Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Maskot Pemilu dan Pemilih Milenial
3 Oktober 2023 10:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Pemilu 2024 terus bergerak dinamis dan kian mendekati masa-masa penting menuju puncak 14 Februari 2024. Untuk mendukung hajat kolosal demokrasi ini, tahun lalu KPU RI telah menetapkan Maskot sebagai simbol identitas branding KPU dalam melayani masyarakat menggunakan hak pilihnya.
ADVERTISEMENT
Maskot Pemilu 2024 itu merupakan karya Stephanie, mahasiswi Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Pradita Tangerang, yang merupakan karya terbaik pilihan dewan juri lomba yang digelar KPU RI tahun 2022 lalu. Karya Stephanie ini berhasil menyisihkan 680 karya lainnya yang masuk ke panitia lomba.
Bagi suatu institusi (perusahaan, kantor, organisasi dll) keberadaan Maskot penting sebagai cerminan person brand serta membangun persepsi dan citra positif dalam masyarakat. Dalam konteks KPU sebagai penyelenggara Pemilu, Maskot dihadirkan sebagai penjelas tugas utama KPU yakni melayani pemilih dan peserta Pemilu dalam menggunakan hak-hak politik elektoralnya.
Di dalam Keputusan KPU Nomor 521 Tahun 2022 tentang Penetapan Maskot Pemilihan Umum Tahun 2024, Maskot Pemilu 2024 adalah sepasang burung Jalak Bali yang diberi nama “Sura dan Sulu”. Sura digambarkan sebagai sosok laki-laki, dan nama ini merupakan akronim dari “Suara Rakyat”. Sedangkan Sulu digambarkan sebagai sosok perempuan yang namanya merupakan akronim dari “Suara Pemilu”.
ADVERTISEMENT
Selain digunakan sebagai simbol identitas branding sebagaimana disinggung di depan, pada Diktum Pertama Keputusan KPU tersebut juga dijelaskan bahwa Maskot Pemilu 2024 merupakan strategi sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Makna Filosofis
Sebagai simbol identitas branding setiap Maskot lazimnya memiliki makna-makna filosofis di balik perupaan objeknya. Demikian juga dengan Maskot Pemilu 2024. Berikut ini adalah penjelasan makna-makna filosofis di balik Maskot Sura dan Sulu berdasarkan Keputusan KPU 521/2022:
Pertama, gambar Maskot yang diberi nama Sura dan Sulu tadi diambil dari rupa sepasang burung Jalak Bali yang populer kicauannya. Secara filosofis kicauan Jalak Bali ini melambangkan suara pemilih. Kemudian mimik muka kedua Jalak Bali yang didesain “belia” itu mewakili gambaran postur pemilih Pemilu 2024 yang didominasi oleh pemilih generasi muda.
ADVERTISEMENT
Seperti pernah diungkapkan KPU dan dilansir berbagai media nasional beberapa waktu lalu, dari total jumlah DPT Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih, hampir 60% merupakan pemilih muda. Mereka terdiri dari Generasi Y (tahun lahir 1980-1995) sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen dan Generasi Z (tahun lahir 1997-2006) sebanyak 46.800.161 pemilih atau 22,85 persen.
Kedua, sepasang burung Jalak Bali menggambarkan pasangan (group), bukan 1 karakter (single). Gambar ini merupakan penegasan perihal sosok pemilih pada Pemilu 2024 yang terdiri dari pemilih pria dan wanita yang keduanya memiliki hak pilih yang sama dalam pemilu.
Ketiga, nama Sura digambarkan sebagai sosok laki-laki, nama ini sendiri merupakan akronim dari “Suara Rakyat”. Sementara Sulu digambarkan sebagai sosok perempuan, dan nama ini merupakan akronim dari “Suara Pemilu”. Kedua nama dan kepanjangan dari akronim Sura dan Sulu membentuk satu frasa yang maknanya sama, yakni “Suara Pemilih” dalam Pemilu.
ADVERTISEMENT
Keempat, Sura digambarkan tengah memegang paku pencoblosan sementara tangan lainnya mengacungkan jari kelingking berwarna ungu tanda sudah memilih. Sedangkan Sulu digambarkan tengah memegang surat suara dan tangan lainnya mengacungkan jari kelingking berwarna ungu tanda sudah memilih.
Meski tidak dijelaskan dalam Lampiran Surat Keputusan 521 Tahun 2022, perupaan sebagaimana dinarasikan di atas nampaknya dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana KPU sebagai penyelenggara Pemilu menyiapkan detail pelaksanaan pemungutan suara. Bukan hanya menyangkut perlengkapan pemungutan suara seperti surat suara dan paku pencoblosan.
Tetapi juga detail salah satu mekanisme pemungutan suara untuk memastikan tidak ada kecurangan. Yakni dengan penandaan jari pemilih oleh tirta berwarna ungu sebagai bukti bahwa seorang pemilih telah menggunakan hak pilihnya, dan karena itu dilarang menggunakannya lagi. Sebab penggunaan hak pilih lebih dari satu kali merupakan pelanggaran pemilu.
ADVERTISEMENT
Pemilih Milenial
Satu hal yang menarik dari Maskot Sura Sulu ini adalah proyeksi perupaan yang menempatkan sosok pemilih milenial pada salah satu detail elemen Maskot sebagaimana dijelaskan dalam poin pertama makna filosofis di atas sebagai segmen mayoritas dalam daftar pemilih.
Sisi menarik dari proyeksi ini tentu bukan pada soal ketepatan angka-angkanya. Ini bukan hal yang sulit untuk diproyeksikan, karena KPU memiliki DP4 sebagai bahan dasar untuk mengkalkulasi dan memprediksi pemilih milenial pada saat ditetapkan sebagai DPT.
Sisi yang menarik adalah faktanya sendiri, bahwa Pemilu 2024 memang bakal didominasi oleh pemilih generasi muda. Dominasi generasi muda dalam struktur DPT Pemilu 2024 ini penting dicermati, bukan saja oleh peserta Pemilu yang berkepentingan terhadap raihan suara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi juga oleh KPU sebagai penyelenggara dan para pihak terkait terutama Pemerintah dan Partai Politik yang berkepentingan terhadap tingginya tingkat partisipasi pemilih. Dalam konteks ini, penting khususnya bagi KPU dan jajarannya hingga ke badan adhoc di Desa/Kelurahan untuk mendesain model-model sosialisasi politik yang tepat bagi kalangan pemilih milenial.
Warning itu perlu disadari untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya trend apatisme di kalangan pemilih milenial (generasi muda) yang mayoritas itu. Model sosialisasi pemilu yang tepat, kreatif dan inovatif (konten, media maupun metodenya) tentu akan menjadi daya tarik bagi para milenial untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Namun sebaliknya, model-model sosialisasi yang “garing”, nir-kreativitas dan minus inovasi boleh jadi akan membuat para pemilih milenial tak tertarik dan malas datang ke TPS. Dan ini artinya, tingkat partisipasi bisa anjlok.
ADVERTISEMENT