Konten dari Pengguna

Filosofi Pemilu Warga Baduy

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
13 Januari 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Suku Baduy menunjukkan KTP Elektronik di Kampung Kaduketug, Lebak, Banten, Senin (1/8/2022). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Warga Suku Baduy menunjukkan KTP Elektronik di Kampung Kaduketug, Lebak, Banten, Senin (1/8/2022). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/Antara Foto
ADVERTISEMENT
“Lunang, Milu kanu Meunang”
Artinya ikut kepada yang menang, yakni peserta pemilu yang menang dan kemudian secara sah memimpin negara dan daerah.
ADVERTISEMENT
Itu adalah filosofi politik warga Baduy dalam setiap kali perhelatan Pemilu atau Pemilihan/Pilkada digelar di sepanjang sejarah elektoral baik di era reformasi maupun era sebelumnya, masa orde baru. Bagaimana makna di balik filosofi Lunang itu? Mari kita coba pahami.

Harmoni adalah Segalanya

Bagi warga Baduy, harmoni kehidupan adalah segalanya. Kehidupan yang mereka inginkan adalah tatanan kehidupan sosial yang damai, aman dan tentram, serta jauh dari konflik dan kegaduhan.
Orientasi hidup harmoni tersebut telah dipraktikkan warga Baduy secara turun temurun dalam konteks relasi warga dengan lingkungan alam. Mereka selalu berusaha untuk selaras dengan alam dan menjunjung tinggi etik dalam relasinya dengan ekosistem. Berikut ini salah satu pakem etik sosio-ekologisnya:
“Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Pendek teu meunang disambung, Lonjong teu meunang dipotong”. Artinya: Gunung tidak boleh dihancurkan, lebak tidak boleh dirusak, pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong.
ADVERTISEMENT
Berbasis orientasi hidup harmoni itu, bagi warga Baduy Pemilu adalah paradoks yang tidak bisa diterima. Pemilu, yang dalam terminologi modern sejatinya memang merupakan kompetisi (persaingan) itu hanya akan menghadirkan pertentangan dan konflik terbuka di tengah harmoni sosial yang mereka jaga selama hidupnya.
Dalam perhelatan Pemilu, setiap orang dalam keluarga batih (inti) mereka akan terbelah, pun dalam masyarakat secara kolektif. Suaminya pilih partai A, istrinya bisa pilih partai B. Bapaknya pilih partai X, anaknya bisa pilih partai Y. Keluarganya pilih Paslon Fulan, tetangganya pilih Paslon Fulin. Ini contradictio in terminis dalam terminologi budaya harmoni yang mereka jaga, mereka pegang kukuh, dan mereka wariskan turun temurun.
Tetapi warga Baduy menyadari sepenuhnya, dunia mereka hanyalah ruang super-mikro di tengah mandala makro bernama Indonesia. Mereka juga sadar ada pemerintah yang berkuasa memimpin, mengendalikan dan mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara termasuk mereka. Para pemimpin itu, atau dalam logat khasnya, mereka sebut sebagai “Pamarentah” itu dipilih melalui mekanisme demokrasi (yang bagi mereka asing) bernama Pemilu.
ADVERTISEMENT
Di atas kesadaran sebagai rakyat yang diperintah dan kesetiaan pada pakem sosio-kultural harmoni sebagai warisan leluhurnya mereka mengambil jalan tengah: Lunang itu, Milu kanu Meunang. Mereka menerima Pemilu sebagai perintah negara dan hajat bersama, tapi mereka tidak akan ikut memilih, tidak akan menggunakan hak pilihnya pada hari pencoblosan. Mereka hanya akan ikut pada pihak yang memenangi kontestasi Pemilu.
Ikut itu artinya mereka akan menerima siapa pun yang menang, tunduk patuh pada segala perintahnya, dan setia pada kepemimpinannya hingga Pemilu itu kembali digelar lima tahun mendatang. Sampai di sini clear, filosofi Lunang bagi warga Baduy merupakan sebentuk kearifan lokal dalam konteks politik elektoral sekaligus politik kenegaraan.

