news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ada Apa dengan Istilah "Pribumi"?

Tony Rosyid
Pengamat politik
Konten dari Pengguna
25 Oktober 2017 10:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anies Baswedan memberikan pidato. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anies Baswedan memberikan pidato. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Apa yang salah dengan kata "pribumi"? Apakah istilah "pribumi" itu suatu barang haram, sehingga tidak layak untuk diperdengarkan. Tidakkah pribumi itu suatu identitas bagi warga negara. Mereka adalah penduduk asli sebuah negara yang berhak atas tanah dan kedaulatannya. Kalau kemudian mereka ingin mendiskripsikan identitasnya di atas kenyataan sejarah hidupnya apakah itu sebuah kesalahan?
ADVERTISEMENT
Kata "pribumi" ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pribumi artinya penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Dalam pengertian yang luas pribumi artinya setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal, asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya.
Istilah "pribumi" biasa diucapkan oleh pejabat di negeri ini, termasuk oleh Megawati dan Jokowi. Lalu menjadi gaduh ketika kata itu keluar dari mulut Anies Rasyid Baswedan dalam pidato perdananya di Balaikota pasca pelantikan. Dilihat dari sisi content dan konteks pidato, menurut kecermatan dari para ahli, termasuk ahli hukum diantaranya adalah Nasrullah dalam talk shownya di sebuah tv swasta, tidak ada yang perlu dipersoalkan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kontoversi ini terlihat bukan terletak pada contens dan konteksnya, tapi terletak pada siapa yang mengucapkannya.
Kontroversi tidak lagi berada pada ranah bahasa dan hukum, tapi lebih merupakan akibat dari sisa-sisa politik pilgub DKI mengingat yang mempersoalkan adalah mereka yang berseberangan dengan Anies. Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa kontroversi terkait "pribumi" tidak bersifat rasis, tapi politis. Namun adalah hak bagi setiap warga untuk mempersoalkannya di ranah hukum. Dalam hal ini, semua mesti menghormati proses hukum yang berjalan tanpa ada pihak-pihak yang berhak memaksakan, apalagi bertindak anarkis dan sengaja mengambil keuntungan secara politis.
Tidakkah sebuah fakta di negeri ini ada penduduk asli dan ada pendatang. Ada warga negara asli ada warga bukan asli. Pada zaman Belanda, warga penduduk asli yang disebut dengan istilah "pribumi" ini diposisikan sebagai warga kelas tiga setelah warga kulit putih yaitu Eropa, Amerika, Jepang dan lain-lain sebagai warga kelas satu dan Timur Asing; China, Arab dan India sebagai warga kelas dua.
ADVERTISEMENT
Pribumi paling menderita saat penjajahan Belanda atas Indonesia adalah fakta masa lalu yang tidak bisa dilupakan. Mereka merasakan betapa penjajahan itu menyakitkan. Karena itu, mereka berjuang untuk merdeka dan merebut bumi pertiwi ini. Warga kelas tiga yang disebut "pribumi" inilah yang berkeringat dan berdarah-darah melawan Belanda, kumudian Jepang. Hampir di semua wilayah pelosok negeri "pasukan pribumi" bergerilya melawan penjajah.
Pribumi inilah yang kehilangan banyak harta, nyawa dan keluarga untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Belakangan warga keturunan Arab turut andil dan membantu perjuangan kemerdekaan ini, bukan warga keturunan Eropa, China atau India.
Jika warga Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli), maka keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah ahwal (saudara ibu). Sebab, seluruh keturunan Arab ibunya pribumi, karena mereka yang datang ke Indonesia adalah para lelaki yang tidak membawa keluarga, dan menikah dengan perempuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keturunan Arab ini menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Indonesia bagi warga keturunan Arab adalah tanah air dan mereka wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia. Di antara kewajiban untuk tanah air adalah memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pandangan ini ditulis oleh AR Baswedan, kakek dari Anies Baswedan dan Novel Baswedan di Koran Harian Matahari pada tanggal 1 Agustus 1934, 11 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dan pada tanggal 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab berkumpul di Semarang dan bersumpah "Tanah Air kami satu, Indonesia". Sejak itu semangat mereka tidak lagi semangat kearaban, tapi semangat keindonesiaan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain warga keturunan China adalah para pebisnis. Mereka pekerja keras dan memiliki skill yang baik dalam berwirausaha Untuk menjamin kelangsungan bisnisnya mereka memilih tidak berseberangan dengan penguasa. Sebaliknya, kedekatan dengan penguasa mutlak menjadi jaminan bagi keberlangsungan dan pengembangan bisnis mereka. Seperti sebuah pepatah: siapa dekat dia yang dapat. Inilah faktor penting yang bisa menjelaskan mengapa warga keturunan China saat itu begitu dekat dengan Penguasa Belanda.
