Satir Politik Profesor Mahfud

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
Konten dari Pengguna
7 Desember 2023 19:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cawapres Mahfud MD dan Sahabat Ganjar di Pondok Pesantren Nurul Jadid yang berlokasi di Jalan Kiai Haji Mun'im, Dusun Tj. Lor, Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Cawapres Mahfud MD dan Sahabat Ganjar di Pondok Pesantren Nurul Jadid yang berlokasi di Jalan Kiai Haji Mun'im, Dusun Tj. Lor, Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu, tepatnya 19 November pada perayaan ulang tahun ke-13 Mata Najwa di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Profesor Mahfud bikin kejutan. Momen menggelitik (sekaligus rada nyelekit itu) itu berlangsung pada sesi tukar kado antar Capres dan Cawapres.
ADVERTISEMENT
Kepada Gibran, Prof. Mahfud memberikan kado berupa buku biografi dirinya, berjudul “Terus Mengalir”. Pemberian buku itu disertai ucapan, “Ini kado buku biografi saya sampai selesai jadi Ketua MK. Judulnya Terus Mengalir, jadi nggak ada harganya, jadi buku saya sendiri, untuk mas Gibran”.
Menyaksikan momen itu, sontak para hadirin teriak dan tertawa. Pikiran mereka nampaknya langsung terasosiasi dengan putusan MK yang telah memberi jalan bagi Gibran untuk maju sebagai Cawapres. Dan kala itu, Ketua MK-nya adalah Anwar Usman, paman Gibran. Sebuah satir yang menggelitik.
Satir tidak berhenti sampai di perkara MK. Prof. Mahfud kemudian juga memberikan sebuah replika kepada Najwa Shihab, replika “orang naik tangga”. Replika itu diberikan kepada Najwa dengan iringan narasi “…ini pesan kepada mbak Najwa bahwa melangkah ke puncak itu harus melalui satu tangga persatu tangga…”. Makjleb. Momen ini disaksikan oleh seluruh Capres dan Cawapres.
ADVERTISEMENT

Satir dan edukasi politik

Dalam kamus bahasa kita, Satir dimaknai sebagai gaya bahasa untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sindirian terhadap seseorang atau suatu fenomena tertentu di dalam masyarakat. Sindiran ini biasanya diartikulasikan dengan kemasan dan nada menggelitik, kadang nyinyir dan pastinya memantik tawa. Namun esensi sesungguhnya biasanya merupakan respons kritis atas perilaku seseorang atau suatu fenomena yang dinilai memuakan, banal dan menyebalkan.
Apa yang dilakukan Prof. Mahfud di atas itu nampaknya juga dimaksudkan sebagai satir. Sindiran untuk Gibran, yang meniti tangga karier politiknya dengan kecepatan luar biasa. Boleh jadi pertama kali dalam sejarah normal bangsa ini, sejarah pasca kemerdekaan maksudnya. Baru separuh jalan menjabat Walikota, melenting bak atlet pelompat galah, melewati posisi Wakil Gubernur, Gubernur, bahkan Menteri.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal berjudul What Happened to Jokes? The Shifting Landscape of Humor in Hungary (2016), Lampland dan Nadkarni menjelaskan dua fungsi penting dari satir sebagai bentuk komunikasi politik. Pertama, di negara-negara dengan sistem politik yang relatif sudah demokratis, satir berperan sebagai cara publik untuk berpartisipasi atau berkontribusi dalam kehidupan politik. Kedua, di negara-negara yang cenderung masih otoriter, satir kerap menjadi satu-satunya pilihan untuk menyuarakan aspirasi.
Terlepas dari posisi levelitas sebuah negara dalam parameter demokrasi, Jamie N. Smith dalam artikelnya di sebuah jurnal, No Laughing Matter: Failure of Satire During the 2016 Presidential Election (Mei, 2018) mengungkapkan bahwa peran satire dalam kontestasi politik jauh lebih dalam dibandingkan sekadar sarana penyampaian aspirasi yang lazim atau konvensional. Satir menurut Smith, mampu mengedukasi masyarakat secara politik. Mendorong peningkatan literasi politik terkait isu-isu aktual yang sedang menjadi perbincangan elite dan publik.
ADVERTISEMENT

Parodi Nurhadi-Aldo

Pada Pemilu 2019 silam sebuah satir dalam bentuk parodi pernah ramai di ruang digital elektoral. Didesain oleh sekelompok anak muda dalam tampilan Pasangan Capres-Cawapres imajiner bernama Nurhadi-Aldo, dengan akronim yang nyerempet area tabu : “Dildo”.
Paslon fiktif Nurhadi-Aldo kala itu tampil dalam berbagai poster dan flyer yang tersebar luas di media sosial. Menyeruak di tengah dua gejala Pemilu 2019 : miskinnya gagasan Capres-Cawapres dan polarisasi (pembelahan) masyarakat dalam dua kubu “Cebong-Kampret” yang saling bertengkar dan saling menyakiti. Kehadiran Nurhadi-Aldo seolah ingin mengungkapkan, bahwa di tengah masyarakat masih ada kubu lain yang bukan Cebong, bukan pula Kampret.
Mereka, yang direpresentasikan Nurhadi-Aldo itu adalah masyarakat rasional, bernalar sehat, bersumbu panjang, dan ogah harus bertengkar dengan sesama anak bangsa untuk bela-belain Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandi kala itu. Tetapi tadi itu, diekspresikan dengan cara satir-parodi yang menggelitik, dan nampaknya memang tidak ada yang kemudian merasa tersinggung apalagi tersakiti. Publik mesem, bahkan banyak yang memasang emoji ngakak di berbagai platform percakapan media sosial.
ADVERTISEMENT
Meski efeknya tak sampai meredam polarisasi, kehadiran Nurhadi-Aldo saat itu setidaknya menjadi oase di tengah kegaduhan, kebisingan, kepengapan dan pertengkaran elektoral Cebong-Kampret yang merata di antero Nusantara.
Di Pemilu 2024 ini, jika kita cermati berbagai platform media sosial, satir-satir politik juga lumayan banyak bertebaran sebetulnya. Hanya saja belum ada yang sefenomenal Capres-Cawapres “Dildo”. Satir-satir yang muncul, terutama di platform percakapan media sosial, lebih bersifat parsial, aksidental dan terbatas. Tidak didesain secara utuh seperti satir-parodinya Nurhadi-Aldo.
Sejauh yang pengamatan saya, tebaran satir yang muncul di berbagai platform media sosial (baik dalam bentuk kemasan tayangan video, narasi atau percakapan) itu didominasi oleh konten-konten sindiran terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta efek politik elektoral dan psiko-politiknya dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Satir-satir itu ramai diekspresikan, bukan saja oleh masyarakat yang kreatif suka mengulik urusan politik dengan cara menggelitik. Tetapi juga oleh banyak pesohor dan publik figur dari berbagai latar sepeti komedian, seniman, budayawan, politisi, dan tentu saja para aktifis dan masyarakat sipil lintas organisasi dan lintas komunitas.
Satir yang diperagakan Prof. Mahfud saya kira juga bermuara pada isu putusan MK, yang akhirnya menjadi beranak pinak dan berkepanjangan. Pesannya sederhana tetapi mendalam. Bahwa capaian karir (dalam bidang apapun) tidak bisa diraih dengan cara instan. Terlebih lagi jika cara instan itu juga ditempuh dengan mengorbankan integritas lembaga hukum sekaligus menistakan perasaan moralitas publik.