Konten dari Pengguna

Bagaimanakah Perbankan Syariah bertahan dalam krisis di Pandemi COVID-19 ini?

Titania Diana Putri
Hi, Im Titania Diana Putri. I am a postgraduate student at the State Islamic University of Raden Intan Lampung, majoring in Islamic Economics.
13 Mei 2020 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Titania Diana Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 telah menjadi permasalahan serius hampir di seluruh negara di Dunia saat ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa jumlah kematian terkait virus corona di seluruh dunia telah bertambah menjadi 30.105 orang hingga Minggu (29/3) waktu setempat. Menurut laporan situasi harian WHO seperti dilansir kantor berita Xinhua, Senin (30/3/2020), total 638.146 kasus coronavirus telah dilaporkan secara global.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 ini juga diperkirakan bakal melemahkan sektor perbankan di Indonesia. Dalam riset yang disampaikan pada Selasa (24/3/2020), lembaga rating global, Fith Rating baru-baru ini telah merevisi peringkat operasional (operating environment mid-point score) bank-bank di Indonesia menjadi ‘BB+’ dari sebelumnya ‘BBB-‘. Revisi skor operational Fitch ini artinya mencerminkan adanya ketidakpastian seputar tingkat keparahan dan durasi pandemi corona dan dampaknya terhadap operasional bank-bank di Indonesia.
Yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana dampak Covid-19 ini terhadap perbankan syariah di Indonesia. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga, tetapi beroperasi dengan sistim bagi hasil dan margin. Apakah dengan adanya pandemi Covid-19 ini perbankan syariah akan tetap survive atau sebaliknya malah akan rontok?
ADVERTISEMENT
Pada saat krisis ekonomi melanda negeri ini, Bank Syariah dapat bertahan dan semakin tumbuh pesat. Setidaknya, ada 4 hal yang menyebabkan bank syariah tahan terhadap krisis.
Pertama, Bank Syariah tidak mendasarkan operasinya pada riba, yang di Indonesia kita kenal dengan suku bunga. Pada saat krisis tingkat suku bunga deposito melambung sangat tinggi hingga pada suatu level yang sangat timpang dengan kemampuan sektor produktif untuk membayarnya dalam bentuk keuntngan.
Kedua, adanya prinsip bagi hasil dan bagi rugi. Risiko bisnis harus ditanggung oleh keduabelah pihak yang bekerjasama: shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib (pelaksana usaha). Keuntungan akan dibagi secara proporsional. Kerugian pun ditanggung bersama; shahibul maal menanggung kerugian materil, sementara mudharib rugi tenaga dan waktu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, berbasis kepada sektor ril. Transaksi investasi dalam sistem keuangan Islam didasarkan pada asset yang jelas dan ril. Perlu diketahui, salah satu penyebab utama terjadinya krisis finansial global pada tahun 2007-2008 adalah marak dan bertingkatnya penggunaan produk derivatif yang tidak jelas back-up asetnya.
Keempat, bank syariah terbebas dari negative spread, yakni selisih negatif antara bunga simpanan dan bunga kredit. Dengan kata lain, bunga yang harus dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah simpanan jauh lebih besar dari bunga kredit. Hal ini yang turut menyebabkan perbankan Indonesia pada tahun 1998 terjebak dalam krisis. Di sisi lain, bank syariah yang lebih berorientasi pada bagi hasil tentunya bebas dari resiko negative spread. Hal ini dibuktikan denganBank Syariah yang bertahan di saat krisis.
ADVERTISEMENT