Distorsi di Era Orde Baru

Di era orde baru filosofi ini dimanfaatkan dengan culas oleh Golkar yang didukung pemerintah daerah saat itu untuk kepentingan memenangkan Golkar sebagai partainya pemerintah. Suara mereka dimobilisasi, digiring ke lumbung Golkar. Dalam cara pandang otoritarianisme kala itu, logis.
ADVERTISEMENT
Karena pemerintah yang sah adalah pemerintahan Golkar. Pemilu diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang merupakan bagian dari organ pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri).
Jadi sebelum dan sesudah Pemilu, dalam pikiran warga Baduy, pemerintahan yang sah itu adalah pemerintahan Golkar. Karena itu, mereka sekali lag: Lunang, Milu kanu Meunang. Ikut kepada yang menang. Pemenang Pemilu, berkali-kali sejak Pemilu 1971 adalah Golkar. Kemenangan Golkar saat itu bahkan sudah bisa diketahui sebelum Pemilu dilaksanakan.
Terbaca konyol? Memang. Tapi yang konyol bukan makna sejati filosofinya, melainkan interpretasi praksisnya. Orde baru yang telah membuat salah satu local wisdom warga Baduy itu menjadi konyol. Mereka mendistorsi filosofi itu untuk kepentingan memenangkan Golkar.
ADVERTISEMENT

Lunang di tengah Arus Demokratisasi

Tahun 1998 rezim otoritarian orde baru rontok. Seluruh elemen reformasi dan pro-demokrasi sepakat untuk mempercepat Pemilu dengan berbagai pembaruan radikal. Baik dari sisi penyelenggara, peserta maupun pelaksanaannya sendiri. Semua didesain sesuai dengan prinsip-prinsip universal Pemilu yang demokratis.
Salah satu perubahan radikal Pemilu 1999 hasil kesepakatan percepatan itu adalah peserta Pemilu yang tidak lagi dibatasi hanya 3 kontestan (PDI, Golkar dan PPP), tetapi dibuka seluas-luasnya. Pemilu 1999 kemudian diikuti oleh 48 partai politik peserta Pemilu, dan Golkar berubah nama menjadi Partai Golkar. Sebab jika tidak, juara satu tukang manipulasi suara di era orde baru itu tidak bisa ikut Pemilu. Kenapa, karena sejak Pemilu 1999 regulasi mensyaratkan peserta Pemilu wajib berbentuk Partai Politik.
ADVERTISEMENT
Sejak Pemilu 1999 itulah arus demokratisasi menderas, euphoria politik terjadi di mana-mana, ledakan partisipasi politik masyarakat menggema di berbagai daerah. Fenomena ini juga menyasar komunitas warga Baduy yang selama puluhan tahun praktis terisolir dari keriuhan politik negeri ini.
Demikianlah dengan tradisi Lunang. Ia terimbas fenomena demokratisasi. Tetapi bukan substansi makna filosofisnya, melainkan hanya cakupan area penganutnya saja. Sebelum era reformasi, tradisi Lunang dipegang teguh oleh seluruh warga Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pada pemilu dan pilkada di era reformasi, tradisi milu kanu meunang ini hanya berlaku di lingkungan Baduy Dalam.
Baduy Dalam adalah bagian inti dari suku Baduy yang hidup secara ekslusif, menghindari modernitas, menolak semua perangkat teknologi (transportasi, komunikasi dll), serta mengandalkan kehidupan keseharian pada alam. Salah satu ciri khas mereka adalah pakaiannya yang serba putih, warna yang mereka persepsikan sebagai simbol kesucian dan keteguhan memegang adat warisan leluhur.
ADVERTISEMENT
Mereka bermukim di tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang ketua adat bergelar Pu’un. Yakni Kampung Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Semua kampung ini merupakan bagian dari Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten. Warga Baduy Dalam inilah yang hingga sekarang masih memegang teguh tradisi Lunang, milu kanu meunang dalam setiap perhelatan Pemilu atau Pilkada.
Sementara Baduy Luar adalah suku Baduy yang relatif terbuka terhadap dunia luar, termasuk dalam soal penerimaan mereka terhadap modernitas dan dinamika kehidupan politik. Mereka bermukim di lima puluh kampung yang tersebar di sekitar kaki Gunung Kendeng. Ciri khas mereka adalah pakaiannya yang berwarna hitam atau biru tua.
Sejak Pemilu 1999 warga Baduy Luar ini mulai bergeser dengan pakem Lunang-nya. Mereka tetap teguh dengan ikrarnya akan tunduk, patuh dan setia pada pemerintah (pemenang Pemilu/Pilkada tentu saja), tetapi pada hari pencoblosan mereka juga ikut memilih, menggunakan hak suaranya.
ADVERTISEMENT