Bilang ke Bapakmu, Aku Nggak Lulus TWK

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
30 September 2021 18:13 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bilang ke Bapakmu, Aku Nggak Lulus TWK
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum terlalu siang. Langit menjelma kelabu. Awan-awan bekejaran. Berjalan cepat, tapi tetapi tenang. Gumpalan awan putih yang terlihat lembut dan jinak, tiba-tiba menjadi pekat keabu-abuan. Berselang angin siang yang kencang bertiup, seperti siulan tukang potong daging di pasar melihat perawan anggun berdaster bunga kamboja.
ADVERTISEMENT
Langkah kaki tersandung kenyataan. Impian memburam di pelipis mata.
“Dasar memang cah bledru, kerja jauh-jauh tibake malah ikut gerombolan ora jelas”.
Bayang-bayang cemooh tetangga itu tiba-tiba menyelinap di sepanjang jalan parkir kantor yang menjadi impian ribuan atau bahkan jutaan orang. Kantor lembaga negara yang dianggap bisa memperjuangkan nasib anak bangsa ke depan.
Bajigur, dulu tes kayak gini nilaiku mesti tinggi. Kok iso aku gak lulus iki piye seh,” gerutu Giri saat mampir di warungku.
Seperti biasanya, ia memesan kopi tanpa gula. Sedangkan tangannya lincah mengunyah ote-ote. Masih hangat, belum lama dientas dari panasnya penggorengan. Matanya mengkerut. Gerutu bibir Giri terus menerus, kedongkolan hasil tes itu seperti minyak panas dalam wajan. Menggelembung dan mendidih.
ADVERTISEMENT
Di meja pojok, Giri membuka HP dan jempolnya perlahan-lahan menggeser layar. Wajah Giri terus ditekuk guratan-guratan.
Radikal apane iki, darahku saja santri. Masak aku dikira radikal. Asem tenan,” tatap Giri saat aku duduk di sebelahnya.
Dari tas punggung, ia merogoh sebuah surat pemberitahuan ditaruh di atas meja. Amplop cokelat yang dibukanya perlahan. Kop surat dari sebuah lembaga negara itu menunjukkan bahwa Giri Pamungkas, nama lengkapnya, tidak dapat melanjutkan perjalanan karir dari pegawai kontrak menjadi pegawai negeri.
Bukan masalah gaji tinggi yang ia permasalahakan ketika harus melepas tugasnya sebagai penyuluh masyarakat. Tapi, “cap” radikal dan keterangan “tidak dapat dibina” yang bakal menghantui tiap pagi dan malam Giri.
Selama sembilan tahun mengabdi bekerja di lembaga pendidikan milik negara itu memang dinilai punya penghasilan tinggi dibanding dengan upah bekerja di lembaga pendidikan kampungnya, Kediri. Ya karena jelas, lembaga itu langsung bertanggungjawab kepada Presiden Indonesia dengan misi penyelematan budaya.
ADVERTISEMENT
Kepulan asap rokok Giri terus menantang awan gelap di pinggir Pasar Setono Betek. Tak terima dengan tantangan itu, awan pun mengirimkan guyuran air hujan ke genteng warungku. Saya masih bingung, apa yang harus ditanggapi dari keluhan Giri siang ini.
Lagipula, itu sudah keputusan final dari negara untuk Giri. Toh, Giri saya kenal dari dulu sosok yang pintar sejak SMA hingga kuliah di Yogyakarta. Ia semestinya masih bisa bekerja yang lain. Minimal jadi tukang ketik di warnet pinggir kampus seperti waktu kuliah dulu. Atau bisa juga dia buat lembaga penelitian untuk mahasiswa yang “pingin” menyelesaikan skripsi sampai disertasi. Batinku.
-------------
“Lha selama ini masak aku pernah ngasih penyuluhan jadi teroris? Malah tugasku di lapangan memotivasi masyarakat agar tetap melestarikan kearifan lokal. Kok aku diarani radikal koyok teroris, bedes....bedeeesss,” sambungnya sambil mengetuk-ketuk surat tadi.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya ada apa bosku? Masuk warung kok ya langsung gas pol,” sahutku. Singkat kalimat yang saya kirimkan untuk menanggapi Giri. Karena memang kebingungan ada masalah apa yang menimpa laki-laki 28 tahun itu.
Seperti biasa, asap rokok dari mulut Giri menyembur ke wajahku. Dengusan napas menambah kecepatan asap menabrak pori-pori kulit wajahku.
