Konten dari Pengguna

Menghibur atau Mengeskploitasi ? Mengintip Konten melalui Kacamata Komodifikasi

Tiyas Ayu Karyasih
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
18 September 2024 15:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiyas Ayu Karyasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi By Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi By Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teknologi saat ini, mampu membawa kita semua pada sebuah era kedewasaan, sebuah era perkembangan new media baik dalam tatanan sosial ekonomi dan politik, yang tidak pernah lepas dari pembentukan opini, perilaku dan persepsi masyarakat dalam penggunaan teknologi.
ADVERTISEMENT
Berbagai stage mulai dari televisi (TV), radio, hingga media sosial mampu menawarkan beragam konten yang bertujuan menghibur, menginformasikan dan mengedukasi khalayak, namun dalam kacamata Vincent Mosco konten tersebut berubah menjadi dua dimensi yang justru kontradiksi, yaitu memprovokasi dan juga untuk mengekploitasi khalayak yang nantinya bisa dikatakan sebagai proses komodifikasi.
Melalui kajian politik ekonomi dan media komunikasi, terdapat hubungan sosial dan hubungan kekuasaan yang saling membentuk produksi, saling mendistribusi (mendistribusikan konten atau tayangan) dan konsumsi sumber daya, termasuk sumber daya komunikasi yang mempengaruhi bagaimana konten tersebut dikemas, disajikan, dan dipromosikan kepada khalayak lalu bermuara pada domain kapitalistik.
Pemahaman komodifikasi dalam konteks media merupakan proses di mana sesuatu yang awalnya tidak memiliki nilai pasar menjadi barang yang dapat diperdagangkan. Dalam konteks media, komodifikasi berarti mengubah konten menjadi produk yang bisa dipasarkan dan menghasilkan keuntungan. Semua ini bisa mencakup berbagai bentuk media, seperti konten atau tayangan dari program televisi, video online, berita, dan juga periklanan. Dalam ekonomi politik komunikasi, komodifikasi merupakan proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar (Mosco, 2009; Ulya, 2019).
ADVERTISEMENT
Munculnya konsep komodifikasi karena perkembangan suatu industri budaya, dimana komodifikas diartikan sebagai produksi benda budaya (musik, film, busana, seni dan tradisi), diproduksi secara massal oleh industry budaya, yang menghasilkan produk budaya yang tidak otentik/palsu, manipulatif, dan terstandarisasi. Dalam hal ini, masyarakat/khalayak baik secara sadar dan tidak, telah digerakan secara masif seolah sangat membutuhkan produk budaya tersebut, Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1979:123)
Adanya pergeseran fungsi media terlihat menonjol dalam ruang publik untuk mencari perhatian khalayak, dan menjadi salah satu faktor yang membuat elit media bersaing ketat dan mendadak kreatif serta inovatif untuk menayangkan konten yang sensasional guna mementingkan bisnis untuk meraup kapital, lalu mengesampingkan kontrol pemerintah dan enggan tunduk pada regulator media.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan karya McChesney dalam The Global Media: The New Missionaries to Global Capitalism – with Edward S. Herman (1997) yang mengkritisi sebuah industri media Amerika dan media global yang terjebak dalam kecenderungan untuk mengedepankan kepentingan bisnis ketimbang kepentingan publik secara luas. Hal demikian serupa dengan kondisi media di Indonesia yang seolah menjadi makmum terhadap industri media di Amerika.
Menghibur atau mengksploitasi?
Di Indonesia sendiri sudah banyak konten yang dikomodifikasikan, seperti konten-konten YouTube dan media sosial yang membawa khalayak sulit untuk membedakan ranah privat dan ranah publik. Para YouTuber dan Influencer media sosial sadar betul bahwa kehidupannya memiliki nilai ekonomi, ditambah dengan berbagai gimmick dan dramatisasi yang mampu menambah rasa penasaran khalayak untuk mampir dan lagi-lagi dikapitalisasi.
ADVERTISEMENT
Kualitas konten yang dibuat untuk tujuan menghiburan sering kali dirancang untuk menarik perhatian dan memberikan pengalaman yang menyenangkan. Namun, sering kali ada trade-off antara kualitas dan kebutuhan untuk menarik khalayak yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, untuk memaksimalkan keuntungan, produsen atau industri media lebih memilih sensasi serta kontroversi yang lebih besar dan mencolok sehingga lupa dengan kualitas dan integrasi kontennya. Konten-konten yang demikian agaknya mulai menjamur dan seolah menutup mata khalayak, bahwa konten yang ditonton ternyata tidak hanya menghadirkan hiburan semata.
