Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Konten dari Pengguna
Tirto Adhi Soerjo: Agar Indonesia Tak Lagi menjadi 'Bangsa Terprentah'
15 Agustus 2017 18:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Tirto Adhi Soerjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tirto Adhi Soerjo mendirikan surat kabar Medan Prijaji (1907) dengan moto yang sangat menohok penjajah: “Orgaan Boeat bangsa jang terperentah di H.O. tempat akan memboeka swaranya anak-Hindia”. Ia tak pernah bermain-main dengan moto tersebut.
ADVERTISEMENT
Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama sebab menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani pribumi Indonesia asli. Oleh Tirto, media ini menjadi corong publik yang kerap melancarkan kritik terhadap kolonial Belanda.
Pada tahun 1909, misalnya, Tirto membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers terjadi dan Tirto dituduh menghina pejabat Belanda. Ia terkena Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang Pers tahun 1906). Kendati ia memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro), Tirto tetap dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan. Antara tahun 1909-1911, Tirto meraih puncak kejayaan dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
ADVERTISEMENT
Pada 1912, Medan Prijaji kembali terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini) menggantikan ayahnya. Tirto pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera selama 6 bulan.
Sekembali dari Ambon, pada 1914-1918, ia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918. Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua, Jakarta, hingga kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973.
Marco Kartodikromo, murid Tirto yang kelak jauh lebih radikal darinya dalam berjuang, memberi kesaksian tentang gurunya tersebut:
"Pembatja jang terhormat jang baroe berkenalan dengan soerat kabar dalam 4-5 tahoen sadja, boleh djadi beloem tahoe terang akan keadaan beliau, siapakah Raden Mas Tirto ini? … Raden Mas Tirto Hadi Soerjo, jalah seorang bangsawan asali dan djoega bangsawan kafikiran Boemipoetra jang pertama kali mendjabat Journalist. Boleh dibilang toean T.A.S. indoek Journalist Boemipoetra di ini tanah Djawa, tadjam sekali beliau poenja penna, banjak Pembesar-pembesar jang kena critieknja djadi moentah darah dan sebagian besar soeka memperbaiki kelakoeannja jang koerang Pembatja jang terhormat djangan heran saja..."
ADVERTISEMENT
Pada hari-hari belakangan ini, ketika banyak media mulai kehilangan kemudi dan akal sehatnya, penuh kepentingan politik dan sarat berita hoax, ingat-ingatlah nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji: seseorang yang membawa Indonesia agar tak lagi menjadi bangsa yang terprentah.