Hukum Pelindung Hak Anak Setelah Perceraian

Muhammad Alif Wicaksono
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Ilmu Hukum
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 12:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Alif Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak korban perceraian https://cdn.pixabay.com/photo/2013/07/13/09/59/divorce-156444_960_720.png
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak korban perceraian https://cdn.pixabay.com/photo/2013/07/13/09/59/divorce-156444_960_720.png
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merupakan sebuah tujuan bagi setiap pasangan suami istri yang telah terikat dalam hubungan pernikahan adalah rumah tangganya berjalan dengan sempurna dan bahagia sepanjang masa. Salah satu faktor untuk mencapai tujuan itu adalah memiliki keturunan. Namun, tidak sedikit juga pernikahan yang berjalan kurang baik dan terpaksa harus berakhir di meja pengadilan atau perceraian. Lalu, bagaimanakah nasib sang anak jika kedua orang tuanya bercerai.
ADVERTISEMENT
Perceraian pada umumnya adalah hal yang paling dihindari oleh semua pasangan suami istri. Sebab, efek yang ditimbulkan dari perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan suami istri saja, melainkan bersifat kompleks meliputi hampir semua aspek kehidupan, dapat berupa finansial, pendidikan bahkan kesehatan mental sang anak.
Perceraian menurut Dr. Muhammad Syaifudin dalam bukunya "Hukum Perceraian" cetakan pertama tahun 2013 adalah putusnya perkawinan yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri. Sedangkan menurut hukum, perceraian adalah penghapusan status perkawinan dengan adanya keputusan hakim yang dikarenakan adanya tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan itu, yang berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undang-undang.
Pasca putusan perceraian di pengadilan, umumnya pasangan suami istri yang bercerai jika telah memiliki anak akan bersaing untuk mendapatkan hak asuh anak. Perebutan hak asuh anak ini secara tidak langsung menjelma menjadi kompetisi bagi pasangan suami istri yang telah bercerai. Karena umumnya alasan memperebutkan hak asuh anak adalah mendapatkan keuntungan berupa materil yang lebih, dibanding pihak yang tidak mendapatkan hak asuh anak atau karena salah satunya merasa lebih mampu dan mumpuni secara ekonomi maupun dalam cara mendidik.
ADVERTISEMENT
Namun apakah semua orang tua yang bercerai akan berlomba-lomba dan bersaing untuk mendapatkan hak asuh anaknya. Tragisnya ada dalam beberapa kasus, pasca perceraian kedua orang tua justru menolak untuk bertanggung jawab dan enggan untuk mengasuh sang anak. Lalu, hal apa yang bisa dilakukan jika kita menemukan kasus seperti ini.
Pemerintah sendiri telah mengantisipasi dan berupaya dengan undang-undang sebagai dasar hukum untuk dapat memastikan anak tetap mendapatkan haknya walaupun kedua orang tuanya telah bercerai secara sah.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pada poin "a" dalam pasal ini disebutkan bahwasannya setelah perceraian terlaksana, kedua orangtua masih memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya demi kebaikan sang anak.
Dan khusus bagi pihak suami pada poin "c" disebutkan bahwa pengadilan dapat memutuskan tuntutan kepada pihak suami berupa kewajiban untuk menganggung biaya hidup atau tuntutan lainnya terhadap mantan istri dan anaknya sesuai dengan kesepakatan hasil pengadilan.
ADVERTISEMENT
Namun jika pada kenyataanya pihak suami tidak mampu secara materil maka disebutkan pada poin "b" bahwa pengadilan dapat memutuskan pihak istri sebagai ibu untuk ikut memikul biaya hidup anak tersebut.
Dengan adanya pasal ini, orangtua dapat dipastikan tetap memiliki kewajiban terhadap anaknya dan diawasi oleh negara walaupun sudah bercerai demi masa depan sang anak.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Dalam pasal ini dikatakan bahwasannya perlindungan anak adalah segala suatu kegiatan yang menjamin dan juga melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara maksimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, anak juga akan mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada pasal ini juga disebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah
ADVERTISEMENT
Dan rincian hak anak yang disebutkan di atas dibebankan kepada orang tuanya, adapun pembagian tugas untuk menunaikan hak anak antara kedua orang tua dapat diputuskan melalui kesepakatan internal kedua orang tua dengan syarat kedua belah pihak setuju dan berkomitmen untuk menunaikannya atau melalui mediasi di pengadilan ataupun dengan putusan hakim di persidangan sebagaimana pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal 74 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Pasal ini berisi tentang perlindungan anak yaitu mengatur tentang pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak pada anak. Dengan kata lain terwujudnya dan beroperasinya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasar pada pasal ini, yang bertujuan untuk menjaga dan menunaikan hak-hak pada anak.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, pemerintah telah melakukan upaya-upaya optimal untuk memperjuangkan hak anak yang terancam dengan penyebab apapun termasuk dengan sebab perceraian melalui pasal-pasal di atas. Namun pada faktanya, semaksimal apapun pemerintah berupaya untuk menjaga hak anak jika dari pihak orang tua sendiri tidak ada komitmen untuk melakukannya, maka bukan tidak mungkin justru pihak orang tualah yang menghambat hak-hak anak tersebut dapat tertunaikan.
Pemerintah juga telah berupaya untuk meminimalisir terjadinya perceraian yaitu merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang awalnya syarat usia menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan adalah 16 tahun menjadi mutlak 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Seorang anak tidak pernah memilih untuk lahir ke dunia, juga anak tidak bisa memilih oleh orang tua mana ia akan diasuh. Oleh sebab itu, mereka adalah tanggung jawab dari orang tua setidaknya sampai mereka bisa menjaga dan menghidupi diri mereka sendiri atau jika berdasar pada Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa "orang tua berkewajiban memelihara anaknya hingga ia kawin atau bisa berdiri sendiri".
ADVERTISEMENT
Perceraian mungkin bisa menjadi jalan keluar bagi pasangan suami istri yang memiliki sebuah masalah dalam rumah tangganya. Namun tetap, mengasuh anak adalah kewajiban bersama untuk ditunaikan dan masing-masing suami istri harus dapat bekerja sama serta menurunkan egonya masing-masing, supaya sang anak tetap bisa hidup bahagia dan layak walaupun kedua orang tuanya telah berpisah.