news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Psikologi di Persimpangan: Kasus Valyano dan Tantangan Otoritas Penilaian

Timothee Kencono Malye
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan
4 Maret 2025 17:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentang salah satu proses yang sebenarnya mengatur dunia saat ini. Perlu dipahami bahwa bahkan uang pun merupakan produk politik. Sumber: pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentang salah satu proses yang sebenarnya mengatur dunia saat ini. Perlu dipahami bahwa bahkan uang pun merupakan produk politik. Sumber: pexels.com.
ADVERTISEMENT
Pemecatan Valyano Boni Raphael dari Sekolah Polisi Negara Polda Jawa Barat, hanya enam hari sebelum pelantikannya sebagai anggota Polri pada 3 Desember 2024, memicu perdebatan tajam. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI pada 6 Februari 2025, keputusan ini diklaim didasarkan pada evaluasi akademik dan psikologis, termasuk dugaan gangguan kepribadian narsistik. Namun, pemeriksaan medis menyatakan bahwa Valyano tidak memiliki gangguan jiwa yang menghambat aktivitasnya, menimbulkan kontradiksi yang mencolok. Kasus ini, dengan tambahan pandangan tentang praktik di Rusia, mengajak kita merenungkan: dalam penerapan psikologi pada seleksi pejabat publik, bagaimana memastikan prosesnya adil dan tidak sekadar menjadi alat otoritas yang lentur atau bahkan berpotensi mencederai reputasi seseorang?
ADVERTISEMENT
Pemecatan Valyano berawal dari keputusan Sekolah Polisi Negara Polda Jawa Barat yang menyatakan bahwa ia absen selama 132 jam pelajaran teori dan 100 jam praktik—setara 19,33 persen dari total pendidikan—melebihi batas toleransi 12 persen. Bagian psikologi SDM kepolisian menambahkan bahwa Valyano menunjukkan perilaku yang dianggap mengarah pada gangguan kepribadian narsistik, seperti berteriak "Brimob" saat berlari, memilih perawatan di rumah sakit swasta untuk impaksi gigi alih-alih fasilitas Polri, serta diduga meminta siswa lain menyabet punggungnya untuk menciptakan kesan penganiayaan.
Pihak keluarga membantah keras tuduhan ini. Ibunya menegaskan bahwa absensi Valyano disebabkan alasan medis yang sah dan telah didukung surat keterangan dokter. Sementara itu, dugaan penganiayaan oleh senior semakin memicu spekulasi bahwa pemecatan ini bukan sekadar persoalan disiplin atau kesehatan jiwa.
ADVERTISEMENT
Kontradiksi mencolok muncul dari hasil pemeriksaan medis. Kepala bidang kedokteran dan kesehatan kepolisian daerah menyatakan bahwa tim dokter, termasuk dokter spesialis kejiwaan, tidak menemukan adanya gangguan jiwa yang menghambat aktivitas Valyano. Kemampuan berpikirnya dinilai masih dalam batas normal. Jika demikian, mengapa evaluasi psikologi menyimpulkan adanya gangguan kepribadian narsistik?
Bagian psikologi SDM kepolisian menyebut penilaian tersebut didasarkan pada "analisis perilaku," tetapi wakil ketua Komisi III DPR mempertanyakan validitasnya. Ia menyebutnya sebagai "vonis berdasarkan katanya" tanpa observasi langsung yang memadai. Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan lebih dalam: apakah evaluasi ini murni teknis, ataukah ada faktor lain yang tidak terungkap—misalnya pertimbangan politis atau dinamika internal di institusi terkait?
Jean Twenge, seorang psikolog yang banyak meneliti narsisme, pernah menyatakan bahwa "label narsistik sering kali diberikan oleh mereka yang tidak nyaman dengan orang yang lebih percaya diri dan independen." Ini memunculkan pertanyaan: apakah analisis psikologi yang dilakukan benar-benar didasarkan pada standar ilmiah, atau justru dipengaruhi oleh persepsi subjektif terhadap sikap Valyano yang lebih mandiri dan ekspresif?
