Revolusi Kemerdekaan: Dendam yang Harus Dibalas Tuntas

Umi Pryatin Dwi Refina Nurlaeli
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
23 April 2022 12:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umi Pryatin Dwi Refina Nurlaeli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1947.  Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga berkumpul di tugu proklamasi saat Perayaan Hari Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1947. Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
ADVERTISEMENT
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Situasi di Indonesia semakin memanas dengan kedatangan Sekutu untuk melucuti senjata tentara Jepang dan NICA yang ingin mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyulut perlawanan dari rakyat yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Begitu banyak peristiwa kekerasan yang terjadi pada periode pasca-proklamasi ini, terutama di Jawa dan Sumatera.
Mungkin peristiwa kekerasan yang seringkali kita dengar pada masa ini adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer Belanda dan Sekutu. Di mana mereka melakukan aksi teror, kejahatan seks, dan pembunuhan terhadap ribuan orang-orang Indonesia. Namun, beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat ada yang termasuk dalam tindakan kekerasan yang berlebihan.
Seperti peristiwa kekerasan yang terjadi di Surabaya yang dilakukan oleh para pemuda yang tergabung dalam organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Pada saat itu, perlawanan terhadap NICA tidak hanya dilakukan oleh kekuatan militer saja, namun juga dilakukan oleh laskar-laskar dan organisasi pemuda, salah satunya PRI. Namun, tindakan perlawanan yang dilakukan oleh PRI atas dasar rasa kebencian yang telah mencapai batasnya ini tidak dapat dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Puncaknya pada 15 Oktober 1945, terjadi pembantaian terhadap orang-orang asing, khususnya Belanda yang dicurigai sebagai mata-mata NICA. Pembantaian yang terjadi di markas besar PRI (kawasan Balai Pemuda Surabaya) ini, dilakukan sebagai bentuk balas dendam atas diskriminasi dan pelecehan rasial yang pernah dialami pada masa penjajahan. Peristiwa ini setidaknya menelan korban sebanyak 40-50 jiwa.
Para pemuda Surabaya banyak yang memiliki persenjataan hasil merampas dari tentara Jepang maupun Belanda. Mereka merasakan suatu kesenangan ketika berusaha menembaki orang-orang Asing itu secara brutal, karena didorong rasa kebencian yang menggebu di dalam dirinya.
Tindakan kekerasan juga dilakukan oleh para pemuda dan laskar di Sumatera Barat. Setelah Jepang tidak lagi berkuasa di Indonesia, orang-orang Eropa yang ditahan di kamp interniran Jepang mulai dibebaskan. Mereka kemudian berkumpul di Hotel Oranje dengan dikawal oleh pasukan Belanda. Di samping orang-orang Eropa dan Cina, terdapat beberapa orang Indonesia yang hadir di sana, seperti G.A. Bosselaar dan Djalaluddin Thaib.
ADVERTISEMENT
Para pemuda dan laskar tidak senang kepada orang-orang Indonesia yang ada di sana. Dengan kejam para pemuda dan laskar melakukan penjarahan, penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap orang-orang yang diduga sebagai simpatisan Belanda.
Para pemuda dan laskar memiliki persenjataan lengkap yang diduga merupakan hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka melakukan aksi revolusioner secara berlebihan, bahkan lepas dari komando militer. Sama halnya seperti peristiwa yang terjadi di Surabaya, para pemuda dan laskar melakukan aksi ini atas dasar balas dendam terhadap penjajahan Belanda di masa lalu.
Namun tindakan yang mereka lakukan telah melampaui batas. Pasalnya mereka tidak hanya menyasar orang Eropa saja, namun juga orang-orang Indonesia, Tionghoa, dan India.
Mereka membuat kerusuhan dengan menjarah dan merampok para penduduk, membunuh para pejabat lokal yang dulunya memiliki jabatan pada masa kolonial, dan menculik dan memperkosa para perempuan yang sudah bersuami. Bahkan, pada 3 Maret 1947, para pemuda dan laskar melakukan perlawanan terhadap pemerintah sebagai bentuk penolakan terhadap isi Perjanjian Linggarjati.
ADVERTISEMENT
Sudah jelas bahwa gerakan yang dilakukan oleh para pemuda dan laskar revolusi ini sangat bertentangan dengan semangat proklamasi dan cita-cita kemerdekaan. Pada awalnya, para pemuda dan laskar ini memang turut berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dengan semangat revolusioner yang tinggi. Namun, mereka seperti terhanyut dalam amarah balas dendam dengan menunjukkan sikap nasionalisme ekstrem, yang pada akhirnya akan mendorong mereka untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan tanpa mengenal belas kasihan.

Fenomena Kekejaman Masyarakat Indonesia yang Muncul secara Mendadak

Pada umumnya, masyarakat Indonesia dikenal akan keramahannya terhadap orang lain, termasuk pada orang asing. Namun, keramahan ini dapat berubah secara drastis apabila muncul suatu pemantik yang menyulut emosi masyarakat. Di mana masyarakat akan bertindak dengan sangat kejam terhadap orang-orang yang dianggap sebagai musuhnya. Dalam hal ini, penderitaan di bawah belenggu penjajahan telah berubah menjadi dendam yang harus dibalaskan.
ADVERTISEMENT
Ketika masa revolusi kemerdekaan, banyak pejuang Republik yang tewas di tangan tentara asing, bahkan tanpa melakukan perlawanan. Inilah yang kemudian menyulut emosi masyarakat untuk bertindak sangat kejam terhadap tentara asing maupun para simpatisannya sebagai bentuk balas dendam yang telah lama terpendam. Dapat dikatakan bahwa inilah sisi lain yang terkejam dari masyarakat Indonesia yang dikenal akan keramahannya.
Fenomena ini pernah diteliti oleh Giovanni Hakkenberg, seorang anggota intelijen Dinas Keamanan Brigade Angkatan Laut Belanda. Ia menyebutkan bahwa kekejaman yang dilakukan masyarakat Indonesia terjadi secara mendadak tanpa mengenal batas.
Betapa tidak, pada masa revolusi kemerdekaan, setiap tentara Belanda maupun Sekutu yang berhasil ditangkap oleh para pejuang Republik, hampir tidak dapat lolos dari kematian. Bahkan mereka akan disiksa sebelum menemui kematian yang sangat mengerikan. Di mana bagian tubuh mereka akan dimutilasi dengan sangat kejam.
ADVERTISEMENT
Peristiwa seperti ini sangat jarang ditulis dalam historiografi Indonesia, karena akan menodai perjuangan mempertahankan kedaulatan Indonesia yang telah dilakukan oleh para pejuang republik.