Konten dari Pengguna

Istidraj, Anomali yang Harus Diwaspadai

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
25 April 2024 13:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.istock.com
zoom-in-whitePerbesar
www.istock.com
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan keseharian kerap ditemukan fakta anomali yang terjadi atau dialami oleh seseorang. Mungkin kerabat, tetangga atau kolega. Ia hidup serba kecukupan, bahkan melimpah ruah secara materi. Jika ia seorang profesional, karirnya moncer.
ADVERTISEMENT
Jika pebisnis, usahanya berkembang pesat. Jika politisi, kekuasaan dan pengaruhnya amat hegemonik. Padahal ia adalah pelaku segala jenis maksiat. Perintah agamanya ditinggalkan, larangan-larangannya ditabrak setiap waktu.
Parahnya situasi demikian tidak dirasakannya sebagai anomali. Ia tidak pernah curiga dengan berbagai keberlimpahan dan kenikmatan materil yang diraihnya sementara saban hari dirinya berbuat maksiat. Baik maksiat bathin seperti takabur, iri dengki, dan hasad, juga maksiat lahir semisal memfitnah, korupsi, dan berdusta.
Dalam Islam gejala itu disebut Istidraj. Berasal dari kata Daraja, At-tadrij yang berarti setingkat demi setingkat (berangsur-angsur).

Makna dan Hakikat Istidraj

Di dalam Al Quran kata Istidraj ditemukan dalam beberapa surat dan ayat. Diantaranya dalam surat Al 'Araf: 182: "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”
ADVERTISEMENT
Dan surat Al Qolam ayat 44: "Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,"
Sementara di dalam Hadits Nabi SAW, fenomena Istidraj antara lain dikemukakan oleh
Berdasarkan landasan syar’i itu, para ulama kemudian menjelaskan Istidraj sebagai nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang mengingkari-Nya (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an).
Setiap kali mereka melakukan maksiat, Allah berikan kenikmatan secara langsung dan berkesinambungan hingga mereka mengira bahwa berbagai kenikmatan itu adalah anugrah. Padahal sejatinya semua itu adalah “tipu daya”, jebakan atau pembiaran yang Allah lakukan untuk mereka karena kemunkaran dan kemaksiatan yang mereka perbuat tanpa segera menyadarinya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu jika merujuk pada pandangan Imam Qusyairi dalam kitabnya Lathaif al- Isyarat: Tafsir Sufi Kamil li al-Qur’an al-Karim, istidraj pada hakekatnya merupakan cara Allah mendekatkan para pelaku maksiat, para pendosa yang mengingkari perintah dan melanggar larangan-laranganNya dengan hukuman tanpa mereka sadari karena yang mereka rasakan adalah justru limpahan kenikmatan.