ADVERTISEMENT
Sebagai ilustrasi, bayangkan misalnya seorang peneliti bernama dr. Rina yang merasa terganggu dengan orang-orang yang bereaksi berlebihan terhadap suara keras (dianggap itu adalah bagian dari perilaku antisosial). Ia lalu merancang studi tentang gangguan psikologis baru yang misalnya disebut Acoustic Sensitivity Distress Disorder. Dalam risetnya, ia hanya memilih sampel dari pekerja kantoran yang memang sensitif terhadap kebisingan, sementara pedagang pasar atau pekerja konstruksi—yang lebih tahan terhadap suara bising—dikesampingkan. Dengan data yang diolah secara selektif, ia bisa menciptakan kesan bahwa penggunaan kalimat dengan desibel tertentu mencerminkan perilaku antisosial. Padahal kesimpulan yang tampak ilmiah ini boleh jadi sebenarnya lebih mencerminkan preferensi pribadinya daripada realitas objektif.
Hal ini menggambarkan betapa lenturnya penggunaan ilmu psikologi jika tidak ditinjau ulang dalam membuat keputusan. Dalam kasus Valyano, boleh jadi analisis yang dilakukan bersandar pada kaidah ilmiah, tetapi boleh jadi pula mencerminkan preferensi subjektif penguji, atau bahkan subjektivitas kolektif pembuat premis "gangguan psikologi" tertentu.
ADVERTISEMENT
Pandangan anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan dalam Rapat Dengar Pendapat memberikan perspektif tambahan. Ia menyinggung praktik di Rusia, khususnya era Soviet, yang menggunakan psikologi sebagai alat untuk membungkam lawan politik dengan melabeli mereka sebagai penderita gangguan mental, seperti skizofrenia.
Ia tidak secara langsung menyamakan kasus Valyano dengan praktik Soviet, tetapi mengingatkan agar kita waspada. Jika di Rusia psikologi pernah digunakan sebagai alat kekuasaan, bagaimana memastikan bahwa di Indonesia hal serupa tidak terjadi? Tanpa bermaksud menyimpulkan tanpa pembuktian, Penulis hanya mengajak pembaca bersikap lebih skeptis terhadap kesimpulan-kesimpulan yang terkadang menggunakan label "ilmiah." Jangan lupa bahwa fanatisme dalam bentuk apapun, termasuk kepada kaidah-kaidah "ilmiah" tertentu, tidaklah baik karena dapat menutup ruang untuk diskusi dan progres ke arah kehidupan umat manusia yang lebih sejahtera.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut sebagai ilustasi, dalam teori kepribadian, individu dengan tingkat neurotisisme tinggi cenderung bereaksi berlebihan terhadap ketegasan orang lain. Bisa jadi, penguji yang menilai Valyano memiliki kecenderungan ini—terlalu sensitif terhadap sikap asertif dan independen, lalu memberi label negatif.
Jordan Peterson, seorang psikolog klinis, pernah menyatakan, “Banyak orang menilai narsisme pada orang lain karena mereka tidak nyaman dengan individu yang tidak bisa mereka kendalikan.” Jika ini terjadi dalam kasus Valyano, maka pertanyaannya bukan hanya apakah Valyano memiliki gangguan kepribadian narsistik, tetapi juga apakah para pengujinya memiliki bias yang memengaruhi penilaian mereka.Penerapan psikologi dalam seleksi apapun boleh jadi penting, tetapi juga harus dikawal dengan baik.
Bisa jadi ini hanya masalah metode yang belum sempurna. Tetapi bisa jadi pula ada faktor lain—misalnya kuota rekrutmen atau dinamika internal—yang memanfaatkan kelenturan psikologi sebagai justifikasi pemecatan dalam kasus Valyano.
ADVERTISEMENT
Kasus Valyano dan peringatan Hinca Panjaitan menjadi pengingat bahwa penggunaan ilmu psikologi dalam konteks apapun harus berjalan transparan dan akuntabel. Dalam proses yang menentukan masa depan seseorang, keakuratan dan keadilan menjadi taruhan. Bisa jadi evaluasi psikologi bertujuan untuk menyeleksi yang terbaik, tetapi bisa jadi pula ada faktor lain yang tidak terungkap.
Sebagai masyarakat, kita diajak untuk berpikir lebih jauh: jika psikologi bisa digunakan untuk menilai individu, siapa yang mengawasi para penguji agar penilaian mereka benar-benar adil?