Konten dari Pengguna

Memahami Kompleksitas Komunikasi Bangsa Kita

Timothee Kencono Malye
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan
14 Oktober 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi semangat kebangsaan. Sumber: pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi semangat kebangsaan. Sumber: pexels.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam dinamika sosial bangsa kita, salah satu karakteristik utama yang sering terlihat adalah kesulitan dalam menyampaikan perasaan atau pendapat secara langsung. Masyarakat Indonesia cenderung menghindari konfrontasi terbuka, lebih memilih pendekatan yang tidak langsung dalam berkomunikasi. Hal ini bisa jadi berakar dari nilai-nilai budaya yang menekankan keharmonisan, kesantunan, dan penghindaran konflik terbuka. Namun sebenarnya ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi secara langsung ini dapat memperpanjang proses penyelesaian konflik. Ketika perasaan dibiarkan terpendam, interaksi sosial pun menjadi lebih kompleks, karena setiap pihak cenderung merespons dengan cara yang tidak langsung—memicu lingkaran komunikasi yang berputar-putar tanpa resolusi yang jelas.
ADVERTISEMENT
Kita juga dapat mengamati bahwa ekspresi emosi di Indonesia sering kali diatur oleh norma sosial yang memandang "ketenangan" sebagai simbol kedewasaan/kematangan. Seseorang yang terlihat terlalu emosional atau menunjukkan intensitas emosi dalam komunikasi kerap dianggap kurang matang. Padahal, dalam banyak kasus, ketidakmampuan untuk mengemukakan perasaan tersebut justru menjadi akar dari ketegangan interpersonal yang berkepanjangan. Ada kecenderungan untuk menutupi rasa tersinggung atau sakit hati dengan perilaku pasif-agresif, atau bahkan beralih ke kritik yang bersifat mekanistik—seolah-olah ingin menunjukkan stabilitas emosional padahal sedang menyimpan dendam.
Fenomena lain yang tidak kalah signifikan adalah bagaimana kita, sebagai bangsa, memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap kata-kata atau tindakan orang lain. Sedikit kesalahan dalam ucapan atau tindakan sering kali direspons dengan perasaan tersinggung yang mendalam. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah melalui dialog yang terbuka, perasaan itu sering dibiarkan berkembang tanpa diungkapkan secara langsung. Dari sudut pandang psikologi, hal ini menciptakan pola perilaku yang dikenal sebagai avoidant communication—dimana individu menghindari konfrontasi langsung, tetapi pada saat yang sama tetap menyimpan keinginan untuk membalas dalam bentuk yang lebih halus dan tidak konfrontatif. Proses ini tentu saja memperumit hubungan interpersonal dan menambah lapisan-lapisan ketidakpercayaan di antara individu.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks sosial yang lebih luas, kita juga masih menghadapi tantangan dalam membangun budaya diskusi yang kooperatif. Pada beberapa kelompok sosial, terdapat kecenderungan untuk melakukan kompetisi atau "adu gengsi" sebelum mencapai titik dialog yang produktif. Aspek ini mungkin berakar dari dinamika sosial-hierarkis yang masih kuat dalam beberapa komunitas di Indonesia, di mana status sosial atau prestise menjadi ukuran penting. Persaingan ini sering kali menegaskan adanya "pemenang" dan "pecundang" dalam interaksi, yang pada gilirannya menghambat terciptanya diskusi yang benar-benar setara dan saling mendukung.
Salah satu tantangan lain yang dapat kita identifikasi adalah keengganan untuk mengakui kesalahan. Kecemasan akan kehilangan muka atau posisi sosial sering kali membuat seseorang mempertahankan pendapat atau tindakan yang salah, bahkan ketika kebenaran sudah jelas. Dalam pandangan psikologi, ini dapat dikaitkan dengan konsep ego defense mechanism—dimana individu melindungi citra dirinya melalui rasionalisasi atau bahkan dengan melibatkan tindakan yang tidak etis seperti fitnah atau manipulasi. Pada akhirnya, perilaku semacam ini justru menghambat perkembangan individu dan masyarakat, karena kita lebih fokus mempertahankan citra daripada memajukan dialog yang konstruktif.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik semua tantangan ini, Indonesia memiliki keunggulan tersendiri yang dapat menjadi kunci untuk mengatasi masalah-masalah tersebut—yakni spiritualitas. Sebagai bangsa yang spiritual, kita memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai moral dan kebajikan, yang sering kali terwujud dalam bentuk kearifan lokal dan budaya gotong royong. Spiritualitas ini memberikan fondasi kuat bagi terciptanya hubungan yang harmonis dan kooperatif. Di tengah kecenderungan bangsa-bangsa lain yang terkadang berlebihan dalam merasionalisasi setiap aspek kehidupan, yang justru bisa menghasilkan keterpaksaan dalam solusi masalah, kita memiliki potensi untuk menjaga keseimbangan antara nalar dan rasa.
Solusi untuk tantangan-tantangan di atas, tampaknya, terletak pada upaya memperkuat komunikasi yang lebih jujur dan terbuka, namun tetap halus dan menghargai perasaan orang lain. Direct communication—komunikasi yang lugas namun penuh hormat—dapat menjadi kunci untuk memecahkan pola-pola interaksi yang saat ini cenderung tidak produktif. Kita dapat memulai dengan memperlakukan perasaan dan pendapat orang lain dengan lebih kooperatif dan menghindari prasangka. Ketika setiap pihak diajak untuk berpartisipasi secara setara dan terbuka, akan tercipta ruang dialog yang lebih inklusif, dan pada akhirnya kita akan menjadi bangsa yang lebih matang dalam menyelesaikan konflik.
ADVERTISEMENT
Dengan memanfaatkan kelebihan spiritualitas kita, serta memperhalus cara kita berkomunikasi, kita dapat menghadapi berbagai tantangan interaksi sosial dengan lebih baik. Bangsa kita memiliki potensi besar untuk berkembang—dan langkah pertama menuju perubahan positif ini dimulai dari kesediaan kita untuk saling mendengarkan dan berbicara dengan lebih tulus dan tidak berbelit-belit.