11 Maret: Hari Kelahiran Supersemar, Hari Kekalahan Sukarno

11 Maret 2017 10:39 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Presiden Sukarno upacara penguburan korban G30S. (Foto: yayasanakudansukarno.com)
Pada dasarnya dekade 60-an bukanlah dekade yang baik buat Sukarno.
ADVERTISEMENT
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatanganinya agar Soeharto mengembalikan kestabilan keamanan justru dimaknai lain oleh bawahannya itu. Melengkapi kudeta, Supersemar menjadi justifikasi Soeharto merebut kuasa sang pendahulu sampai titik terakhir.
Meski begitu, Supersemar hanyalah pucuk dari gunung es keruntuhan rezim Sukarno.
Sukarno (Foto: abc.net.au)
Latar
Posisi Sukarno yang melemah adalah buah dari dominasinya di kancah politik beberapa tahun sebelumnya. Dengan ditandatanganinya Dekrit Presiden pada 1959, kekuasaan Indonesia secara de facto jatuh ke dalam tangan Sukarno. Posisinya yang sudah dominan dalam Demokrasi Terpimpin mulai tahun 1957, menjadi lebih lagi dengan dekrit tersebut dan pengangkatannya sebagai Presiden Seumur Hidup oleh MPRS pada tahun 1963.
Pilihan sistem politik yang semakin memusat kepada sosok Sukarno menjadi pilihan atas ketidakstabilan politik paling akut sejak masa kemerdekaan. Namun, bagai pisau bermata dua, sentralitas kekuasaan yang terus bergerak kepada Sukarno menimbulkan kerugian sebagaimana keuntungan yang didapat.
ADVERTISEMENT
Untungnya, keadaan kaos semasa Demokrasi Parlementer/Liberal tak ada lagi. Meski begitu, Sukarno, yang semakin lama semakin seperti diktator negara baru itu, amat kencang didera kritik dari masyarakatnya.
Kondisi Indonesia awal dekade 60-an memang gawat. Dari tahun 1961 hingga 1966, angka inflasi di Indonesia selalu berada di atas angka 100 persen. Di tahun 1965, angka tersebut bahkan meloncat ke angka 600 persen. Harga beras meningkat tajam, dan makan menjadi perkara yang betul-betul nyata di tahun-tahun tersebut.
Untuk meletakkannya ke dalam perspektif masa itu, Anda bisa membayangkan bahwa keadaan mengenaskan tersebut sampai menjadi bahan olok-olok pasca Sukarno tumbang. Menurut Hilmar Farid dalam Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion 1965-1966, para pasukan yang menawan tapol komunis di Maluku menyuruh tahanan yang kelaparan itu untuk mengkonsumsi tikus “seperti yang Sukarno suruh” di masa paceklik sebelum 1965.
Sukarno dan Soeharto (Foto: Asian History and Culture)
Proses Kelahiran
ADVERTISEMENT
Keadaan masyarakat yang miris tersebut mau tidak mau memperparah keributan di ranah politik. Apa yang Sukarno lakukan di masa-masa pelik itu, termasuk mengenalkan konsep Nasakom (Nasionalisme Agama & Komunisme), adalah untuk menyeimbangkan konstelasi politik dengan agenda yang sama sekali berbeda. Apa lacur, usaha itu gagal.
Untuk menjelaskan siapa-bermain-apa-melawan-siapa dalam kondisi politik di masa itu sungguh ruwet. Merle Ricklefs, sejarawan dari Cornell University yang berkutat pada alur sejarah negeri ini, menyebut panggung politik menuju 1965 sangat ruwet.
Maka dapat dipahami ketika peristiwa 30 September 1965 pecah, Sukarno sebetulnya tengah menghadapi panggilan dini dari Yang Maha Kuasa.
Dengan upaya kudeta amatir itu menemui kegagalan, posisi Angkatan Darat yang mendominasi sayap kanan mulai mengudara. Tak hanya berhasil mengalahkan usaha coup dalam satu malam di bawah komando Panglima Kostrad Soeharto, kemarahan masyarakat Indonesia atas terbunuhnya jenderal-jenderal membuat aksi-aksi militer terhadap simpatisan PKI luar biasa didukung. Misalnya, oleh Angkatan 66 yang lewat Tritura menuntut perombakan Kabinet Dwikora yang dipenuhi orang-orang PKI dan pembubaran partai tersebut.
