Konten dari Pengguna

Mengelola Polarisasi Mewujudkan Pemilu Damai

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
10 September 2023 7:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Pemilu, sebagaimana diadopsi dalam peraturan perundang-undangan kita, merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Istilah “kedaulatan rakyat” adalah padanan makna etimologis dari Demokrasi, Demos artinya Rakyat dan Kratos/Kratein artinya kekuasaan/kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Jadi, Pemilu tidak lain merupakan pengejewantahan paham Demokrasi yang sejauh ini dipercaya mayoritas bangsa-bangsa di dunia sebagai pilihan jalan terbaik untuk mengelola kekuasaan negara.
Salah satu substansi demokrasi adalah memberikan ruang pada keragaman dan perbedaan, dan ini wajib dihormati dan dijaga keberlangsungannya. Karena itu dalam tradisi demokrasi, munculnya perkubuan (polarisasi) politik yang dipicu oleh keragaman dan perbedaan sebetulnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak mungkin dihindari.
Itu sebabnya kebiasaan rezim totaliter yang selalu berusaha melakukan uniformitasi (penyeragaman) dalam kehidupan politik ditolak di mana-mana, karena uniformitasi sejatinya bertentangan dengan prinsip keragaman, kebebasan, dan perbedaan yang harus dijaga dan dihormati dalam tradisi demokrasi.
Sementara itu, Pemilu sendiri sebagai pengejewantahan paham demokrasi tadi pada dasarnya merupakan konflik yang dilegalkan, konflik yang absah. Karena Pemilu tidak lain merupakan arena kontestasi (perlombaan), dan dalam setiap kontestasi niscaya ada kompetisi (persaingan).
ADVERTISEMENT
Dalam kontestasi Pemilu figur-figur kandidat termasuk partai politik serta gagasan (visi, misi dan program) mereka bersaing untuk mendapatkan dukungan publik (pemilih). Dalam persaingan inilah kemudian konflik (pertentangan, perseteruan, pertengkaran) dengan sendirinya muncul dan berkembang. Polarisasi (pengkutuban, pembelahan) yang kita cemaskan sejatinya lahir dari situasi konflik yang mengalami penajaman demikian rupa.
Dengan demikian, Pemilu memang potensial (jika bukan keniscayaan) dapat melahirkan polarisasi (sosial dan politik) dalam masyarakat. Potensi ini tidak mungkin dihindari, ditolak apalagi diberangus, lantaran Pemilu lahir sebagai implikasi dari, dan diselenggarakan di atas landasan demokrasi. Premis ini penting terlebih dahulu untuk dipahami dan disadari oleh para pihak dalam kerangka perhelatan elektoral.
Lantas, apakah dengan demikian polarisasi yang menyertai perhelatan Pemilu akan diberikan toleransi, lalu dibiarkan merebak dan berkembang merusak tatanan dan harmoni sosial? Tentu saja tidak. Tetapi juga jangan berpikir bahwa polarisasi dapat diberangus dan dihilangkan. Cara berpikir ini tidak kompatibel dengan natur demokrasi, karakter sejati Pemilu dan sunatullahnya peradaban manusia.
ADVERTISEMENT
Polarisasi, sebagaimana bentuk-bentuk konflik lainnya, tidak mungkin ditumpas. Ia hanya dapat dikelola, dikendalikan agar tidak mengarah pada situasi ekstrem yang membahayakan dan menghancurkan tatanan dan tertib sosial serta mengancam keutuhan negara-bangsa.

Mengelola Polarisasi

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Dalam kerangka perhelatan Pemilu 2024 yang kian mendekati masa-masa krusial, polarisasi dapat dikelola antara lain dengan membangun kesepakatan di kalangan elite partai politik maupun non-partai untuk melokalisir polarisasi di wilayah gagasan dan narasi-narasi programatik membangun Indonesia dalam bingkai persatuan dan keutuhan nasional, serta berkomitmen untuk tegak lurus mematuhi dan mengejewantahkannya dalam seluruh rangkaian dan ruang lingkup aktivitas kepemiluan.
Aspek-aspek primordialis dan sentimen-sentimen keagamaan, etnisitas, rasialisme, dan kedaerahan harus diminimalisasi sedemikian rupa dalam bentuk-bentuk perilaku (verbal maupun tindakan).
ADVERTISEMENT
Kesepakatan dan komitmen ini kemudian diturunkan ke akar rumput masing-masing kubu kandidat atau partai politik dan ditumbuh-kembangkan sebagai bagian dari pendidikan politik dan pendewasaan berdemokrasi.
Pada saat yang sama, berkaca pada pengalaman Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019, penggunaan buzzer-buzzer politik sekaligus cara-cara mereka memenangkan kontestasi elektoral dihentikan dan diakhiri oleh para pihak.
Karena terbukti bahwa perilaku para buzzer yang saling menebar fitnah, framing-framing negatif dan serangan atas lawan-lawan politik, serta kampanye hitam di ruang publik inilah yang telah memicu kegaduhan, pertengkaran dan perpecahan di kalangan masyarakat.
Selain mengakhiri, atau setidaknya meminimalisasi penggunaan buzzer, penting juga kontrol dilakukan terhadap berbagai platform sarana informasi dan komunikasi digital. Terutama media sosial yang paling banyak digunakan sebagai kanal penyebaran konten-konten hoaks dan fakenews yang memicu kegaduhan dan pertengkaran di ruang-ruang digital dan ruang publik lainnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir yang tidak kalah penting adalah penegakkan hukum Pemilu yang harus tegas dan lebih dimaksimalkan pada semua fase di mana gejala-gejala yang mengarah pada munculnya dan merebaknya polarisasi terjadi, baik di fase pencegahan, pengawasan maupun penindakan.
Berkenaan dengan penegakkan hukum Pemilu ini penting digaris-bawahi soal perlakuan, baik oleh Bawaslu maupun aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang harus benar-benar adil dan setara, tidak berkecenderungan diskriminatif.
Semua peserta pemilu, masing-masing pendukung, pemilih dan pihak-pihak lain wajib diperlakukan adil dan setara, karena ketidakadilan perlakuan dan tindakan justru dapat memicu perlawanan dan mempertajam polarisasi itu sendiri. Sudah cukup bukti bahwa ketidakadilan perlakuan kerap menjadi bumerang.