Konten dari Pengguna

Transisi Energi Tahun 2025: Tantangan dan Langkah Perubahan

Timotius Rafael
Peneliti Lingkungan di Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
23 Januari 2025 16:17 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timotius Rafael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya”. Itulah bunyi Hukum Kekekalan Energi (HKE) dari James Prescott Joule, ilmuwan asal Inggris yang namanya diabadikan dalam satuan energi (joule). Perubahan energi dapat disebut juga dengan transisi energi, sebuah istilah yang semakin populer di Indonesia, terutama di kalangan akademisi, pemerintah, dan masyarakat luas. Transisi energi diartikan sebagai perubahan dari sumber energi fosil ke sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk menghadapi perubahan iklim.
Aktivitas PLTU captive batubara di kawasan Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), Morowali, Sulawesi Tengah (Sumber: Dokumentasi AEER, 2024)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas PLTU captive batubara di kawasan Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), Morowali, Sulawesi Tengah (Sumber: Dokumentasi AEER, 2024)
Rasanya sudah banyak program dan upaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia ataupun yang diinisiasi oleh negara luar dalam hal mitigasi iklim. Per 2025 atau sebelas tahun setelah larangan ekspor nikel mentah, sepuluh tahun setelah Perjanjian Paris, tiga tahun sejak inisiasi Just Energy Transition Partnership (JETP), dan dua tahun sejak komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, arah kebijakan dan implementasi yang sudah, sedang, dan akan dilakukan menunjukkan sebaliknya. Sebagai contoh, pembangkit EBT baru-baru ini selesai dibangun dan dapat diperhitungkan pada sistem ketenagalistrikan hanya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 megawatt (MW) yang beroperasi pada 2018, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata 192 megawatt-peak (MWp) yang beroperasi pada 2023, dan PLTS ground-mounted 100 MWp di Jawa Barat yang beroperasi pada 2024 (ESDM. 2023; PLN, 2023; Setneg, 2018). Sementara pertumbuhan jumlah pembangkit listrik berenergi fosil, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) meningkat drastis. Padahal target bauran EBT pada 2025 adalah 23%, persentase yang masih jauh untuk dikejar dari capaian tahun 2024 sebesar 13,9% dan cukup berat dicapai dengan adanya penambahan jumlah pembangkit listrik berenergi fosil tiap tahunnya.
Perbandingan Realisasi dan Target Bauran EBT di Indonesia dari Tahun ke Tahun (Sumber : diolah dari RUEN dan RUKN, 2024) *Keterangan RUEN: Rencana Umum Energi Nasional, RUKN: Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
Perbandingan pertumbuhan daya listrik dari pembangkit berenergi fosil dengan EBT ibarat peribahasa “lebih besar pasak daripada tiang”. Pada periode 2018-2023, jumlah daya PLTU batubara meningkat sebesar 18,6 GW, sedangkan EBT hanya 3,8 GW. Hal ini menunjukkan tidak tegasnya komitmen negara untuk mengurangi energi fosil. Pengurangan di sini seharusnya bukan hanya mengurangi pembangunan pembangkit listrik berenergi fosil, melainkan phase-out fossil plant. Secara praktis setidaknya perlu penambahan 11,2 GW pembangkit EBT sampai akhir tahun 2025 dari kapasitas total Indonesia pada akhir tahun 2024 sekitar 95 GW untuk mencapai target bauran EBT 23%. Sebagai catatan penambahan ini diasumsikan tanpa adanya penambahan daya dari pembangkit listrik energi fosil. Hal ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Kementerian Keuangan serta stakeholder lainnya untuk merealisasikan target tersebut.
ADVERTISEMENT
Sedikit ruang untuk Indonesia sebagai negara berkembang
Indonesia sedang dilanda berbagai masalah utama. Kemiskinan, pengangguran, bencana alam, judi online, dan perbaikan gizi anak bangsa yang menjadi fokus utama pemerintahan sekarang. Perhatian khusus ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% tiap tahunnya, di mana sektor energi, seperti listrik dan bahan bakar, menjadi faktor utama yang menopang cita-cita tersebut (CNBC, 2024). Salah satu upayanya adalah dengan menargetkan konsumsi listrik hingga 6500 kWh/kapita pada tahun 2060 untuk menyongsong NZE 2060 (peningkatan elektrifikasi), namun pada 2024 dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta dan pembangkit tenaga listrik sekitar 95 GW secara total, konsumsi listrik baru mencapai 1700 kWh/kapita.
