Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jadilah Pemilih Rasional di Tengah Konflik Elektoral
14 November 2023 8:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Senin 13 November 2023 ini KPU RI telah menetapkan bakal pasangan Capres-Cawapres menjadi Pasangan Calon Capres dan Cawapres Pemilu 2024. Selanjutnya ketiga Paslon yang telah ditetapkan ini bakal mendapatkan nomor urut Paslon hasil undian.
ADVERTISEMENT
Dua agenda tahapan tersebut menandai bahwa Pemilu 2024 akan segera memasuki fase kontestasi dan kompetisi yang sesungguhnya, yakni: masa kampanye, saat di mana para kontestan akan bekerja ekstra keras menawarkan visi dan misi programatik untuk meraih simpati pemilih.
Di sisi lain, di ruang publik elektoral yang sama, suasana konflik antar kubu dan elemen-elemen pendukungnya terus memanas.
Konflik jelang penetapan Paslon dan masa Kampanye ini disertai pula oleh kekecewaan publik, terutama dari kalangan civil society (akademisi, pegiat Pemilu, elemen Ormas, tokoh masyarakat, bahkan juga warganet yang kritis di berbagai platform media digital). Sumber konflik, semua orang nampaknya sudah tahu persis, yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai usia Capres-Cawapres.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, konflik yang terjadi saat ini memang unik, baru pertama kali terjadi. Konflik dipicu oleh salah satu norma dalam UU Pemilu yang digugat, yang putusannya kemudian dipersoalkan dan dikritisi habis-habisan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Namun sebaliknya didukung habis-habisan pula oleh kelompok-kelompok yang secara elektoral diuntungkan.
Sikap Bijak
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat pemilih di tengah situasi konflik antar kubu kontestan dan protes keras kalangan civil society tadi? Karena, ada atau tidak konflik serupa ini, Pemilu tetap akan dan harus berlangsung.
Masyarakat penting diedukasi atau mengedukasi diri dengan berbagai wawasan kenegaraan, demokrasi dan kepemiluan. Dalam konteks ini masyarakat harus melihat konflik yang sedang berlangsung sebagai bagian dari dinamika kehidupan politik dalam tradisi masyarakat demokrasi. Terlebih lagi konflik ini terjadi dalam kerangka perhelatan elektoral.
ADVERTISEMENT
Masyarakat juga penting menyadari, bahwa Pemilu itu sendiri sejatinya merupakan arena konflik. Konflik yang dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan karena dalam tradisi demokrasi tidak ada cara dan mekanisme lain untuk memilih pemimpin dan merotasinya secara berkala kecuali melalui ajang kontestasi. Dalam kontestasi (pertunjukan) pasti ada kompetisi, dan dalam kompetisi (persaingan) inilah konflik (pertentangan) menemukan ruang ekspresi dan ruang artikulasinya.
Tetapi kita tahu, konflik dalam Pemilu bukanlah konflik barbar, konflik yang membiarkan setiap orang sesuka hati melakukan apa pun yang diinginkannya. Atau konflik yang dalam status naturalis menurut Thomas Hobbes menjadikan manusia sebagai homo homini lopus (predator kejam bagi sesama manusia lainnya).
Konflik dalam Pemilu adalah konflik berkeadaban. Konflik yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa kita membutuhkan “primus inter pares” untuk menjadi pemimpin yang dipilih secara tertib dan fair. Konflik yang diatur sedemikian rupa; dikendalikan, dibatasi, bahkan diawasi oleh perangkat peraturan perundang-undangan dan institusi-institusi yang kompeten.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya biarkan para kontestan berdinamika secara sehat. Keadaban (kepatuhan pada hukum dan perundang-undangan), rasionalitas serta kesadaran dan komitmen kolektif menjadikan kepentingan negara-bangsa di atas segalanya dan melampaui segala bentuk syahwat kelompok dan jangka pendek dari masing-masing kubu pada akhirnya akan menjadi jalan untuk menyelesaikan konflik.
Masyarakat sendiri cukuplah menjadi warga negara yang bijak tanpa harus menegasikan daya kritisnya. Mengambil sikap dari pilihan-pilihan politik yang tersedia beralaskan kesebangunan antara keadaban, rasionalitas dan komitmen kebangsaan itu juga.
Sikap Rasional
Konflik elektoral sebagaimana diuraikan di atas mungkin masih akan terus berlangsung dan kian panas. Terlebih saat memasuki masa kampanye mulai akhir November hingga 3 hari menjelang masa tenang. 75 hari bilangan waktunya, bukan masa yang pendek.
ADVERTISEMENT
Di tengah suasana konflik sekarang dan nanti itu, selain sikap bijak tadi, Pemilu juga membutuhkan para pemilih yang rasional. Pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan akal sehat dan nalar jernih dalam memutuskan siapa saja yang akan mereka berikan mandat pada hari pemungutan suara nanti.
Akal sehat dan nalar jernih sebagai basis penentuan pilihan itu tentu didasarkan secara kritis pada aspek-aspek yang dibutuhkan untuk proyeksi kemajuan dan kemaslahatan negara-bangsa ke depan yang dimiliki oleh para kandidat. Pemilih rasional tidak akan dengan mudah “ikut sana, merapat sini” hanya karena aspek viralitas di media, kemeriahan kampanye di lapangan, relasi kekeluargaan atau kekerabatan para kandidat, besar atau kecilnya gerbong koalisi, warna-warni bendera partai, atau bahkan janji-janji kampanye yang sensasional tanpa uji kritis dan uji nalar.
ADVERTISEMENT
Pemilih rasional adalah pemilih otonom. Dan otonomi itu disandarkan pada akal sehat dan nalar jernih masing-masing. Tentu dengan modalitas informasi kredibel dan memadai, wawasan elektoral yang cukup, dan akhirnya suara hati nurani yang tak mungkin dimanipulasi.
Pemilih rasional dengan antara lain karakteristik yang demikian itu penting untuk memastikan sedikitnya dua tujuan strategis elektoral berikut ini.
Pertama, Pemilu berlangsung dengan tertib, aman, damai dan tetap dalam suasana harmoni kebangsaan. Karena para pemilih yang menggunakan akal sehat dan nalar yang jernih tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan irasional yang bisa mencederai proses dan hasil Pemilu sendiri. Pemilih rasional tidak akan terlibat dalam berbagai perilaku destruktif seperti ikut menyebar hoaks, fitnah, kampanye hitam, ujaran kebencian apalagi saling menyakiti sesama warga.
ADVERTISEMENT
Kedua, Pemilu dapat menghasilkan para pemimpin-pemimpin yang terbaik, baik di legislatif maupun di eksekutif. Karena para pemilih dengan akal sehat dan nalar jernih tidak mungkin memberikan mandat yang sangat berharga untuk memimpin bangsa hanya dengan pertimbangan-pertimbangan emosional dan alasan-alasan yang sama sekali tidak relevan.