Ia mengangkat kaki kanannya dan ditaruh di lutut kirinya. Ancang-ancang sempurna saat Giri hendak bercerita. Rupanya, Giri tak dapat melanjutkan profesi penyuluhnya karena adanya peraturan baru. Sehingga, Giri terpaksa dikeluarkan dari Komisi Pelestarian Budaya Nasional.
Dalam tugas, Giri sering sekali diberangkatkan kantornya ke daerah-daerah terpencil. Ia mengumpulkan data tentang keberadaan situs dan cerita lokal yang berkembang di daerah tersebut. Hal itu saya ketahui dari postingan di akun facebook dan instagram Giri. Ia sering bercerita saat mengunjungi suku-suku kecil di luar Jawa. Bahkan, kearifan lokal membuat minuman khas suku beberapa kali ia posting.
ADVERTISEMENT
Memang agak memabukkan, kata Giri, ia turut mencicipi bukan berniat untuk ikut mabuk, namun merasakan kegembiraan hidup bersama suku-suku pedalaman Kalimantan, Sumatra, dan Papua.
Mosok teroris melu mabuk kayak aku,” ucap Giri.
Meskipun mulai tersenyum, Giri belum menceritakan seutuhnya. Poin masalah itu pada beberapa penugasan yang melibatkan Giri. Ia tidak hanya mengumpulkan data dan memberikan penyuluhan tentang budaya lokal. Tapi, Giri bersama beberapa kawannya mengambil langkah untuk mengadvokasi warga yang merasa tanah sakral leluhurnya mulai dijamah oleh investor. Kawasan pegunungan yang mulai digunduli hutannya dan dijadikan wisata buatan dan pabrik. Kedekatannya dengan warga lokal seolah menuntun hati Giri untuk membantu mereka berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat.
“Balik lagi urusannya politik, jigur tenan,” celoteh Giri pelan.
ADVERTISEMENT
Saya masih diam saja. Menunggu lanjutan cerita Giri yang berapi-api dengan logat medog Yogyakarta kental melekat di pita suaranya. Marah tapi karena kehalusan dialek Giri seperti tidakmenunjukkan bahwa ia sedang marah.
Kegiatan advokasi itu, Giri lakukan sekitar enam tahun terakhir. Selama sembilan tahun bekerja sebagai penyuluh, Giri membagi ke dalam dua fase. Tiga tahun awal untuk mengenali tugas pekerjaannya dan setelah itu, Giri melakukan improvisasi dalam bekerja. Ia percaya pekerjaan yang begitu-begitu saja akan membuatnya jenuh. Jadi, improvisasi itu ditunjukkan dengan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah setempat.
Pekerjaan menyuluh bagi Giri seperti orang bermain sulap. Seolah-olah kalau ia sudah datang mengumpulkan data lapangan dan memberikan nasehat kepada masyarakat untuk menjaga budaya lokal itu, masalah akan selesai.
ADVERTISEMENT
Justru, ketika ia datang ke lokasi, bukan hanya data tentang kekayaan lokal saja yang diperoleh Giri. Keluhan penguasaan aset dan ancaman dari preman-preman pabrik kerap datang ke telinganya dari warga lokal.
Giri menganggap kegiatan advokasi ke pemerintah daerah itu sebagai wisata rohaninya. Dan pengumpulan dan bertemu warga lokal sebagai wisata fisik. Setiap masalah yang ditabulasi di laptop Giri seperti rapalan doa. Ia memberi folder khusus dengan nama “ayat kursi”.
----------------
Dalam perjalanan karir Giri, sebuah kejadian yang tidak pernah ia duga muncul di depan matanya secara langsung. Kisaran pertengahan tahun 2015, Giri mendapatkan penugasan di Banyuwangi. Pedalaman hutan untuk mencari informasi tentang beberapa situs peninggalan Kerajaan Blambangan. Daerah yang dikunjungi berada di dataran tinggi selatan Banyuwangi. Seperti bukit kecil yang dipenuhi Pohon Jati. Dalam tingginya pohon jati tua itu rimbun dan dingin. Ia menemukan struktur bata berukuran besar. Rapi tersusun berjajar dan memanjang di antara pohon-pohon liar. Semak-semak yang menjalar itu membuat bata-bata tersipu malu. Saat siang,bebatuan kuno itu diselimuti timbunan dingin tanah dan baluti hangat daun semak. Sedangkan waktu malam, bebatuan itu syahdu bercumbu dengan cahaya bulan. Kemesraan hutan jati dan bata-bata itu entah sejak kapan terjalin. Mereka telah bersenyawa. Dan melahirkan anak-anak peradaban dari generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Saat menjejalah hutan bersama masyarakat, ia mulai mengorek satu persatu cerita lokal yang berkembang secara getok tular itu. Seharian menyusur hutan, Giri pun kelelahan bersama tiga orang warga lokal dan beristirahat di bawah pohon Mahoni.
Siul para burung liar dan derik kumbang seperti lagu nina bobok di tengah hutan. Berbantal akar pohon, bergulingkan tas ransel. Matanya sayup dan tertidur. Giri memejam mata tak terlalu lama. Hutan yang sunyi itu tiba-tiba bergemuruh, berisik. Beberapa truk angkutan kayu tampak hendak lewat di seberang rombongan Giri.
Ia belum cukup sadarkan diri. Matanya sipit mengernyit dan menyiapkan kacamata untuk meneropong siapa yang datang.
“Sudah biasa kayak gini Mas Giri, hampir setiap minggu,” ucap Daru. Petani kelapa itu menceritakan ke Giri bagaimana setiap minggunya para penabang pohon jati dan pepohonan tua lain masuk ke hutan. Mengangkut puluhan atau ratusan kayu tiap minggunya. Kabarnya gelondongan kayu-kayu itu akan dikirim ke Jepang dan Belanda. Daru dan beberapa orang sekitar menduga mereka bukan asli Banyuwangi. Mereka hanya orang dikirim dari beberapa kota lalu diberikan semacam rumah kontrakan untuk tinggal di Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Kegiatan penebangan kayu itu sudah terjadi sekitar 3 tahun terakhir. Ada desa yang berbatasan dengan hutan itu kadang ikut terdampak. Desa itu seperti ember penadah aliran air saat musim hujan tiba. Di sisi lain, Giri melihat struktur candi yang sedang dicarinya kemungkinan juga akan rusak terlindas roda truk bermuatan kayu berton-ton itu. Potensi kerusakan itu yang memantik Giri untuk mengadvokasi warga.
Hingga tiba saat ia meneruskan perjalanan penelusuran dan bertemu dengan rombongan pengemudi truk. Penampilan Giri membuat para sopir truk itu ketakutan. Tas besar dan perlengkapan bertahan hidup di hutan, seperti tenda dan pisau sangkur membuat gelisah para sopir. Belum lagi, di tangannya membawa kamera dengan lensa tele.
Spontan saja, kegelisahan itu membuat para sopir memanggil mandornya.
ADVERTISEMENT
“Lha aku dikira wartawan sama sopir itu,” kata Giri sambil melototiku.
Tanpa menunggu lama, mandor yang terkejut langsung menanyai Giri menunjukkan pistol saku celananya. Para penebang itu berkilah jika setiap warga yang memasuki kawasan penebangan kayu jati ini harus membawa izin dari lembaga urusan kehutanan nasional. Alasannya, daerah hutan ini ialah lahan negara dan tidak boleh sembarangan dimasuki warga tanpa izin yang jelas.
Giri sebenarnya ketakutan ketika suara keras itu membentak rombongannya, tapi untuk mengelabuhi sang mandor, Giri mencoba untuk bercanda dan berkenalan. Dialek Giri yang santun itu langsung terbaca sang mandor. Dan gelagatnya aneh membuat sang mandor menodongkan pistol. Tanpa basa-basi lagi, Giri langsung balik bersama warga dan menelusuri tapak jalan lainnya.
ADVERTISEMENT
Setelah menjauhi sang mandor, sampai tak terlihat dan terdengar suara truk. Daru menceritakan kepada Giri jika ada kejadian kematian yang tidak wajar beberapa tahun lalu. Warga sekitar ditemukan meninggal dunia dalam kondisi bersandar di pohon kelapa. Tapi ada yang mencurigakan, pelipis mata warga yang mati itu bengkak dan berdarah. Sedangkan punggungnya, terlihat memar bergurat darah.
“Mau dikatakan pembunuhan tapi tidak ada bukti, ya sudah kita diam saja sampai sekarang. Anak istri jauh lebih penting,” ungkap Daru.
----------
Karena ada cerita dugaan pembunuhan kepada seorang petani kelapa, Giri pun membuat sebuah laporan perjalanan kepada dinas di pemerintah daerah setempat. Mulai dari potensi situs dan kekayaan hutan itu, sampai cerita-cerita mistis dan konflik masyarakat.
