Konten dari Pengguna

Hari Merdeka, Generasi Muda, dan Bhinneka Tunggal Ika

Tito Tri Kadafi
Co-founder dan Director Bastra ID, Every U Does Good Heroes 2022
18 Agustus 2023 16:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tito Tri Kadafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi semangat di Hari Kemerdekaan RI Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi semangat di Hari Kemerdekaan RI Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kita tidak bisa memastikan sesuatu jadi toleran, tetapi bisa mengusahakannya.
ADVERTISEMENT
Mama Maria tampak sudah kecewa dan putus asa. Pasalnya, pembangunan gereja di salah satu kota di Indonesia yang telah diagendakan bertahun-tahun silam, diberhentikan. Ia jadi satu dari ribuan masyarakat Kristiani yang kebutuhan ibadahnya tidak terakomodasi karena adanya pelarangan pembangunan gereja di kota tersebut. Cerita Mama Maria dan ribuan orang lainnya jadi bukti belum selesainya masalah perdamaian, meski tahun ini kemerdekaan sudah masuk ketujuh puluh delapan.
Peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus umumnya mencerminkan perayaan dan rasa kebanggaan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Namun, definisi kemerdekaan bangsa juga pada dasarnya perlu dimaknai lebih dalam. Permasalahan yang muncul dalam konteks keberagaman menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua warga negara ini. Alih-alih menjadi identitas pemersatu yang patut dirayakan, keberagaman malah acap kali menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, dan bahkan dianggap sebagai sumber persoalan.
ADVERTISEMENT
Penggalan cerita di awal tulisan ini terjadi dekat sekali dengan tempat tinggal saya; Kota Cilegon. Tahun ini, Setara Institute menobatkan Kota Cilegon sebagai kota paling intoleran nomor satu di Indonesia. Kota ini menjadi satu-satunya kota/kabupaten di Indonesia yang tidak memiliki rumah ibadah selain agama mayoritas. Larangan pembangunan gereja di kota ini jadi bukti bahwa kepedulian terhadap isu keberagaman perlu dipupuk di semua level.
Secara konstitusional, negara sudah jelas menjamin hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dasar ini harusnya tersampaikan dan diimplementasikan oleh seluruh lapisan masyarakat, serta menjadi acuan bagi para pemangku kebijakan dalam penerapannya.
Bukan saja soal agama, masalah di ranah keberagaman juga menyeruak ke berbagai isu, termasuk soal belum inklusifnya dunia ini bagi penyandang disabilitas, ketidakadilan gender, hingga perundungan yang masih banyak terjadi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI turut mengklasifikasikan kondisi tersebut melalui istilah “tiga dosa besar pendidikan” yakni perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi yang masih marak terjadi di dunia pendidikan. Situasi demikian sudah seyogyanya menjadi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bergerak, termasuk orang muda di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Selalu ada harapan untuk dunia berubah menjadi lebih baik, termasuk melalui tangan, pikiran, dan hatinya orang muda. Bonus demografi yang diprediksi terjadi pada 2045 semestinya jadi pemacu optimisme bangsa Indonesia. Ditunjang dengan meningkatnya growth of critical citizen, atau pertumbuhan jumlah populasi yang lebih kritis melihat persoalan, utamanya orang muda.
Banyaknya gerakan perubahan orang muda yang muncul saat ini menandakan transformasi paradigma ke arah yang lebih berorientasi pada dampak sosial. Orang muda tidak lagi menjadikan gaji sebagai alasan utama untuk bekerja, perhatian mereka terhadap keseimbangan pekerjaan-hidup dan menemukan kesempatan belajar dianggap lebih penting ketimbang pundi-pundi semata.
Saya termasuk orang muda, yang sejak lima tahun ke belakang memilih berkarier lewat gerakan sosial bernama Bastra ID, yakni organisasi pendidikan yang bergerak menanamkan keterampilan literasi, berpikir kritis, dan sosio emosional melalui medium bahasa dan sastra. Bastra ID dikelola secara kerelawanan yang hingga saat ini pengurusnya mencapai 120 orang. Organisasi dengan kepanjangan “Buat angkasa raya bahagia dengan bahasa dan sastra” ini memiliki objektif untuk membuat masyarakat Indonesia lebih peduli, efektif, dan adaptif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial melalui medium tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa program Bastra seperti Kartu Berembug dan Remaja Belajar Menulis Konten menjadi bentuk integrasi isu keberagaman ke dalam penerapan program. Melalui Kartu Berembug, saya dan tim ingin mengajak orang muda mampu untuk bernegosiasi dan berargumentasi secara lisan lewat permainan, sedangkan Remaja Belajar Menulis Konten mendorong pelajar di Indonesia untuk mampu berargumentasi melalui publikasi tulisan populer.
Keduanya sama-sama berorientasi untuk menyelesaikan masalah pada empat isu, yakni intoleransi, ketidakadilan gender, perundungan, dan diskriminasi terhadap disabilitas melalui keterampilan literasi, berpikir kritis, dan sosio emosional. Bayangkan betapa mudahnya menyelesaikan masalah yang ada ketika tiap individu hidup dengan keterampilan yang mumpuni dalam hal tersebut, isu keberagaman di masa depan harusnya tak lagi jadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Cerita saya dan tim menggerakkan perubahan menuju kebaikan adalah usaha kolaboratif selama bertahun-tahun. Konsistensi sering kali jadi momok menakutkan bagi para penggerak perubahan, oleh sebab itu setiap orang muda membutuhkan wadah yang dapat membantu mereka memperluas jejaring dan memastikan keberlanjutan dari dampak yang diinginkan.
Penting bagi para penggerak secara aktif untuk menemukan wadah yang mampu membentuk kompetensi yang selaras dan dibutuhkan, bukan hanya untuk gerakannya, tetapi juga personalnya. Kepercayaan diri saya meningkat bahwa orang muda amat mampu berperan ketika di perjalanan mengelola organisasi, saya menemukan tujuan hidup; untuk membangun keterampilan literasi orang Indonesia. Mentor saya bilang, bahwa sangat penting bagi tiap orang untuk punya tujuan hidup yang besar dan tidak akan selesai, dan literasi adalah persoalan dinamis yang akan selalu ada, termasuk hubungannya dalam merawat toleransi dan keberagaman.
ADVERTISEMENT
“Tujuan yang selesai itu misalnya mau melanjutkan S2, saat S2-nya selesai, tujuan kita selesai, dan hidup kita selanjutnya jadi tidak punya tujuan,” sambung mentor.
Dalam hal keberagaman, masyarakat yang sepenuhnya toleran mungkin merupakan tujuan yang tidak akan pernah selesai. Namun, tanggung jawab kita semua untuk terus bergerak mengusahakannya, terus bergerak menuju kesana.
Saya percaya ada beragam cara, termasuk memupuk keterampilan literasi, berfikir kritis, sosio emosional dan bergotong royong. Hal-hal tersebut adalah fundamental untuk membangun dunia yang lebih adil dan toleran. Di sinilah orang muda memainkan peranan untuk terus mengobarkan semangat bersama, menuju merdeka dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika.