Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kenapa TGB Menyeberang?
16 Juli 2018 9:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Koalisi oposisi belum kunjung sepakat. Nego masih buntu. Faktor penyebab utamanya, Gerindra tak mau cawapres dari PKS. Alasannya, akan kehilangan 15% kantong NU Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prabowo-Aher hanya 10,2%. Diyakini kalah. Prabowo-Habib Salim Al-Jufri. Tak jauh beda. Problem utamanya menurut Gerindra bukan di tokoh, tapi di PKS sebagai partai. Kalangan Nahdliyyin Jateng dan Jatim belum bisa terima kader PKS. Benarkah? Setidaknya, itulah kalkulasi Gerindra.
ADVERTISEMENT
Untuk apa nyapres kalau kalah? Sikap Gerindra rasional. Tapi, PKS juga tak kalah rasional ketika tawarkan kadernya jadi cawapres Prabowo. Sebab, dalam hitungan PKS, Prabowo lemah. Kecil kemungkinan bisa menang lawan Jokowi. Dari mana hitungannya? Survei. Elektabilitas Prabowo tak bergerak. Sudah klimaks.
Setidaknya, itu menurut hitungan sejumlah kader PKS. Sama-sama kalah, dan demi memelihara persekutuan dengan Gerindra, PKS tawarkan kadernya jadi cawapres. Fungsinya, untuk menaikkan elektoral partai. Gak apa-apa kalah, tapi suara PKS naik. Jumlah anggota DPR bertambah. Memperkuat posisi dan kontrol sebagai oposisi. Lah kok? Sudah niat kalah?
PAN? Identik dengan Muhammadiyah. Secara sosiologis, sulit mendapat suara di kalangan Nahdliyyin. Inilah yang jadi pertimbangan Prabowo juga tak memilih cawapres dari PAN.
ADVERTISEMENT
Belakangan, muncul nama AHY, putra mahkota Demokrat. Survei elektabilitasnya 12,3%. Kecil juga. PKS dan PAN tak menerima pasangan ini. Mesti cukup kursi, karena Gerindra 73 kursi dan Demokrat 61 kursi. Total 134 kursi. Namun, kalau tanpa dukungan PKS dan PAN, Prabowo akan kesulitan dapat suara umat. Buntu lagi.
Secara politis, langkah TGB masuk akal. Sebab, bergabung dengan Jokowi lebih jelas dan menjanjikan. Jika nasib baik, TGB bisa jadi cawapres alternatif Jokowi. Minimal ada jatah menteri jika Jokowi dua periode. Hitung-hitungan yang matang.
ADVERTISEMENT
Meski sebagian umat menganggap TGB kutu loncat, memanfaatkan dukungan umat untuk bernegosiasi dengan Jokowi, tapi langkah TGB ini taktis dan lebih strategis.
Kenapa ada yang menyebut TGB berkhianat? Karena masyarakat melihat TGB ulama. Selama ini berjuang di gerbong umat. Keliling Jawa dan Sumatra di momen pengajian. Itu khas wilayah umat. Tapi, masyarakat lupa dan mengabaikan identitas TGB sebagai politisi. Cara berpikir politisi, tentu berbeda dengan ulama. Ulama fokus pada nilai dan moralitas, politisi lebih terkonsentrasi pada peluang.
Bagi ulama, tempat pengajian itu area dakwah. Tempat untuk tabligh. Bagi politisi, majlis ta'lim itu kantong suara. Beda bukan?
TGB cerdas soal membaca peluang. Instingnya tajam sebagai politisi. Posisinya sebagai ulama yang memiliki gerbong umat bisa jadi daya tawar TGB terhadap Jokowi. Gayung bersambut. Jokowi mendapat amunisi tambahan.
ADVERTISEMENT
Sebagai politisi, TGB tak kalah cerdik dan lincah dari Muhaimin Iskandar dan Romuharmuzi. Pernah jadi anggota DPR dan dua periode sebagai Gubernur NTB, cukup jadi modal pengalaman bagi TGB untuk berkarir sebagai politisi. Malang melintangnya di PBB dan Demokrat telah mengasah kecerdasan politiknya.
Banyak pihak mengkaitkan manuver politik TGB ini dengan isu Newmont yang sedang dibidik KPK. Muncul dugaan sandera. TGB terlibat? Faktanya, TGB sebagai saksi dalam kasus Newmont. Bukan sebagai tersangka. Apakah bisa dinaikkan jadi tersangka? Jangan berandai-andai. Bisa terjebak ilusi.
ADVERTISEMENT
Kecuali jika oposisi menguat. Kompak mengusung tokoh yang dianggap mampu kalahkan Jokowi. Peta bisa berubah. Partai koalisi istana bisa berantakan. Para tokoh bisa berbalik arah. Bagaimana dengan TGB? Apakah akan balik lagi? Kita tunggu kelincahan TGB memainkan perannya di Pilpres 2019.
Jakarta, 16/7/2018