ADVERTISEMENT
Giri berkali-kali meminta dinas itu untuk mau membantu warga sekitar dalam melindungi hutan jati, pohon kelapa, dan terutama situs yang terpendam di tanah hutan itu.
Aduan itu diterima dan ditindaklanjuti pejabat pemerintah setempat
Cerita Giri itu mengantar waktu memasuki sinar merah sore. Gebu suaranya masih menderu. Tak membuat ia ingin beranjak dari warung dan kursi pojok ini. Giri semakin haru dan terlihat ingin melampiaskannya segera.
Pernah ku dengar, memang ada gaya orang yang sekali bercerita harus dituntaskan. Agar amarahnya tak menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun. Psikisnya terlihat lecet, perih meskipun ia tak menguraikan air mata sedikit pun. Tapi tampak Giri sedang sangat marah dengan situasi yang membelitnya.
“Wes tak buat pengaduan, eh ditanggapi beneran,” tutur Giri.
ADVERTISEMENT
---------
“Aku kok dapat laporan kamu ngancam-ngancam?” tanya Rosmin, pejabat dari dinas urusan hutan. Ia memanggil sang mandor yang pernah mengancam Giri. Rosmin tidak mau tahu. Ia tidak mau ada laporan ini lagi. Karena, Giri merupakan bagian dari pemerintah pusat yang bisa membahayakan pejabat daerah. Mandor pun dimintai sejumlah uang rutin setiap bulannya dengan dalih untuk uang pengamanan di hutan itu.
Pengamanan yang diberikan sang pejabat pun sangat istimewa. Ia melobi pemerintah pusat agar Giri tidak ditugaskan lagi ke daerah itu. Proyek penelitian dan pengembangan situs harus dihentikan.
---------
Tak hanya sekali, Giri beberapa kali selalu melakukan pelaporan dan rangkuman perjalanan ketika terjun di daerah. Dan tak hanya sekali, Giri pun dipanggil pimpinan kepegawaian pemerintah pusat karena dianggap melenceng dari tugasnya. Ia dinilai memprovokasi warga untuk melaporkan praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Seperti pungli, penebangan pohon, sampai ancaman pembunuhan. Pimpinannya, menceritakan bahwa beberapa daerah secara spesifik melaporkan nama Giri yang mengganggu “bisnis” terselubung itu. Bisnis “enak-enak” yang akan menghanyutkan masyarakat dalam keterpurukan anak cucunya. Bisnis yang menjanjikan risiko konflik antar saudara dan membuat kehidupan semakin sunyi. Tak hanya suara masyarakat yang terpotong, tapi kesunyian itu terjadi juga karena tak ada lagi belaian manja suara burung cucak rowo, perkutut, dan kenari. Semua menghilang bukan karena perburuan, tapi karena kehilangan rumah tinggalnya. Sarang-sarang burung hanya jadi dongeng sebelum tidur. Dingin angin malam berubah menjadi gerah keringat, dan banjir yang menghantui warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Sang pejabat pemerintah pusat menceritakan semua kepada Giri. Dan akan ada tes alih status Giri dari pegawai kontrak menjadi pegawai negeri.
“Ini seperti tawaran diam, tapi kita akan kenyang uang dengan kursi spon empuk berkulit lembut pipi pacarmu yang menenangkan,” celetuk Giri.
-------
Berjam-jam aku hanya mendengarkan Giri bercerita. Lagi-lagi tak ada hal yang bisa kuucapkan. Aku lebih sering mengangguk-anggukan kepala saja. Bagiku, dahsyatnya emosi Giri tak mungkin dibendung dengan tumpukan kata tenang dan sabar. Ketenangan dan kesabaran ialah kesadaran Giri. Tak bisa lahir dari orang yang berusaha berempati dengan keadaannya.
“Semua temuan situs, temuan dialek, temuan budaya, temuan makanan khas, temuan resep, dan temuan masakan baru yang aku nikmati selama ini bukankah warisan kebudayaan yang menunjukkan jati diri bangsa kita. Semua itu bukankah pelajaran kebangsaan yang kita ingin satukan dalam slogan ke-Nusantara-an? Bukankah itu perhiasaan termahal selama ratusan abad yang kita hanya dengar lewat pelajaran sejarah di sekolah yang membosankan? Bukankah aku pemasak resep kurikulum pelajaran kebangsaan kita?”
ADVERTISEMENT
Segala pertanyaan Giri ini hendak menutup obrolan yang panjang dan cerita tentang deritanya. Tapi satu hal yang ingin aku tanyakan kepada Giri. Keraguanku pun harus terjawab dari mulut Giri setelah nyerocos sepanjang itu.
