Orang-orang Sikh: Merasakan Diskriminasi karena Seikat Turban

9 Mei 2017 8:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kita tahu bahwa peristiwa penyerangan menara kembar World Trade Center di New York pada 9 September 2011 (9/11) berdampak luar biasa besar pada kemanusiaan. Selain ribuan jiwa melayang karena peristiwa tersebut --disusul jutaan orang tewas karena invasi balasan Amerika Serikat, peristiwa itu membawa kabar buruk bagi kaum minoritas di negara-negara Barat.
ADVERTISEMENT
Orang-orang minoritas di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, sekalipun mereka tak terlibat Tragedi 9/11, menjadi korban balas dendam akibat aksi segelintir anggota Al Qaeda tersebut. Gara-gara aksi teroris berlabel jihad tersebut, kelompok muslim di dunia dituduh menjadi teroris.
Namun ternyata, bukan cuma muslim yang menjadi korban serangan balas dendam sebagian kaum Barat yang barbar. Masyarakat Sikh, yang secara kasat mata berpenampilan khas dengan atribut turban yang tak biasa terlihat di Barat, menjadi korban picik orientalisme seperti yang pernah kumparan (kumparan.com) bahas di sini.
Alih-alih orang muslim, korban serangan balas dendam pertama akibat peristiwa 9/11 adalah orang Sikh.
Pria nahas itu bernama Balbir Singh Sodhi. Pada 15 September 2001 atau empat hari setelah serangan teror Al Qaeda terjadi, Balbir ditembak di pom bensin yang ia jaga di Arizona.
ADVERTISEMENT
Balbir adalah orang biasa, dan ia melakukan hal yang biasa. Namun, turban di kepalanya menjadi pemancing tragedi yang banal. Adalah Frank Roque yang menembakkan lima pelor panas ke punggung Balbir, dan ia juga orang biasa lainnya.
Roque, beberapa saat setelah peristiwa 9/11 terjadi, tengah berada di sebuah bar. Di bar itu, televisi menyuguhkan gambar yang membuatnya tertegun: pesawat terbang meluncur, menubruk Gedung WTC dan membuatnya runtuh, bola api tepercik, asap membubung ke udara, orang-orang berlarian berteriak panik. Laksana akhir dunia.
Melihat itu semua, sebuah kalimat ganti terbang dari mulut Roque, “Aku akan pergi dan menembak orang-orang berkepala handuk itu,” ucapnya kepada seorang pelayan di bar Aplebee, Arizona.
Tak ada yang menganggapnya serius, walau ia melanjutkan ucapan dengan kalimat yang lebih kejam lagi, “Dan kita harus membunuh anak-anak mereka juga, karena mereka akan tumbuh persis seperti orang tua mereka.”
ADVERTISEMENT
Bagi Roque yang jahanam-tapi-bodoh itu, kepala handuk (turban) mereka itu menandakan kesatuan mereka dengan para teroris. Dan kenyataan tak mungkin lebih sumir lagi.
Pemeluk Sikh menggunakan sorban (Foto: Pixabay)
Aksi Roque menembak Balbir menandai berbagai tindak serangan hingga diskriminasi senada yang menarget kaum Sikh akibat rentetan tragedi yang tak mereka sebabkan.
16 tahun berlalu dan diskriminasi terhadap kaum Sikh masih berlanjut. Kaum Sikh, dengan turban dan jenggotnya yang memang tak boleh dipotong itu, kerap menjadi target salah sasaran kebencian orang Barat terhadap kaum muslim.
Sederhananya, orang-orang Barat kerap kali mengira orang Sikh sama saja dengan muslim. Hate crime yang ditujukan kepada muslim pun adalah sesuatu yang tidak bisa dijustifikasi. Maka mengira Sikh sama dengan Muslim dan sama-sama teroris, adalah kebodohan yang berpangkat dua.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Berdasarkan data Sikh Coalition, pada tahun 2009 sebanyak 41 persen kaum Sikh di New York pernah --setidaknya sekali-- dipanggil dengan sebutan merendahkan seperti “Osama bin Laden” atau “teroris”.
Hanya karena Osama bin Laden memakai turban, orang-orang Sikh di negara-negara Barat sering kali merasakan diskriminasi yang sama.
Bahkan, Desember 2015, sebuah tempat ibadah kaum Sikh di San Bernardino, California, menjadi korban vandalisme dengan coret-coretan besar di dinding yang bertuliskan “Fucking ISIS”.
Secara logika, ISIS membawa propaganda Islam, dan Sikh berasal dari India. Ada perbedaan jelas di sini --yang tak hendak dipahami manusia berego tinggi yang kerap memukul rata semua hal di dunia, dan kasus-kasus kekerasan bercampur diskriminasi tak henti-hentinya menyerang kaum Sikh.
Pemeluk Sikh menggunakan sorban (Foto: Pixabay)
Masalahnya, kadang panggilan dan sebutan diskriminatif dan rasialis hanyalah pemanasan bagi kekerasan fisik. Masih berdasarkan data Sikh Coalition, 9 persen orang Sikh dewasa di New York pernah mengalami kekerasan fisik hanya gara-gara menjadi dan mengenakan atribut orang Sikh.
ADVERTISEMENT
[Baca: ]
Orang-orang Sikh dikenal luas memegang teguh atribut kepercayaan mereka --yang disebut dengan 5K, yaitu: Kenga atau sisir rambut, Kera atau gelang tangan, Kirpan atau pisau, Kesh atau rambut yang tak terpotong, dan Kachha yang berarti pakaian dalam.
Pada gilirannya, atribut tersebut kerap dipandang sebagai petunjuk bahwa orang yang memakainya patut dibenci. Tak hanya kepada orang dewasa, diskriminasi tersebut juga terjadi pada anak-anak.
Berdasarkan laporan Sikh Coalition dan Asian American Legal Defense and Education Fund (AALDEF), 60 persen persen anak-anak Sikh yang memakai turban mengalami kekerasan verbal dan fisik di sekolah mereka.
Orang-orang Sikh (Foto: Wikimedia Commons)
Apa yang sebenarnya bisa diharapkan untuk melawan perlakuan tak adil terhadap orang Sikh tersebut?
ADVERTISEMENT
Tentu saja bukan dengan cara kebijakan yang diskriminatif oleh negara. Celakanya, New York Police Department (NYPD) melarang orang Sikh yang bekerja di kesatuannya untuk memakai turban. Kebijakan tersebut baru diubah akhir Desember 2016, dengan mencabutnya.
Beberapa bulan sebelumnya, seorang tentara Sikh di Angkatan Darat Amerika Serikat baru saja memenangkan haknya untuk mengenakan turban setelah ia menuntut Angkatan Darat AS karena melakukan diskriminasi agama karena tak membolehkan penggunaan turban dan pemeliharaan jenggot.
[Baca juga: ]