Konten dari Pengguna

Jokowi, Presiden Sukses atau Gagal?

Tony Rosyid
Pengamat politik
16 Oktober 2018 11:44 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
127
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi touring di Sukabumi dengan motor emas. (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi touring di Sukabumi dengan motor emas. (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
Jokowi sebagai presiden, sukses atau gagal? Kalau pertanyaan ini diajukan ke pendukungnya, pasti jawabannya sukses. Apa indikatornya? Pernah dikasih sepeda. Pernah dapat bingkisan yang dilempar dari mobil. Senang lihat Jokowi low profile ketika pakai kaos oblong dan sandal jepit. Tentu itu subjektif.
ADVERTISEMENT
Kalau ditanyakan kepada pihak lawan, jawabannya Jokowi gagal. Apa indikatornya? Jokowi kriminalisasi Habib Rizieq. Jokowi dukung Ahok. Ini juga subjektif. Kalau pertanyaannya diajukan ke lembaga survei, ada yang bilang sukses. Apa dasarnya? Persepsi publik. Mereka disurvei menggunakan kaidah-kaidah ilmiah dengan random sampling yang proporsional dan margin error 2,5 persen. Objektif? Kadang. Tapi, tidak nyambung. Loh, kok gak nyambung?
Sukses gagal kok dijawab pakai survei. Emang pemilu? Kalau mau lihat Jokowi sukses atau gagal, lihat seberapa besar janji yang sudah ditunaikan, dan lihat pula capaian kinerjanya. Bukan persepsi. Pasti bias.
ADVERTISEMENT
Tapi, pertanyaan dalam survei itu tentang tingkat kepuasan publik. Bukan tentang kesuksesan. Secara ilmiah itu tidak salah. Tapi narasi "kepuasan publik" itu apakah orisinil dan berdiri sendiri? Tidak ada kaitannya dengan penggiringan opini? Gak berhubungan dengan kampanye? Ini soal etika dan moral.
Curiga, bahkan sering kecewa terhadap lembaga survei model ini, seorang ustaz bertanya: bagaimana nasib lembaga-lembaga survei itu di akhirat ya? Nah loh.
Sukses gagalnya Jokowi mesti dilihat dari variabel kinerja dan janji kampanyenya. Misal, bagaimana kinerja Jokowi di bidang hukum? Hukum makin adil, atau makin timpang? Apakah hukum ditegakkan, atau dikendalikan? Bagaimana tingkat kriminalisasi? Diberantas, atau malah digalakkan?
Jokowi naik motor trail di Muara Gembong.  (Foto: Agus Suparto-Presidential Palace)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi naik motor trail di Muara Gembong. (Foto: Agus Suparto-Presidential Palace)
Di bidang ekonomi. Rakyat makin sejahtera, atau makin sulit hidupnya? Pengangguran makin banyak, atau berkurang? BBM, listrik, dan jalan tol makin membebani rakyat atau meringankan? Dolar dulu Rp 10.000, sekarang di atas Rp 15.000. Itu indikator sukses atau gagal?
ADVERTISEMENT
Sementara di bidang politik. Indonesia makin demokratis atau makin represif? Mimbar mahasiswa makin bebas atau makin sempit? Rektor, ilmuan dan aktivis makin berani dan bebas bersuara, atau malah ciut nyalinya? Kampus makin independen atau berada dalam pengawasan?
Soal clean government. Koruptor makin banyak, atau makin sedikit? KPK makin ganas, atau makin tersandera? Lalu, semua keadaan sekarang ini dibandingkan dengan keadaan sebelum Jokowi dilantik jadi presiden.
Lihat juga janji Jokowi. Ini variabel penting. Karena menyangkut tidak saja kredibilitas, tapi juga integritas seorang presiden. Janji pantang untuk tidak ditunaikan. Ada yang bilang Jokowi-JK punya 66 janji. Ukur, berapa persen sudah ditunaikan? Simple bukan cara mengukurnya? Bukan dengan persepsi publik. Bukan dengan survei. Ngawur itu!
ADVERTISEMENT
Soal sukses gagalnya Jokowi, jangan tanyakan pada calon pemilih di Pilpres 2019. Itu keliru. Tukang rongsok, pengayuh becak, penjual terong, pedagang asongan, cabe-cabean, mana ngerti mereka soal ekonomi, politik, hukum, pertahanan dan lain-lain.