Mosco mengklasifikasikan komodifikasi menjadi tiga ranah yang sekiranya mampu menyadarkan khalayak terkait isi konten yang ditayangkan.
Pertama, komodifikasi isi konten yang merujuk pada isi konten yang dibuat YouTuber, influencer media sosial dan industri media yang menayangkan kehidupan privat seperti konten pernikahan yang dipublikasi full guna mendapat sponsor, sebut saja video nikah Atta Halilintar dan Aurel yang mampu menembus 1,5 Juta viewers dalam sehari. Dari contoh ini dapat menjadi gambaran bagaimana pernikahan aktris dan influencer terkenal itu disadari oleh media memiliki unsur kapital yang mendatangkan banyak viewers.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ada konten donasi para artis, khalayak mungkin melihat artis-artis tersebut dermawan, namun kegiatan donasi sejatinya untuk mendapat banyak simpati khalayak dan menjaring viewers, AdSense, dan sponsor untuk mendapat kapital yang berkalilipat dari uang yang dikeluarkan untuk kegiatan donasi sebelumnya.
Lebih jelas ditambahkan oleh Gun Gun Heryanto, pakar media dan komunikasi politik di Jakarta, komodifikasi isi dipahami sebagai proses mengubah pesan dan sekumpulan data ke dalam sistem makna untuk menjadi produk-produk yang dapat dipasarkan. Industri media beroperasi dengan Trade show bisnis yang mengutamakan iklan dan pendapatan dari khalayak. Ini dapat mempengaruhi konten yang diproduksi dan cara konten tersebut disajikan.
Misalnya, saluran berita mungkin lebih cenderung menyoroti berita yang kontroversial, sensasional dan berfokus pada tragedi serta konflik terbukti mengeksploitasi perasaan simpati dan ketertarikan khalayak sehingga mendatangkan adSense.
ADVERTISEMENT
Tidak berbeda dengan Class of Mutans sebagai salah satu konten garapan Channel Youtube Tretan Universe, mampu meraup 2,3 Juta viewers dengan menampilkan battle logic, critical thinking, duel sengit menghafal gaple dan konten-konten lain yang tidak biasa dilakukan olek kelompok penyandang disabilitas. Para aktor penyandang disabililtas seolah dieksploitasi tanpa sadar oleh channel tersebut untuk memberikan tayangan yang berbeda, sehingga mampu menghadirkan efek emosional dan rasa keingintahuan khalayak untuk menonton konten tersebut.
Kedua, komodifikasi khalayak atau viewers, ini menjadi sebuah instrumen penting. Khalayak menggangap menonton sebuah tayangan YouTube adalah sebuah kegiatan cuma-cuma atau gratis, namun tidak menurut Mosco, setiap khalayak memutuskan untuk menonton sebuah channel, maka akan ada perhitungan absensi yang dikomodifikasi, yang ujungnya membuat pihak industri media bertepuk tangan dan artinya uang akan turut datang melalui melalui kuantitas share dan rating tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut sejalan dengan Class of Mutants yang terbukti dapat memikat viewers juga respon yang memenuhi kolom komentar sebanyak 5.640 komentar di salah satu kontennya. Ini pun jelas memberikan keuntungan yang tidak sedikit untuk pihak Tretan Universe.
Ketiga, Komodifikasi tenaga kerja atau pekerja media, katakanlah dalam Class of Mutants para penyandang disabilitas secara tidak sadar telah dieksploitasi menjadi pekerja. Kelompok penyandang disabilitas sebagai kelompok minoritas menghadirkan cerita baru yang cukup menarik perhatian karena memiliki karakter lemah serta banyak keterbatasan, namun diberikan panggung yang kontradiksi dan mampu mengaktualisasi diri menjadi sosok yang normal dan dapat menggugah rasa simpati serta psikologis dari khalayak yang menontonnya.
Artikel ini hadir untuk memahami dinamika juga sebagai bahan pengingat, bahwa produk media yang kita konsumsi memiliki nilai praktis tertentu, untuk itu khalayak diharapkan dapat lebih kritis dan bijaksana untuk memperhatikan, memeriksa, serta memutuskan produk media mana yang cocok dikonsumsi di ruang keluarganya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Keputusan kita dalam menentukan produk media juga dapat menjadi umpan balik bagi keputusan industri media dalam memproduksi kontennya mendatang. Industri media diharapkan mampu meningkatkan etika, integritas serta tanggung jawab terhadap konten yang diproduksi, sehingga tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan informasi yang mendidik.