Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bersabarlah Kaesang, Kesempatan Masih Panjang
21 Agustus 2024 13:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kali ini saya ingin menulis tentang Kaesang. Ketua Umum PSI, putra bungsu Presiden Jokowi sekaligus adiknya Gibran Raka Buming, Wapres terpilih yang bakal dilantik 20 Oktober mendatang.
ADVERTISEMENT
Pentingkah menulis tentang Kaesang? Dalam ensiklopedia kepenulisan saya penting setidaknya karena dua argumen berikut ini.
Pertama, Kaesang merupakan ketua sebuah partai politik, institusi yang memiliki hak konstitusional untuk menyiapkan dan mengajukan calon-calon pemimpin politik di berbagai tingkatan.
Kedua, Kaesang merupakan satu dari amat sangat sedikit anak muda yang memiliki peluang (dengan potensi durasi kesempatan yang relatif Panjang) untuk menjadi pemimpin masa depan di negeri ini.
Ketiga, setelah melompat dengan cara super kilat memimpin partai politik, natur homo politics Kaesang, hasratnya menjadi penguasa tumbuh pula dengan cepat. Kini ia sedang membidik posisi politik penting di sebuah provinsi besar di pulau Jawa. Kaesang bersiap menjadi Calon Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Dengan dukungan kekuatan penuh dari kubu KIM Plus, Kaesang yang kabarnya bakal dipasangkan dengan Ahmad Luthfi sebagai bakal Cagubnya, mungkin tidak akan terlalu sulit untuk memenangi kontestasi.
ADVERTISEMENT
Terganjal Putusan MK
Tetapi hasrat dan langkah awal Kaesang rupanya tidak mudah, bahkan sangat mungkin terganjal setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review yang diajukan oleh Anthony Lee dan Fahrur Rozi tentang syarat minimal batas usia Cagub dan Cawagub.
Dalam gugatannya Lee dan Rozi memohon agar MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali kota dan Wakil Wali kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon.”
Norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 yang dimaksud itu menyatakan bahwa Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota antara lain harus memenuhi persyaratan: “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Wali kota dan Calon Wakil Wali kota.”
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangan hukum (Angka 3.17) yang mendasari penolakannya sebagaimana dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, MK berpandangan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon.
Dengan putusan MK tersebut peluang Kaesang untuk maju sebagai Cagub atau Cawagub tertutup sudah, karena ia baru berusia 29 tahun delapan bulanan pada saat dimulainya proses pendaftaran 27 Agustus 2024. Jadi kurang sekitar 4 bulan. Kaesang lahir 25 Desember 1994.
ADVERTISEMENT
Bukan Sekadar Kurang Umur
Tetapi masalahnya memang bukan sekadar kurang umur. Menjadi pemimpin, apalagi pemimpin untuk jutaan rakyat, untuk wilayah yang sangat luas dan kompleksitas permasalahan yang harus dikelola, tentu membutuhkan berbagai kriteria lebih dan mumpuni. Mulai dari kematangan emosi (dan ini, meski tidak selalu, seringkali beririsan dengan bilangan usia), pengalaman kepemimpinan, hingga ke aspek kompetensi dan kecakapan yang relevan dengan bidang yang bakal dikelola dan dipimpinnya.
Kaesang saat ini, hemat saya memang masih agak jauh dari kriterium kategorikal itu. Bahwa ia ketua partai iya. Tetapi semua orang tahu belaka, keberhasilannya memuncaki posisi pimpinan di partainya berlangsung dalam proses yang bisa dibilang “tidak lazim.” Hari ini menjadi anggota, tiga hari kemudian menjadi ketua. Kaesang tidak mengalami proses penempaan atau “kawah candradimuka” kepemimpinan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Bahwa Kaesang memiliki pengalaman mengelola bisnis dan tentu saja memimpin perusahaannya iya. Tetapi mengelola pemerintahan dan sebuah daerah besar setingkat provinsi serta memimpin jutaan rakyat tentu saja berbeda dengan mengelola usaha dengan karyawan yang hanya belasan atau puluhan orang. Kaesang baru berpengalaman sebagai bos dan manajer, tapi belum sebagai pemimpin rakyat.
