Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Suara Moral dari Yogya
2 Februari 2024 17:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengawali hari di Februari, dua seruan moral dari dua kampus besar di Yogya menghiasi berbagai media nasional. Pertama datang dari civitas akademika Universitas Gajah Mada (UGM). Kedua dari civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII).
ADVERTISEMENT
Seruan moral itu terkait dengan perhelatan Pemilu yang dinilainya semakin dikotori oleh berbagai indikasi kecurangan dan ketidaknetralan Presiden Jokowi serta aparatur pemerintah. Terakhir yang memicu kontroversi panas adalah dugaan politisasi Bansos dan manuver-manuver penggiringan opini Pilpres satu putaran.
Suara UGM
Dari UGM, seruan moral bertajuk “Petisi Bulaksumur” itu dibacakan oleh Prof. Koentjoro, Guru Besar Fakultas Psikologi, didampingi sejumlah guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni.
Petisi Bulaksumur intinya memuat ungkapan penyesalan civitas akademik UGM atas berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan Presiden Jokowi dari prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu mereka meminta, mendesak dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden termasuk Presiden sendiri untuk segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mereka juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap dan langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi elektoral yang merupakan manifestasi demokrasi Pancasila untuk memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Suara UII
Sementara itu, dari UII seruan moral disampaikan melalui pernyataan sikap “Indonesia Darurat Kenegarawanan” yang dibacakan langsung oleh Rektornya, Prof. Fathul Wahid, didampingi sejumlah guru besar dan dosen.
Dalam pernyataan sikapnya, civitas akademika UII mendesak Jokowi untuk segera kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden. Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mereka juga mendesak Jokowi dan semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.
Suara Jernih Cendekiawan
Untuk kepentingan negara-bangsa, hemat saya Presiden Jokowi dan elite-elite kroninya di kubu Prabowo-Gibran hendaknya mendengar dan segera melaksanakan seruan moral itu. Tidak perlu menimbang apalagi berkilah. Situasi yang menjadi keprihatinan dan mendasari seruan moral itu sudah sangat telanjang di hadapan publik, terutama publik yang masih memiliki kewarasan akal.
Apalagi seruan itu berasal dari para cendekiawan yang tidak memiliki kepentingan politik praktis dan partisan Pemilu. Mereka tidak peduli urusan menang-kalah Pilpres. Mereka hanya peduli situasi politik kebangsaan yang carut-marut dan bisa memicu bencana karena dipicu oleh cara-cara kontestasi yang disesaki indikasi berbagai kecurangan setelah pelanggaran etik di awal pra-kandidasi tempo hari.
ADVERTISEMENT
Seruan moral itu harus direspons sebagai representasi keresahan, bukan hanya kalangan cendekiawan dan terpelajar. Melainkan juga sudah meluas ke ruang-ruang berbagai entitas warga. Unggahan kampanye “Salam 4 Jari” beberapa hari lalu adalah salah satu contoh lain yang menandai keresahan itu.
Mumpung masih cukup waktu sebelum klimaks Pemilu digelar 14 Februari mendatang, bergegaslah kembali pada track hukum dan moralitas-etik yang lurus agar hajat demokrasi berlangsung fair, jujur dan adil. Karena hanya dengan cara demikian saja, hasil akhir Pemilu bisa diterima oleh rakyat. Siapa pun yang terpilih. Jadi, jangan menunggu keresahan publik berubah menjadi amarah dan