Tidak saja pada masa kolonial, pasca kemerdekaan, warga keturunan China juga berhasil merapat ke penguasa, mulai Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi sekarang. Kedekatan ini tentu telah banyak memberi keuntungan khususnya secara ekonomi bagi mereka. Kerja keras, keunggulan skill dan kedekatan dengan penguasa kenyataannya telah berhasil melahirkan para taipan yang sukses sebagai pengusaha papan atas di negeri ini. Kesuksesan ini tidak mampu diikuti oleh kebanyakan penduduk asli yang disebut "pribumi".
ADVERTISEMENT
Keadaan ini barangkali yang menjadi sumber kecurigaan, kecemburuan dan kadang ketegangan antara pribumi dengan warga keturanan China. Ketimpangan ekonomi, terutama jika dipahami sebagai akibat ketidakadilan, telah mendorong lahirnya kecemburuan sosial. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka akan sangat potensial memicu konflik. Ketegangan sosial yang dibiarkan, mengacu pada teori Jonathan Turner, akan memicu lahirnya konflik sosial. Dan konflik sosial biasanya terjadi ketika ketegangan sosial mendapatkan triggernya. Kasus 1998 adalah fakta sejarah yang telah menyisakan trauma kepada semua pihak.
Sejarah telah berlalu, Belanda telah kembali ke negerinya dan kemerdekaan sudah kita lalui 72 tahun silam. Apakah pribumi sebagai pejuang utama negeri ini sudah menikmati kemerdekaan itu? Jawabannya sudah. Hanya saja sebesar apa pribumi menikmati hasil kemerdekaan ini dibanding orang lain?
ADVERTISEMENT
Dari 160-an juta penduduk Indonesia, 1% diantaranya menguasai 50% kekayaan negeri ini. Dan 10% penduduk negeri ini menguasai 90% kekayaan negeri ini. Siapakah kebanyakan mereka? Jawabannya adalah bukan pribumi. Apakah salah jika menyadari kenyataan ini kemudian istilah "pribumi" muncul untuk memberi kesadaran akan keadaannya sebagai warga negara yang jauh ketinggalan secara ekonomi?
Istilah "pribumi" muncul untuk: pertama memberi kesadaran akan keadaan yang sesungguhnya dan betapa pentingnya bangkit mengejar ketertinggalan. Kedua, sebagai tuntutan terhadap pemerintah agar memperhatikan kepada mereka yang memiliki saham paling besar terhadap kemerdekaan negeri ini yakni "pribumi".
Mahatir, mantan perdana menteri Malaysia adalah salah satu contoh pemimpin terbaik dunia. Ialah yang berhasil mendorong pribumi Malaysia bangkit dan menikmati ekonomi di negeri mereka sendiri. Tahun 1969, pribumi hanya memiliki sekitar 3% kekayaan negerinya. Atas kesungguhan Mahatir mendorong kebijakan yang berpihak pada pribumi Malaysia saat ini mereka telah menikmati kekayaan di negeri sendiri di atas 30%. Bagaimana dengan pribumi di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dari gambaran di atas, istilah "pribumi" tidak saja tidak bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia, tapi lebih pada sebuah perjuangan eksistensi di negeri dimana mereka telah menanam saham paling besar. Kesadaran pribumi bukan kesadaran rasisme, tapi justru perjuangan melawan ketidakadilan yang berbasis rasial.
Apa yang diucapkan Anies Rasyid Baswedan dalam pidato perdananya sebagai gubernur DKI mesti dipahami secara positif sebagai ikhtiar memperjuangkan terwujudnya keadilan yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk oleh "pribumi" tanpa diskriminasi.
25/10/2017