Konten dari Pengguna

ADHD, "Produktivitas", dan Artificial Intelligence: Sebuah Eksperimen Pemikiran

Timothee Kencono Malye
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan
3 Oktober 2024 12:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentang berkelindannya manusia dengan mahakaryanya: teknologi. Sumber: Pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentang berkelindannya manusia dengan mahakaryanya: teknologi. Sumber: Pexels.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DISCLAIMER: Penulis bukanlah seorang psikolog ataupun ahli bedah syaraf. Harap dibaca dengan kritis. Ditulis sebagian besar oleh ChatGPT dengan inquiries dari Penulis.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, diagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan kondisi serupa menunjukkan peningkatan tajam, memicu perdebatan mengenai validitas pelabelan perilaku tertentu sebagai gangguan. Berdasarkan survei nasional, hampir 10% anak-anak berusia 3–17 tahun di Amerika Serikat telah didiagnosis dengan ADHD—sebuah statistik yang seharusnya mendorong kita untuk meninjau kembali kriteria dalam mendefinisikan dan mendiagnosis kondisi ini.
Istilah "gangguan" menyiratkan adanya penyimpangan dari norma, yang kerap berakar pada konsep produktivitas. ADHD seringkali dikaitkan dengan kesulitan dalam mempertahankan perhatian, organisasi, dan pengendalian impuls—sifat-sifat yang bisa dipandang sebagai hambatan bagi produktivitas dalam masyarakat yang serba cepat. Namun, menilai manusia hanya melalui kacamata produktivitas merupakan pendekatan yang sempit dan membatasi.
Di masa depan, ketika kecerdasan buatan (AI) mengambil alih banyak tugas yang saat ini dilakukan manusia, konsep produktivitas mungkin semakin kehilangan relevansinya. Dalam dunia seperti itu, tidak ada lagi kebutuhan untuk menganggap perilaku yang tidak sesuai dengan norma produktivitas tradisional sebagai patologi. Sebaliknya, kita akan lebih menghargai keragaman gaya kognitif serta pentingnya mendorong kreativitas, inovasi, dan pemenuhan pribadi.
ADVERTISEMENT
Medikalisasi perilaku juga berperan besar dalam meningkatnya diagnosis ADHD. Pendekatan ini memandang perbedaan perilaku melalui lensa medis, menafsirkannya sebagai gejala gangguan yang memerlukan intervensi. Namun, dengan memandang perilaku yang mungkin masih berada dalam rentang variasi normal manusia sebagai gangguan, kita berisiko mengabaikan kekuatan dan perspektif unik yang dimiliki oleh individu dengan ADHD.
Seiring dengan meningkatnya diagnosis ADHD, kita juga melihat lonjakan dalam konsumsi obat-obatan terkait, seperti stimulan yang digunakan untuk mengelola gejala ADHD. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi over-medikalisasi, di mana solusi farmasi sering kali menjadi jawaban cepat atas perbedaan perilaku yang dianggap menyimpang. Ketergantungan pada obat-obatan tersebut, meski mampu membantu beberapa individu, dapat menciptakan budaya yang mengabaikan pendekatan lain yang lebih holistik, seperti strategi pendidikan atau perubahan lingkungan. Ketika semakin banyak orang, terutama anak-anak, bergantung pada obat-obatan ini, ada risiko bahwa kita akan gagal menghargai keragaman gaya belajar dan berpikir yang ada, serta kehilangan kesempatan untuk memahami spektrum perilaku manusia yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Ke depan, kita harus meninjau kembali narasi yang menganggap ADHD sebagai gangguan berdasarkan kekurangan dalam produktivitas. Sebaliknya, kita perlu mengadopsi pemahaman yang lebih holistik tentang kognisi dan perilaku manusia—yang menghargai keberagaman dan menempatkan kesejahteraan individu di atas tuntutan produktivitas yang dibebankan oleh masyarakat.