Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
FOPO, FOMO, dan Kapitalisme Digital: Media Sosial Mengendalikan Hidup Kita?
10 November 2024 13:33 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Tisti Titian Puruhita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Fenomena sosial FOPO (Fear of Other People’s Opinions) dan FOMO (Fear of Missing Out) semakin mendominasi pola pikir pengguna media sosial. FOMO dapat muncul akibat adanya perasaan FOPO pada pengguna media sosial. Dalam konteks ini, media sosial menjadi media utama untuk menampilkan gaya hidup "sempurna" yang kerap menjadi standar baru sehingga masyarakat menjadi korban kapitalisme digital.
ADVERTISEMENT
Fear of Other People’s Opinions
FOPO menggambarkan ketakutan seseorang terhadap pandangan negatif orang lain. Dengan adanya media sosial, FOPO dapat muncul karena media sosial memberikan ruang bagi setiap orang untuk berkomentar dan beropini. Setiap momen dapat dibagikan dan dihakimi dalam sekejap, ketakutan akan penilaian negatif membuat banyak orang terdorong untuk selalu tampil sempurna sesuai dengan standar sosial yang ada.
FOPO menjadi relevan ketika seseorang merasa bahwa penampilannya, pilihannya, atau barang-barang yang dimilikinya akan memengaruhi cara orang lain memandangnya. Hal ini dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam upaya menyesuaikan diri dengan pandangan atau harapan orang lain demi mendapatkan "like" dan pengakuan di media sosial. Tekanan untuk selalu tampil sempurna ini membuat sebagian orang hidup dalam kebohongan, memamerkan kehidupan yang ideal namun sering kali jauh dari realitas.
ADVERTISEMENT
Fear of Missing Out
FOMO dapat muncul akibat adanya kecemasan seperti FOPO. FOMO mendorong seseorang untuk terlibat dalam tren atau aktivitas yang populer, semata-mata agar tidak dinilai “tertinggal”. Media sosial, dengan segala kecanggihan algoritmanya, dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Algoritma ini secara cerdik memilih konten yang diyakini dapat memicu keterikatan emosi, baik itu berupa konten yang menghibur, memotivasi, atau bahkan memprovokasi rasa iri.
Hal tersebut dapat memperkuat rasa FOMO dengan menunjukkan kehidupan orang lain yang tampak menarik dan sempurna melalui suatu unggahan di media sosial. Contohnya yaitu unggahan sedang berlibur ke tempat yang trending, menonton konser, membeli barang-barang mewah, atau momen bahagia lainnya. Gambaran ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan kepuasan diri hanya bisa dicapai melalui konsumsi barang-barang tertentu atau pengalaman tertentu. FOMO menjadikan seseorang sebagai konsumen yang selalu haus akan hal baru, meskipun mungkin tidak benar-benar membutuhkan atau menginginkannya.
ADVERTISEMENT
Korelasi dengan kapitalisme Digital
Kapitalisme digital sangat memahami dinamika FOPO dan FOMO ini. Banyak perusahaan dan brand menggunakan media sosial untuk membangun strategi pemasaran yang mengandalkan ketakutan kita akan pandangan orang lain dan ketakutan akan “tertinggal”. Perusahaan berlomba-lomba memanfaatkan tren untuk memasarkan produk mereka melalui influencer, iklan yang dipersonalisasi, diskon terbatas, dan produk edisi khusus yang dipasarkan dengan tujuan memicu rasa urgensi dan ketidakpuasan dalam diri kita.
Saat ini, banyak e-commerce yang menggunakan strategi FOMO (Fear of Missing Out) dalam pemasaran produk. Strategi ini memanfaatkan rasa takut konsumen untuk melewatkan penawaran menarik, mendorong pembelian impulsif. Taktik yang digunakan termasuk menampilkan stok terbatas, batas waktu seperti Flash Sale, serta informasi jumlah barang terjual dan ulasan pembeli. Strategi ini efektif meningkatkan potensi penjualan dengan menciptakan urgensi di antara konsumen. Akibatnya, media sosial menjadi medium yang kuat dalam menciptakan kebutuhan artifisial, di mana seseorang membeli barang atau layanan yang mungkin tidak benar-benar diperlukan, melainkan hanya untuk memenuhi standar yang dipaksakan oleh lingkungan digital.
ADVERTISEMENT
Diperlukan Kesadaran dan Pengendalian Diri
Perlu dipahami bahwa media sosial pada dasarnya hanya menampilkan sebagian kecil dari realitas, yang sering kali dimanipulasi dan dibingkai agar terlihat sempurna. Kuncinya adalah kesadaran dan pengendalian diri. Menyadari jebakan FOMO dan FOPO adalah langkah awal untuk membebaskan diri dari pengaruh negatif media sosial. Alih-alih terjebak dalam ilusi yang ditawarkan media sosial, kita perlu fokus pada apa yang benar-benar penting bagi diri kita, bukan hanya apa yang membuat kita terlihat baik di mata orang lain.
Dengan membatasi waktu di media sosial, mengurangi perhatian pada penilaian orang lain, serta mengkonsumsi produk dan layanan dengan bijak, kita dapat membebaskan diri dari kontrol yang ditetapkan oleh kapitalisme digital. Jika kita terus membiarkan media sosial dan kapitalisme digital mengendalikan gaya hidup kita, kita akan terjebak dalam siklus konsumtif yang tidak pernah berakhir, tanpa mencapai kebahagiaan sejati.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
FOPO, FOMO, dan kapitalisme digital adalah fenomena yang saling terkait dan berkontribusi terhadap meningkatnya tekanan sosial dan perilaku konsumtif dalam hidup kita. Media sosial, sebagai produk dari kapitalisme digital, terus memanipulasi kebutuhan kita akan penerimaan sosial. Untuk menghindari kendali ini, kita perlu membangun kesadaran dan pengendalian terhadap cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Jika tidak, pilihan hidup kita akan selalu berada di tangan media sosial, bukan di tangan kita sendiri.