Konten dari Pengguna

Mengembalikan Marwah Mahkamah

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
20 Oktober 2023 8:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Sejumlah advokat yang tergabung dalam Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan 8 hakim konstitusi kepada Ketua Dewan Etik Hakim Konstitusi. Pelaporan ini merupakan buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang usia capres-cawapres yang dinilai bermasalah.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita tahu, putusan MK atas judicial review perihal batas minimal usia capres-cawapres yang dibacakan Senin lalu (16/10) telah menuai reaksi dan memicu kontroversi di ruang publik. Banyak pihak menilai putusan itu cacat dan manipulatif. Dua hakim konstitusi sendiri bahkan merasakan ada keganjilan dan keanehan terutama dalam proses penetapan putusan di internal MK.

Putusan yang Ganjil dan Aneh

Ilustrasi ruangan Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Kedua hakim konstitusi itu adalah Prof. Arief Hidayat dan Prof. Saldi Isra. Dalam pembacaan dissenting opinion (pendapat berbeda), keduanya merasa ada keganjilan dan keanehan.
Keganjilan yag dirasakan Arief Hidayat ketika MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). Padahal pada hari yang sama, sebelumnya MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut Arief, ia merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini harus saya sampaikan karena mengusik hati nurani saya.
Selain terkait substansi putusan, Arief juga merasakan adanya keganjilan lain, yakni berkenaan dengan penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.
Dia mengatakan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan, dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Pernyataan yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Saldi Isra. Ia merasa bingung dengan putusan MK yang membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Putusan ini dibacakan pada siang menjelang sore, usai MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun pada pagi harinya.
"Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," ucap Saldi pada saat pembacaan dissenting opinion.
Peristiwa aneh itu, kata Saldi, saat MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.
"Sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," lanjutnya.
Sebagaimana kita saksikan secara live di berbagai stasiun televisi Senin 16 Oktober itu. Pada sidang pagi harinya dalam perkara Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, MK dengan tegas menolak secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya, yakni DPR.
ADVERTISEMENT
Namun pada keputusan yang baru dalam perkara nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan bahwa kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
Poin lain dari Saldi yang "ngeri-ngeri sedap" adalah ketika ia juga menyampaikan, bahwa dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara.
"Dan hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang," kata Saldi.
Tetapi kemudian dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.
ADVERTISEMENT
Menganggapi putusan hakim tersebut, Prof. Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara, kepada para jurnalis mengemukakan pandangannya.
"Kalau ditanya kepada saya ini problematik atau tidak, iya, penyelendupan hukum macam-macam. Boleh saya katakan putusan ini mengandung sebuah cacat hukum yang serius, putusan ini bahkan mengandung sebuah penyelundupan hukum karena putusannya mengatakan mengabulkan sebagian.

Marwah Mahkamah

Ilustrasi lambang Mahkamah Konstitusi. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Mencermati pemberitaan, opini dan tanggapan publik hingga hari ini, saya melihat marwah dan wibawa Mahkamah Konstitusi pasca-putusan ini nampaknya sedang anjlok. Dari berbagai pandangan ahli, pengamat dan warganet di berbagai platform media, terbaca betul kepercayaan publik saat ini merosot.
Situasi ini hemat saya tidak boleh dibiarkan. Mengingat MK adalah lembaga tinggi negara yang salah satu fungsi dan kewenangannya juga terkait urusan pemilu. MK Merupakan lembaga yang berwenang mengadili sengketa hasil Pemilu.
ADVERTISEMENT
Kepada MK-lah nanti para pihak pencari keadilan elektoral mengadukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ketika keputusan KPU tidak diterima oleh peserta pemilu, partai politik, calon DPD maupun paslon capres-cawapres.
Ngeri membayangkan bagaimana jadinya jika MK sebagai banteng penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus pengadil bagi para pencari keadilan elektoral melalui mekanisme PHPU itu sejak kini sudah kehilangan kepercayaan publik. Hasil pemilu bisa tak kredibel, tidak dipercaya rakyat, dan ujungnya siapapun yang terpilih potensial takkan mendapat kepercayaan rakyat yang memadai.
Oleh sebab itu, wibawa mahkamah harus segera dikembalikan dengan berbagai cara yang legal dan proporsional. Mungkin melalui gerakan moral bersama berbagai elemen masyarakat: para ahli, akademisi, intelektual, tokoh masyarakat, aktivis, termasuk tentu saja para politisi di parlemen yang masih terjaga integritas dan kecintaan tulusnya pada bangsa dan negara ini.
ADVERTISEMENT