Meme Jokowi oleh HBO Asia. (Foto: twitter.com/HBOAsia)
zoom-in-whitePerbesar
Meme Jokowi oleh HBO Asia. (Foto: twitter.com/HBOAsia)
Disurvei, pasti jawabannya gak nyambung. Alias ngawur. Kenapa? Jawaban tidak berbasis pada pengetahuan. Tapi bersumber dari bisikan tetangga. Apalagi kalau tetangganya orang partai. Makin bias. Atau info dari breaking news TV di sela-sela tayangan sinetron.
Sekedar sebuah analogi. Sopir itu sukses atau gagal, jangan tanyakan pada penumpang. Sebab, penumpang tahunya nyaman dan cepat sampai. Soal sopir melanggar lalu lintas, nabrak lampu merah, enggak peduli ganjil genap, bagi penumpang tidak ada ngaruhnya. Penumpang juga enggak tahu sopir itu punya SIM atau tidak. Setorannya ke majikan angkot lancar atau tersendat.
ADVERTISEMENT
Oli mobil sering diganti atau dibiarkan. Diparkir di tempat aman atau sembarangan. Rajin service atau tidak, penumpang masa bodoh. Pokoknya, bagi penumpang, jika cepat sampai dan selamat, itu sopir sukses. Soal mobil itu cepat rusak, mesinnya rontok, akan dicuri orang, tak pengaruhi penilaiannya. Ini mirip ketika tanya dan survei ke publik tentang Jokowi sukses atau gagal. Pasti gak nyambung.
Sukses gagalnya Jokowi, gak ada hubungannya dengan hasil survei. Sebab, survei itu persepsi. Dan persepsi dibentuk melalui pencitraan. Sangat subjektif.
Jokowi membagikan sepeda kepada seorang pelajar (Foto: Biro Pers Istana Kepresidenan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi membagikan sepeda kepada seorang pelajar (Foto: Biro Pers Istana Kepresidenan)
Konon kabarnya, di awal pemerintahannya, kira-kira satu bulan berjalan, Jokowi membuat survei. Survei ini untuk mengukur tingkat kinerja para menteri berbasis persepsi masyarakat. Hasilnya, banyak menteri yang nilainya jeblok. Terutama kementerian yang tidak populer, seperti kementerian keuangan, perdagangan, ESDM, kesehatan, dan sejumlah kementerian yang lain.
ADVERTISEMENT
Ya iyalah. Masyarakat kita hanya sedikit yang tahu tentang kementerian. Bahkan jumlah menteri kabinet saja, belum tentu mereka tahu. Bagaimana mungkin masyarakat bisa memberikan penilaian terhadap menteri yang mereka saja enggak kenal?
Kalau sukses gagalnya seorang menteri diukur menggunakan persepsi publik, ini super bahaya. Kenapa? Nanti semua menteri hanya akan membuat dan mengerjakan program yang populer. Mudah dilihat masyarakat. Menteri olahraga ikut main futsal, lalu bagi-bagi bola dan sepeda. Menteri BUMN ikut jaga tol. Menteri perdagangan ikut jualan tape di pasar dengan diskon besar-besaran.
Apalagi jika mau pakai kaos oblong dan sandal jepit. Menteri luar negeri ikut demo Palestina. Teriak Allahu Akbar, dengan bendera Palestina yang diikatkan di kepala. Menteri pertanian copot sepatu, lipat lengan baju, turun ke sawah, ikut memanen padi. Wah, dijamin makin kacau negara ini. Kalau ini dilakukan, hampir pasti para menteri itu dipecat. Kenapa? Karena dianggap berpotensi menyaingi popularitas presiden.
ADVERTISEMENT
Penilaian sukses tidaknya pejabat tinggi, termasuk menteri dan presiden, berbasis pada persepsi publik itu menyesatkan. Ngaco dan ngawur. Kecuali jika memang berorientasi politis, semata-mata untuk tujuan pilpres. Itu lain soal. Bab yang berbeda. Kendati ironis.
Dianggap menyesatkan dan ngawur, karena persepsi dibentuk oleh pencitraan. Sementara pemenuhan janji kampanye dan kinerja punya variabel dan indikatornya sendiri. Bukan indikator pencitraan, tapi indikator pencapaian janji kampanye dan kinerja yang terukur. Butuh para ahli untuk mengukur ini.
Jadi, jika Anda ingin tahu sukses atau gagalnya Jokowi, lihat janji kampanye dan capaian kinerja Jokowi di bidang hukum, ekonomi, politik, keamanan nasional, ketahanan energi dan pangan, pembangunan dan variabel sejenis dengan indikator-indikator terukur. Dari situlah pemerintah Jokowi bisa dinilai sukses atau gagalnya. Bukan berbasis pada persepsi publik dan hasil survei politik.
ADVERTISEMENT