“Bagaimana kabar pacarmu? Apa sudah tahu kondisimu ini?” tanyaku.
Pertanyaan ini sungguh mencekat lidahku sendiri.
Seketika wajah Giri berubah. Tak lagi seperti legenda Macan Putih yang menjadi julukan tim bola idamannya, Persik Kediri. Tapi, kini matanya sayu seperti kucing kelaparan dan berharap belas kasihan para pejalan kaki di trotoar.
--------
"Yang Terkasih, Uninyana Sri Tandjung"
Sayang, maaf aku baru saja selesai dengan seluruh proyekku. Aku kangen sekali ngobrol sama kamu. Lama banget kita nggak ketemu, sudah 7 bulan ya kayaknya kita nggak berkabar. Maaf aku juga baru SMS kamu. Ya komitmen kita sama, tidak saling mengganggu, lagipula aku tahu keseriusanmu mengerjakan disertasi di Papua harus segera selesai. Semestinya, Oktober ini kita janjian bertemu kan, waktu aku telepon 14 Maret kemarin. Aku pengen sekali langsung ketemu bapakmu, meminta kamu secara langsung dengan membawa cincin. Tapi sebagai anak yatim piatu, tentu aku nggak bawa keluarga. Jadi langsung saja aku pamit melamar kamu pada bapak. Katamu kan bapak juga pengen ketemu aku langsung? Daripada buang waktu, lamaran itu sekalian waktu kita ketemu. Kalau memang kamu mau, aku segera beli cincin simbol pengikatnya. Kita juga nggak pernah ada kata putus dari kuliah dulu, tapi karena umur sudah matang ya aku percaya saja kamu tetap menungguku.
ADVERTISEMENT
Sayang, selama ini aku sudah kenal bapak ibukmu yang sangat perfeksionis. Karena bapakmu juga pernah jadi pejabat pemerintah dan sekarang pasti sudah sepuh. Dulu bapak kan memang pengen aku segera kerja dan melamar kamu. Dan kalau bisa memang jadi pegawai negeri. Ya aku sudah berusaha. Meskipun aku nggak pernah mau kepikiran juga jadi pegawai negeri seperti keinginan bapak. Karena ada jaminan masa tuanya. Tapi itu jadi motivasiku biar aku menikah sama kamu. Dan kamu sekarang jadi dosen pegawai negeri di Bandung.
Sayang, aku pengen minta maaf. Tapi kenyataan sekarang aku nggak bisa jadi pegawai negeri. Bukan karena aku nggak mau. Tapi aku nggak lulus tes alih status pegawai kontrak ke pegawai negeri. Aku juga mendapatkan surat dari instansi kalau aku dianggap radikal dan mungkin punya gen garis keras. Semua keterangan surat itu telah menyebar di kantor kepolisian dan tentara. Aku sedang merasa terkucil dan bingung bagaimana cara menikahimu nanti. Karena, jelas kamu anak pejabat dan aku yatim piatu yang kini dicap berbahaya. Nanti kalau kita memaksa nikah, lambat laun bapak juga tahu. Urusan surat nikah yang mblibet dan njlimet mesti terdengar bapak yang sangat nasionalis dan punya DNA gerakan mahasiswa kritis. Itu mesti mudah tercium bapak. Belum kalau kasak kusuk di lingkungan, apa bapak siap dengan seloteh orang kampung? Bapak juga sudah sepuh. Kesehatannya perlu dijaga, kan.
ADVERTISEMENT
Daripada kita menyembunyikan ini, aku punya satu permintaan kalau kamu masih pengen aku nikahi. Bilang ke bapak, kalau aku nggak lulus tes wawasan kebangsaan. Kalau memang tidak bisa menikahimu, biarkan kita menikah dalam ingatan. Biarkan kita tulis lahirkan buku-buku baru karyamu. Kita besarkan impian tanpa ada percumbuan fisik. Kita bebaskan doa yang menggantung di langit, biar doa cinta itu berubah menjadi hujan dan awan. Yang kadang meneduhkan dan menyejukkan setiap perjalanan umur kita.”
Yang mencintaimu, Giri Pamungkas. Aku sadar pilihan ini sangat berat. Tapi ingatlah kita hanya bisa menghadapinya, menghadapinya, dan mengingatnya.
Rino Hayyu Setyo Penulis adalah jurnalis Kumparan.com dan Kepala Biro Kediri Tugu Jatim ID.