Lebih dari itu semua, mari kita bandingkan dengan beberapa nama (sekadar contoh) yang kurang lebih sama populernya dengan Kaesang yang saat ini sedang disiapkan oleh partai-partai untuk menjadi Cagub atau Cawagub di berbagai provinsi. Perbandingan ini penting untuk membaca secara komparatif dan hipotetik di level mana posisi pengalaman, kompetensi dan kecakapan Kaesang sebagai calon pemimpin.
Di ujung timur pulau Jawa ada Khofifah dan Emil Dardak. Khofifah adalah aktivis, lama berkiprah sebagai pemimpin organisasi perempuan di lingkungan Nahdliyin, pernah menjadi Menteri, dan terakhir adalah Gubernur. Emil Dardak adalah Doktor di bidang ekonomi, ditempa di dua partai yang berbeda, Demokrat dan PDIP, pernah menjadi Bupati Trenggalek sebelum akhirnya menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Di Jawa Tengah ada Taj Yasin. Aktivis yang ditempa dan pernah memimpin GP Ansor Jawa Tengah, lama sebagai kader dan pengurus PPP, pernah menjabat Anggota DPRD Provinsi sebelum akhirnya menjabat Wakil Gubernur Jateng mendampingi Ganjar Pranowo. Lalu ada Bambang Wuryanto, pernah menjadi pebisnis, politisi senior PDIP, empat periode menjadi Anggota DPR RI, pernah memangku jabatan Wakil Ketua MPR, nyaris seperempat abad “macul” sebagai politisi.
Di Jawa Barat ada Dedi Mulyadi dan Rieke Diah Pitaloka. Dedi adalah aktivis HMI, pernah menjadi anggota DPRD, Wakil Bupati lalu Bupati Purwakarta, Anggota DPR RI, lama menempa diri dan berkiprah sebagai politisi di Partai Golkar sebelum pindah ke Gerindra. Rieke adalah Doktor Ilmu Komunikasi, aktivis perempuan, pernah menjadi Wakil Sekjen DPP PKB sebelum akhirnya berkiprah lama sebagai politisi di PDIP, dan menjabat Anggota DPR RI tiga periode.
ADVERTISEMENT
Contoh komparatif terakhir di Jakarta. Ada Ridwan Kamil dan Anies Baswedan. Kang Emil adalah dosen dan arsitek, alumni ITB dan California University, pernah menjabat Wali kota Bandung sebelum naik menjadi Gubernur Jawa Barat. Terakhir Anies, aktivis sejak masa SMA dan kuliah, akademisi dan Doktor Ilmu Politik, penggagas Indonesia Mengajar, pernah jadi Rektor Universitas Paramadina, Menteri dan terakhir Gubernur DKI Jakarta.
Dibandingkan sejumlah figur tersebut, Kaesang jelas masih jauh di bawah mereka. Bukan tidak bisa tentu saja, bukan pula tidak punya potensi ke arah level mereka. Tetapi semua butuh proses, dan setiap proses pasti memerlukan waktu.
Capaian-capaian prestatif Khofifah Indar Parawangsa, Emil Dardak, Bambang Wuryanto, Taj Yasin, Dedi Mulyadi, Diah Pitaloka, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan, terlepas dari masing-masing sisi kurang mereka sebagai manusia, semuanya diraih melalui proses dan tempaan diri dan lingkungan yang panjang. Tidak instan dan karbitan.
ADVERTISEMENT
Kaesang, hemat saya perlu belajar pada mereka, senior-seniornya di dunia politik dan kepemimpinan. Ia telah memiliki modal yang cukup berupa posisi sebagai ketua sebuah partai, sokongan keluarga yang besar, dan berada dalam ekosistem politik yang demokratis.
Tinggal menghidupkan energi sabar dan bijak. Sabar menunggu waktu yang lebih tepat sambil terus menempa diri, memperpanjang dan memperluas pengalaman, memperkuat kapasitas dan kompetensi. Dan bijak menyikapi situasi terkini serta suara-suara jernih publik dan tidak memiliki personal interest kecuali ingin melihat Indonesia maslahat dan bermartabat.
Terakhir dan tidak kalah penting. Kaesang juga perlu memikirkan (dan menjadikannya sebagai komitmen pribadi) secara serius untuk membuktikan bahwa capaiannya kelak bukan semata-mata karena ia pernah menjadi anak seorang Presiden. Tetapi juga karena modal talenta, hasil tempaan dan perjuangannya yang pantas diapresiasi.
ADVERTISEMENT