarkan gajinya ke pemain sudah seringkali terjadi. Pada tahun 2019, lima pemain Epsilon Esport mengatakan pada media ESPN bahwa mereka dijanjikan akan menerima pendapatan sebesar 50.000 dolar per tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, para pemain mengaku hanya mendapatkan sekitar 12.500 dolar per tahun. Kasus serupa pun terjadi di Indonesia, Benzo yang merupakan pemain dari klub Onyx mengaku saat dirinya berada di Morph Team gajinya tidak dibayarkan selama 3 bulan.
Model bisnis yang kurang menguntungkan harus ditambah pula dengan permasalahan sustainability mengakibatkan banyak ketidakpastian di industri ini. Kunci kesuksesan industri esports adalah seberapa banyak pemain yang memainkan game tersebut dan seberapa tenarnya pengadaan esports game itu sendiri. Kedua hal itu sangat bergantung pada pengembang game.
Game overwatch menjadi contoh nyata permasalahan ini. Overwatch League (OWL), sebuah turnamen Overwatch resmi dunia pada awal peluncurannya pada tahun 2018 mencatatkan rata-rata penonton sebanyak 136.349 dan 349.592 untuk peak viewership. Angka ini pada tahun 2019 tumbuh sebesar 18% persen, tapi pada tahun-tahun selanjutnya, penonton OWL terus mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020 rata-rata penonton sebanyak 92.890 dan 183.036 untuk peak viewership, begitu pula untuk tahun 2021 dan 2022. Penurunan penonton pada OWL disebabkan karena overwatch mengalami penurunan jumlah pemain sejak perilisannya. Faktor terbesar penurunan ini adalah karena pengembang melakukan keputusan dalam pembaruan game yang tidak disukai komunitas pemain. Masalah ini terus berlanjut sampai membuat game tersebut tidak menyenangkan lagi untuk dimainkan.
Industri esports dipasarkan sebagai industri yang menjanjikan dan menggiurkan bagi kaum muda, namun realitanya tak semanis yang dipikirkan. Pemain profesional yang sukses selalu mendapatkan sorotan pers akan keberhasilannya serta kekayaan yang didapatkan di usia yang muda.
Akan tetapi, hanya sebagian kecil pemain profesional yang dapat mencapai hal tersebut. Mereka yang berhasil mencapai level permainan tertinggi pun kerap masih kesulitan mempertahankan karir. Industri esports masih dalam tahap awal dan rentan terhadap perubahan dan ketidakpastian. Selain itu, industri esports belum sepenuhnya mapan.
ADVERTISEMENT
Klub dan penyelenggara turnamen masih berusaha menemukan pijakan dan mengamankan pendanaan yang stabil. Pemain mungkin pada akhirnya harus berurusan dengan gaji yang tidak stabil, perselisihan kontrak, dan masalah lain yang dapat mempersulit mereka dalam mendapatkan penghasilan.
Penting bagi siapapun yang ingin terjun di industri esports untuk bersikap realistis tentang peluang sukses mereka. Dengan bersikap realistis dan proaktif tentang masa depan, para pemain esports yang bermimpi tinggi dapat mempersiapkan diri untuk sukses ataupun gagal ketika industri ini tidak menguntungkan lagi bagi mereka.
Bermain game mungkin merupakan hobi yang memuaskan dan menghibur. Tetapi, jangan terjun ke dalam dunia profesional dengan mengharapkan sesuatu yang menakjubkan.