Ciri-ciri Istidraj

Dari beberapa rujukan syar’i diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum penanda seseorang sedang terjerumus dalam istidraj Allah adalah ia hidup dalam keberlimpahan harta dan kekayaan, kesehatan fisik, kesuskesan karir, kekuasaan dan jabatan, sementara di saat yang sama ia juga melakukan berbagai jenis maksiat dan kemunkaran. Secara spesifik, beberapa ciri itu antara lain berikut ini.
Pertama, lalai terhadap segala perintah Allah dan sering melanggar larangan-laranganNya namun hidup kesehariannya nampak normal bahkan terkesan tenang, nyaman dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Kedua, kualitas iman dan taqwa melemah tetapi keberlimpahan dunia terus meningkat. Sholat ditinggal, puasa diabaikan, zakat tidak pernah, apalagi sedekah dan amalan-amalan sunnah lainnya, namun selalu sukses dalam menjalani hidup dan kehidupan pribadinya.
Ketiga, jarang tertimpa musibah dan jarang mengalami sakit, meski gaya dan pola hidup yang dijalaninya sangat buruk dilihat dari aspek kesehatan, baik fisik maupun mental-psikologis. Kehidupannya berjalan normal dan ia tetap nampak sehat secara fisik dan mental.
Keempat, terbersit didalam hati dan pikirannya bahwa semua yang diperoleh dan miliki semata-mata karena hasil ikhtiar dan kerja kerasnya. Ia mengingkari doktrin akidah yang seharusnya diyakini bahwa semua yang didapatkan dan dimilikinya adalah anugrah dari Allah. Tapi lagi-lagi, dengan hati dan pikiran yang ingkar itupun ia hidup dalam ketenangan dan kenyamanan.
ADVERTISEMENT
Kelima, dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan ia cenderung anti-sosial, tidak peduli lingkungan, abai terhadap kepentingan bersama, egois-individualis, jika pemimpin ia dzalim dan mengkhianati amanah. Namun lagi-lagi hidup dan karirnya selalu mulus. Apa yang dikehendakinya selalu terpenuhi, apa yang dicita-citakannya selalu terwujud.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, Fir’aun adalah salah satu contoh paling dahsyat bagaimana istidraj Allah bekerja. Seperti dikisahkan didalam Al Quran, Fir’aun adalah penguasa despot yang dzalim, tiran yang bengis. Ia memiliki segalanya. Keberlimpahan harta dan kemegahan kekuasaan. Ia bahkan dengan lantang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan:
“Anaa Robbukumul A’la” (QS. An-Naziat: 24). Akulah Tuhan yang Paling Tinggi. Demikian Fir’aun mengumbar kesombongan dan ambisinya di hadapan rakyatnya sekaligus bermaksud menegasikan Allah sebagai Tuhan dan Kerasulan Musa ‘alaihissalam. Namun demikian Allah memberinya kemegahan dan kenikmatan kepada Fir’aun hingga tiba waktunya kemudian ia dibinasakan di Laut Merah dan di akhirat.
ADVERTISEMENT

Cara Menghindari Istidraj

Agar terhindar dari istidraj para ulama memberikan jalan untuk ditempuh dengan penuh kesungguhan diserta harapan (roja’) akan anugrah keberkahan hidup kepadaNya.
Pertama, menjaga dan meningkatkan kualitas iman dan taqwa setiap waktu dengan cara berikhtiar keras untuk selalu melaksanakan setiap perintah dan meninggalkan segala laranganNya. Baik dalam konteks ibadah-ibadah individual maupun amalan-amalan sosial.
Kedua, selalu menyadari bahwa setiap kebaikan dan keburukan dalam hidup adalah bentuk ujian dari Allah. Melalui kebaikan dan keburukan itu Allah menguji kadar keimanan dan eksistensinya sebagai hamba, sekaligus menguji derajat kesabaran dan keikhlasan setiap orang.
Ketiga, merawat rasa sykur atas setiap anugrah rizki (harta, keluarga, kesehatan, jabatan, karir dll) yang Allah berikan dan mewujudkannya dalam perilaku keseharian dengan cara menggunakan setiap anugrah itu sebagai sarana beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Baik ibadah mahdhoh seperti sholat, zakat, puasa, haji maupun ibadah ghoir-mahdhoh seperti berbuat baik kepada orang tua, kerabat dan sesama manusia, serta lingkungan sosial.
ADVERTISEMENT
Keempat, rajin melakukan introspeksi (muhasabah diri) terhadap setiap perbuatan yang telah dilakukan, lalu mengoreksi kelemahan dan memperbaikinya di kemudian hari. Termasuk dalam konteks ini adalah memeriksa dan merenungkan dengan sungguh-sungguh setiap kali memperoleh kebaikan dan kesenangan duniawi untuk memastikan bahwa semua yang diperoleh ini bukan merupakan azab atau bentuk pembiaran Allah karena maksiat dan kemunkaran yang dilakukan.
Kelima, berusaha keras untuk menghilangkan ketergantungan hidup (hati dan pikiran) terhadap segala yang bersifat materil dan keduniawian dengan jalan menghadirkan keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Keseimbangan antara aspek ruhani-spiritual dan aspek badani-material, maupun keseimbangan antara dimensi pribadi dan dimensi sosial.
Wallahu a’lam Bishawab.