Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Konstelasi Politik Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
9 April 2025 9:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Umi Pryatin Dwi Refina Nurlaeli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia menganut Demokrasi Liberal dengan sistem pemerintahan parlementer yang mulai diberlakukan sejak tahun 1950 hingga 1959. Indonesia yang semula berbentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dengan dasar hukum Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam sistem pemerintahan parlementer, presiden hanya berperan sebagai kepala negara. Sedangkan urusan pemerintahan merupakan tugas seorang perdana menteri yang bertindak sebagai kepala pemerintahan, yang bertugas memimpin kabinet dan bertanggung jawab kepada parlemen.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem pemerintahan Parlementer, terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang antara pemerintah dengan oposisi. Sehingga pelaksanaan sistem pemerintahan ini menutup celah kemungkinan terciptanya pemimpin yang diktator dengan pembatasan kekuasaan presiden. Berbagai partai politik dengan latar belakang ideologi seperti nasionalis, agama, dan komunis mulai bermunculan seiring dengan diberlakukannya sistem multi partai. Partai politik saling bersaing untuk memegang tampuk kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956), Indonesia menyelenggarakan pemilu yang pertama kalinya pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilu Tahun 1955 merupakan pelaksanaan pemilu paling demokratis di Indonesia, yang berhasil dimenangkan oleh empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dalam hal ini, demokrasi dapat berkembang ke arah yang lebih baik, sesuai dengan tujuan awal pembentukan negara Indonesia merdeka yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Masa jabatan kabinet pada masa sistem pemerintahan parlementer tidaklah pasti, karena kabinet dapat sewaktu-waktu dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Dengan demikian, sulit tercapai stabilitas politik karena pemerintahan yang selalu berganti-ganti. Dalam kurun waktu 9 tahun, Indonesia mengalami tujuh kali pergantian kabinet. Berikut ini kabinet-kabinet yang memerintah selama masa Demokrasi Liberal:
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
2. Kabinet Soekiman (27 April 1951 - 3 April 1952)
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 Juli 1953)
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1 Agustus 1953 – 24 Juli 1955)
5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
ADVERTISEMENT
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Dapat dilihat bahwa selama masa sistem pemerintahan Parlementer dan sistem Demokrasi Liberal, banyak terjadi pergantian kabinet dalam jangka waktu yang singkat. Kondisi ini disebabkan karena masing-masing kabinet tidak mampu mengatasi berbagai permasalahan yang muncul selama masa pemerintahannya, terutama terkait masalah wilayah Irian Barat. Hal tersebut menjadi alasan bagi pembubaran kabinet yang sedang berkuasa.
Kegagalan Demokrasi Liberal dan Sistem Pemerintahan Parlementer
Pelaksanaan sistem pemerintahan Parlementer mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan pada masa-masa awal kemerdekaan, situasi politik Indonesia masih belum stabil. Pada saat itu Indonesia masih menghadapi ancaman dari Belanda dan sekutu yang berusaha menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Penerapan sistem pemerintahan Parlementer yang dapat mengganggu kestabilan politik Indonesia, menyebabkan aspek pembangunan tidak lagi menjadi fokus utama pemerintah. Di mana, selama pelaksanaan sistem pemerintahan Parlementer sering terjadi pergantian kabinet, karena kabinet dapat sewaktu-waktu dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Selain itu, presiden menganggap bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong, sehingga sistem demokrasi ini dianggap telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan yang sering berganti-ganti membuat Soekarno berpikir bahwa Demokrasi Liberal tidak sesuai diterapkan di Indonesia. Pemerintah pun memutuskan untuk membentuk Kabinet Ekstra Parlementer (Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda) sebagai pengganti Kabinet Ali II. Namun kabinet baru ini juga tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Di mana Sidang Dewan Konstituante pada tahun 1956 yang bertujuan untuk menghasilkan UUD baru belum juga membuahkan hasil hingga tahun 1959.
Melihat situasi yang demikian, Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi: pembubaran Dewan Konstituante, diberlakukannya kembali UUD 1945, dan membentuk DPAS dan MPRS. Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri pemerintahan Kabinet Djuanda sekaligus mengakhiri pelaksanaan Demokrasi Liberal dan Sistem Pemerintahan Parlementer di Indonesia. Sistem pemerintahan pun beralih ke Demokrasi Terpimpin, yang kemudian memunculkan perdebatan di kalangan elit politik.
ADVERTISEMENT