Perbandingan Realisasi terhadap Target Konsumsi Listrik hingga 35 Tahun ke Depan (Sumber: diolah dari RUKN 2024-2060) *Keterangan : 2045 Indonesia Emas dan 2060 Net Zero Emission
Pada kenyataannya, Indonesia sedang berada dalam posisi dilema. Pada satu sisi ingin meningkatkan perekonomian dan mensejahterakan rakyat, namun di sisi yang lain harus mengurangi penggunaan energi fosil (seperti PLTU batubara dan bahan bakar minyak) dan meningkatkan pengembangan EBT yang pastinya membutuhkan investasi besar,waktu, dan tempat. Sedangkan pada waktu sekarang pendanaan kita sangat terbatas, pemilihan lokasi yang dibayang-bayangi oleh konflik, dan perlu waktu mulai dari perencanaan hingga pembangunannya. Kita tak dapat memungkiri bahwa Indonesia masih membutuhkan investasi dari luar untuk sektor tersebut, karena perekonomian Indonesia yang penuh tantangan dan semakin diperparah oleh kondisi iklim. Hal ini sangat dilematis bagi Indonesia, seperti judul film Warkop DKI “maju kena, mundur kena”.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, perlu ada aksi nyata dan konkret untuk mengurangi energi fosil. Angin segar sempat bertiup setelah pernyataan Presiden Prabowo Subianto di lawatan Group of Twenty (G20) pada November 2024 lalu di Brasil, “Indonesia is rich in geothermal resources, and we plan to phase out coal-fired and all fossil-fueled power plants within the next 15 years. Our plan includes building over 75 gigawatts of renewable energy capacity during this time”. Namun, pernyataan tersebut seperti angin lalu karena menjadi ‘berat untung’ mengurangi energi fosil seperti penggunaan batubara yang dinilai ekonomis, dengan EBT yang teknologinya masih mahal.
Indonesia pun perlu mengadopsi mekanisme pendanaan seperti JETP secara lengkap dan komprehensif demi mendukung serta merealisasikan aksi iklim yang nyata di Indonesia. Selain JETP, pemerintah sebenarnya dapat mencari solusi lain untuk hal pendanaan dari investor maupun perusahaan dalam negeri agar secara perlahan mengurangi penggunaan energi fosil dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), seperti pengenaan pajak pada orang berpenghasilan tinggi dan pendanaan iklim via instansi atau perjanjian antar negara. Perlu adanya pengambilan risiko di masa kini dibandingkan menuai kerugian berkali-kali lipat di masa mendatang. Contohnya adalah pemangkasan 19% pendapatan dunia pada 2049, pengeluaran rata-rata warga kota dan desa hingga 578% pada 2045, dan suhu panas yang sangat berdampak terhadap aktivitas masyarakat pesisir dan persawahan (Perpustakaan DPR RI, 2024).
ADVERTISEMENT
2025 sebagai tonggak awal perubahan
Kian hari, bencana iklim sudah semakin terasa, hal ini ditandai dengan perubahan cuaca yang sangat ekstrem, bencana ekologis seperti banjir dan kenaikan permukaan laut yang berpotensi menyebabkan bencana hidrometalurgi. Ada 1.109 kasus banjir sepanjang tahun 2024 dari total 2.203 kasus, serta kenaikan permukaan laut sebesar 0,8 cm - 1,2 cm tiap tahunnya (Goodstats, 2024; Kompas, 2024). Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pelaksana kebijakan, pembuat kebijakan, dan lembaga maupun industri. Karena pada akhirnya dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan masyarakat, tetapi juga akan merugikan negara dan perusahaan itu sendiri.
Suhu Permukaan Bumi yang telah melewati batas perjanjian yang ditetapkan di Perjanjian Paris 2015 sebesar 1,5oC (Sumber : climatechangenews.com, 2025)
ADVERTISEMENT
Batas peningkatan suhu 1,5oC berdasarkan perjanjian paris pun telah terlampaui, telah mencapai suhu 1,6oC di atas suhu rata-rata dibandingkan pada masa pra-industri (1850-1900) sepanjang tahun 2024 (ClimateChangeNews, 2025). Tahun 2024 pun dinobatkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah dunia. Maka dari itu, perlu adanya kolaborasi aktif dan berkelanjutan di dalam kesatuan pentaheliks antara pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan instansi/perusahaan untuk menyongsong transisi energi dan memitigasi perubahan iklim di tahun 2025 ini. Tahun 2025 ini harus ada perubahan dan komitmen yang serius dari para pemangku kebijakan terkait transisi energi dan perubahan iklim baik sekarang dan nanti.
Referensi:
ADVERTISEMENT