Pentingnya Lembaga Pendidikan Tinggi di Perbatasan NKRI

Tinus Zainal
Diplomat Indonesia, pernah ditugaskan di Kedutaan Besar RI Roma merangk, saat ini menjadi Peserta Sesdilu ke-61, Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2018 12:53 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tinus Zainal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siang itu 15 Agustus 2018, dua mobil bus kecil terseok-seok menaiki jalan menuju sebuah kampus yang berada di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Sesekali mobil tersebut terpaksa harus berhenti karena terjalnya jalan berbatu menuju kampus tersebut. Di sepanjang perjalanan terlihat gersangnya hutan yang meranggas di sana-sini akibat panjangnya musim kemarau.
ADVERTISEMENT
Namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah dan semangat 32 Diplomat Muda Indonesia dalam bus tersebut untuk berbagi ilmu dan mengenal lebih dekat permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dan civitas akademisi di kampus yang akan dituju.
Setelah melewati medan berat sekitar 35-45 menit dari kota Belu, para diplomat akhirnya sampai di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Fajar Timur. STISIP ini merupakan satu-satunya sekolah tinggi yang ada di Kabupaten Belu, Kabupan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Indonesia, Timor Leste. Kuliah Umum hari itu secara resmi dibuka oleh Rektor STISIP, Romo Marcel Bria dan dilanjutkan dengan Sambutan dari Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri, Yayan G.H. Mulyana.
Pemberian Cindera Mata dari Kapusdiklat Kemenlu, Yayan G.H.Mulyana kepada Rektor STISIP Fajar Timur, Romo Marcel Bria
ADVERTISEMENT
(Foto oleh Tim UPT Sesdilu 61)
Selanjutnya, dua orang Diplomat Muda Indonesia diundang menjadi pembicara dalam kuliah umum hari itu yaitu Muhammad Taufan yang membahas mengenai “Border Diplomacy” dan Hermawan Janu Wibowo membahas mengenai “Rekrutmen Pegawai Kementerian Luar Negeri”. Kegiatan difokuskan kepada diskusi interaktif yang melibatkan partisipasi maksimal para peserta serta berbagai kuis guna menambah semangat para peserta kuliah umum.
Hadir sekitar 150-175 peserta dalam kegiatan tersebut. Berbagai pertanyaan terkait permasalahan perbatasan darat dan laut, kejahatan lintas negara, serta kebijakan luar negeri Indonesia lainnya dilontarkan oleh para peserta kepada pembicara. Pembicara menjawab pertanyaan sesuai dengan teori maupun praktik yang terjadi di lapangan. Beberapa jawaban pertanyaan juga ditambahkan oleh para diplomat lainnya yang kebetulan menangani permasalahan terkait sehari-hari di Kementerian Luar Negeri.
Suasana Kuliah Umum di STISIP Fajar Timur
ADVERTISEMENT
(Foto oleh Tim UPT Sesdilu 61)
Kegiatan yang berlangsung sekitar 2 jam tersebut telah memberikan informasi dan masukan bagi kedua belah pihak. Pihak mahasiswa mendapat pengetahuan baru mengenai berbagai permasalahan kebijakan luar negeri Indonesia dan para diplomat muda mendapatkan masukan atas kebijakan luar negeri dari pihak akademisi dan mahasiswa yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan masyarakat di negara tetangga Indonesia.
Peran Penting Sekolah Tinggi di Perbatasan RI-Timor Leste
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fajar Timur adalah satu-satunya sekolah tinggi yang ada di Kabupaten Belu. Didirikan sejak tahun 2002, sekolah tinggi tersebut saat ini memiliki dua jurusan yaitu Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Pemerintahan. Sekolah Tinggi tersebut menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa terutama bagi generasi muda di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Oktavianus Koa, salah satu Dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Administrasi Negara di sekolah tinggi tersebut menyampaikan peran penting institusi pendidikan tinggi bagi masyarakat Belu. Sekolah tinggi tersebut telah membantu memfasilitasi lebih banyak lagi generasi muda di Belu dan sekitarnya untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi setelah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sebelum adanya sekolah tinggi tersebut, menurutnya generasi muda Kabupaten Belu dan sekitarnya yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi setelah tamat SMA harus pergi ke Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk pergi ke sana, diperlukan waktu 6-7 jam menggunakan mobil bus umum dengan biaya sekitar Rp. 100.000 satu kali perjalanan. Selain itu, mahasiswa juga harus menyewa kos-kosan dan membiayai hidup sendiri. Hasilnya banyak diantara mereka yang tidak mampu melanjutkan pendidikan mereke ke tingkat yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, jika kuliah di sekolah tinggi tersebut, mahasiswa bisa tinggal bersama orang tua mereka. Dalam hal biaya hidup dan transportasi pasti lebih murah. Lebih lanjut disampaikan bahwa keberadaan sekolah tinggi tersebut juga memberikan kesempatan bagi generasi muda yang sudah bekerja untuk melanjutkan pendidikan mereka. Biasanya mereka kerja di pagi hari dan kuliah di sore hari.
Foto Bersama di depan STISIP Fajar Timur setelah kuliah umum selesai dilaksanakan
(Foto oleh Tim UPT Sesdilu 61)
Harapan ke depannya
Segenap jajaran akademis STISIP ajar Timur mengapresiasi kebijakan Presiden RI Joko Widodo yang membangun Indonesia dari pinggiran. Hal ini memberikan harapan bagi mereka agar pembangunan yang saat ini difokuskan untuk membangun fisik (infrastruktur) akan dilanjutkan dengan pembangunan sumber daya manusia di perbatasan ke depannya.
ADVERTISEMENT
Secara pribadi, Oktavianus Koa berharap lebih banyak lagi generasi muda di wilayah tersebut dapat melanjutkan pendidikan mereka hingga ke tingkat pendidikan tinggi. Hal ini karena generasi muda yang berpendidikan tinggi akan dapat memberkan kontribusi positif bagi pembangunan dan kemajuan wilayah di perbatasan tersebut.
Ia juga berharap agar segera dapat ikut ujian sertifikasi dosen. Hal ini dapat semakin mengukuhkan profesionalitasnya sebagai seorang dosen dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, sertifikasi dosen juga akan memberikan kesempatan baginya untuk dapat memperbaiki kualitas hidup keluarga.