Soeharto (Foto: Larry Burrows/ LIFE)
Gerakan Arus Bawah
ADVERTISEMENT
Meski begitu Sukarno bertindak skeptis terhadap ide keras menumpas PKI. Tidak menerima tuntutan Angkatan 66, pada 21 Februari 1966 Sukarno justru mengumumkan kabinet baru yang masih memuat banyak tokoh-tokoh yang simpati pada PKI. Sebuah langkah yang kelak disesali Sukarno.
Tanggal 24 Februari 1966, Angkatan 66 memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Di peristiwa itu, Arif Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia tewas diterjang pelor Resimen Tjakrabirawa. Sehari setelahnya, KAMI, salah satu pengisi Angkatan 66 dibubarkan. Tekanan dari demonstrasi mahasiswa semakin meningkat.
Pada 5 Maret 1966, Soeharto yang telah naik drastis di panggung politik dan saat itu menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat mengajukan usulan menteri kepada Sukarno. Usulan itu ditolak mentah-mentah.
Protes dan demonstrasi terus berlanjut hingga 10 Maret 1966. Hari itu Sukarno yang tengah berada di Jakarta bahkan harus menyingkir ke Istana Bogor untuk menghindari ancaman demonstrasi. Padahal hari berikutnya ia merencanakan Sidang Kabinet Dwikora yang Telah Disempurnakan. Ia baru kembali ke Jakarta pagi harinya menggunakan helikopter.
ADVERTISEMENT
Sidang itu tak sampai selesai. Massa yang menjamur di depan Istana dan sekitaran Monas kemudian disusupi oleh kehadiran pasukan liar yang bisa saja mengancam keselamatan Sukarno. Hal itu membuat Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur memutuskan untuk membawa Presiden Sukarno terbang kembali ke Bogor bersama dengan ajudannya dan tiga Waperdam, Subandrio, Chairul Saleh, dan Johannes Leimena.
Angkatan 66 (Foto: Moestopo/ Yudhistira)
Sore 11 Maret 1966, nahas tiba. Sukarno yang tengah beristirahat di Istana Bogor disusul oleh tiga jenderal, yaitu Jendeal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, Jenderal Amirmachmud. Mereka bertiga, yang juga berjaga di sidang kabinet, menemui Sukarno di Bogor dengan menggunakan helikopter.
Dikutip dari Kompas, tujuan kedatangan mereka adalah untuk menjelaskan situasi keamanan Jakarta agar Sukarno tak punya pikiran buruk tentang pasukan liar yang ternyata bagian dari Angkatan Darat itu (yang disebut oleh Sabur adalah pasukan RPKAD) dan agar AD sendiri tak lantas meninggalkan Sukarno.
ADVERTISEMENT
Sebelum ke Bogor, ketiga jenderal tersebut menemui Soeharto untuk membahas ide menemui Sukarno tersebut. Saat itu Soeharto sakit dan tidak menghadiri rapat kabinet. Soeharto setuju dan menitip pesan agar disampaikan kepada Sukarno. Isi pesan tersebut adalah untuk memercayakan kembali tugas menstabilkan situasi politik kepada dirinya.
Sejarah menceritakan bahwa kemudian ketiga jenderal itu menemui Sukarno di sore hari, Jumat, 11 Maret 1966. Sehari setelah menerima surat perintah tersebut, PKI dibubarkan. Masyarakat yang gembira tuntutannya dikabulkan, melihat Soeharto sebagai malaikat penyelamat.
Usaha-usaha Sukarno untuk mengembalikan lagi kewenangannya ia lakukan berulang kali. Seperti misalnya saat ia memanggil semua panglima angkatan bersenjata pada 14 Maret 1966 dan menegaskan bahwa surat tersebut bukan untuk membubarkan PKI. Atau juga dengan pidato berjudul “Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah) di 17 Agustus 1966 yang menjelaskan Supersemar bukanlah transfer of sovereignty. Keduanya tak digubris Soeharto dan kelompok yang mendukungnya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, surat tersebut hanyalah pucuk dari gunung es masalah Orde Lama yang terus meluas. Mengapa surat tersebut lahir tak lepas dari kejenuhan politik dan kerinduan masyarakat Indonesia akan harapan baru, harapan yang tak lagi dilihat dari pemerintahan Sukarno.
Walhasil, surat yang hanya memerintahkan penjaminan keamanan dan keselamatan ia dan keluarganya justru menjadi peneguh wewenang Soeharto untuk 32 tahun ke depan.