Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Cyberbullying di Kalangan Anak Muda: Apakah Etika Sudah Hilang?
12 Maret 2025 12:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tio Pani Malau tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam kehidupan manusia, terutama di kalangan anak muda. Media sosial dan platform digital lainnya menjadi sarana utama bagi mereka untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri. Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, muncul fenomena negatif yang dikenal sebagai cyberbullying atau perundungan daring. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keberadaan etika di kalangan generasi muda saat ini.
ADVERTISEMENT
Cyberbullying merujuk pada tindakan intimidasi, pelecehan, atau penghinaan yang dilakukan melalui media digital, seperti media sosial, pesan instan, atau platform online lainnya. Bentuk-bentuknya meliputi penyebaran rumor, ancaman, penghinaan, hingga penyebaran informasi pribadi tanpa izin. Keunikan cyberbullying terletak pada kemampuannya menjangkau korban kapan saja dan di mana saja, dengan audiens yang lebih luas dibandingkan perundungan konvensional.
Di Indonesia, fenomena cyberbullying menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sebuah survei yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2020 terhadap 2.777 anak muda Indonesia berusia 14-24 tahun menemukan bahwa 45% di antaranya mengaku pernah mengalami cyberbullying. Menariknya, jumlah anak laki-laki yang menjadi korban sedikit lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, masing-masing sebesar 49% dan 41%. Selain itu, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa mayoritas korban cyberbullying berasal dari kelompok usia 18–25 tahun (57%), diikuti oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun (26%). (data.goodstats.id)
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus cyberbullying di Indonesia telah menarik perhatian publik. Salah satunya adalah kasus yang melibatkan selebgram Luluk Nuril yang diduga melakukan cyberbullying terhadap seorang murid SMK. Akibat tindakan tersebut, korban mengalami kehilangan kepercayaan diri dan trauma psikologis.(news.detik.com) Kasus lain yang mencuat adalah perundungan terhadap seorang siswi SMA di Pontianak bernama Audrey pada tahun 2019. Kasus ini mendapatkan perhatian luas setelah tagar #JusticeForAudrey viral di media sosial. Peristiwa ini berawal dari perselisihan di media sosial yang kemudian berlanjut ke kekerasan fisik. (kumparan.com)
Dampak dari cyberbullying sangat serius dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan korban, Seperti : Dampak Psikologis, Korban dapat mengalami stres, kecemasan, depresi, dan bahkan berpikir untuk bunuh diri. Rasa malu dan rendah diri juga bisa menjadi dampak jangka panjang yang mengganggu perkembangan emosional dan sosial mereka. Serta ,Dampak Sosial, Anak-anak dan remaja yang menjadi korban cyberbullying cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan kegiatan di dunia nyata. Mereka mungkin merasa malu atau takut untuk bergaul dengan teman-teman mereka karena pengalaman buruk yang mereka alami secara online.
ADVERTISEMENT
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying di kalangan remaja antara lain: Anonimitas di Dunia Maya: Kemampuan untuk menyembunyikan identitas asli membuat pelaku merasa lebih bebas melakukan perundungan tanpa takut dikenali atau dihukum.
Kurangnya Pengawasan Orang Tua: Orang tua yang kurang terlibat atau tidak memahami aktivitas online anak-anak mereka dapat membuat anak lebih rentan terhadap cyberbullying, baik sebagai korban maupun pelaku.
Pengaruh Lingkungan dan Teman Sebaya: Tekanan dari teman sebaya atau keinginan untuk diterima dalam kelompok tertentu dapat mendorong remaja melakukan perundungan online.
Kurangnya Pendidikan Etika Digital: Minimnya pemahaman tentang etika berinternet membuat remaja tidak menyadari dampak negatif dari tindakan mereka di dunia maya.
Etika berperan penting dalam mencegah dan mengatasi cyberbullying. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika digital, individu dapat lebih bijak dalam berinteraksi di dunia maya. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
ADVERTISEMENT
Pendidikan Etika Digital, Penting untuk memasukkan materi tentang etika digital dalam kurikulum pendidikan. Hal ini akan membantu remaja memahami konsekuensi dari tindakan mereka di dunia maya dan mendorong perilaku yang lebih bertanggung jawab.
Pengawasan dan Keterlibatan Orang Tua, Orang tua perlu lebih terlibat dalam aktivitas online anak-anak mereka. Dengan memahami platform yang digunakan dan berkomunikasi secara terbuka, orang tua dapat memberikan arahan yang tepat mengenai perilaku yang baik di dunia maya.
Kebijakan dan Regulasi yang Ketat, Pemerintah dan penyedia platform digital perlu menetapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap kasus cyberbullying. Fitur pelaporan, moderasi konten, serta penegakan hukum terhadap pelaku bisa menjadi solusi untuk menekan angka perundungan digital.
Cyberbullying di kalangan anak muda menunjukkan kurangnya kesadaran akan etika digital. Membangun budaya empati dan menghormati orang lain di dunia maya sangat penting. Jika kesadaran etika diperkuat, lingkungan digital yang lebih aman dan positif bisa terwujud, sehingga anak muda dapat menggunakan internet dengan lebih bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Penulis mahasiswa prodi manajemen fakultas ekonomi dan bisnis universitas katolik santo thomas medan.