Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Sentralisasi dan Ancaman Bubarnya NKRI
15 Februari 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Tony Rosyid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia negara kepulauan. Bersedia untuk bersatu, karena adanya harapan akan keadilan. Negara yang dahulunya terdiri ratusan kerajaan dengan masing-masing wilayah kekuasaan, kini melebur jadi satu dan bergabung dalam bingkai NKRI.
ADVERTISEMENT
Di dalam NKRI, semua warga negara punya hak yang sama. Sama-sama bisa menikmati kesejahteraan yang dimiliki oleh Indonesia.
Faktanya, kekayaan itu terpusat di kota, terutama di ibu kota. Pusat menguasai segalanya. Kekayaan di berbagai wilayah Indonesia dikeruk dan dinikmati oleh segelintir pengusaha dan pejabat yang berada di lingkaran kekuasaan. Rakyat di daerah dibiarkan miskin dan jauh tertinggal dari pada mereka yang hidup di kota. Biang keroknya adalah kebijakan "sentralisasi".
Mari kita buka kembali sejarah tumbangnya Orde Baru tahun 1998. Kekuasaan Orde Baru tersentral di pusat. Selama 32 tahun, militer mengawal kebijakan sentralisasi ini. Siapa pun yang menentang, disikat.
Di era Orde Baru, masyarakat daerah miskin. Jauh dari harapan untuk bisa hidup layaknya orang-orang di kota, terutama Ibu Kota. Terjadilah urbanisasi besar-besar. Masyarakat desa hijrah ke kota. Kota besar, terutama Jakarta, sesak penduduk yang datang dari berbagai daerah. Tujuannya satu: Ingin sejahtera sebagaimana orang kota.
ADVERTISEMENT
Mereka ke kota, karena tak ada harapan untuk hidup sejahtera di daerah. Semua serba terbatas dan semua serba susah. Ini terjadi karena faktor adanya kebijakan sentralisasi.
Sentralisasi dianggap sebagai pertama, sumber otoritarianisme. Kedua, melanggengkan ketidakadilan. Bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru, sentralisasi mutlak menjadi anak haram yang tidak boleh ada lagi di negeri ini.
Datang Era Reformasi, desentralisasi diberlakukan. Rakyat euforia. Imajinasi keadilan mulai memberi harapan kepada mereka yang hidup di desa-desa.
Desentralisasi membuat rakyat yang hidup di daerah mulai ikut merasakan bagian dari kekayaan alam di sekitarnya. Minyak, gas, emas, perak, besi, tembaga, batubara, nikel, dan SDA (Sumber Daya Alam) lainnya yang begitu berlimpah di negeri ini mulai dinikmati oleh rakyat di daerah. Hasil SDA dibagi antara pusat dan daerah. Sama-sama menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Dengan kebijakan desentralisasi ini, pertumbuhan ekonomi di daerah mulai bisa dirasakan. Pembangunan infrastruktur daerah, terutama di Luar Pulau Jawa secara perlahan mulai bisa mengimbangi kota-kota besar di Pulau Jawa. Kemajuan mulai terlihat di berbagai daerah. Kota besar tak lagi menarik, urbanisasi melambat, karena daerah sudah mulai maju. Orang daerah betah hidup di daerahnya.
Hingga pada waktunya, datang Era Omnibus Law. Semua ditarik kembali ke pusat. Sentralisasi diberlakukan kembali. Kepentingan daerah mulai dikebiri. Pusat menjadi super power kembali.
Masa kekuasaan Jokowi 2014-2024 benar-benar kontra reformasi. Di era Jokowi, sentralisasi kembali berlaku. Semua perizinan terkait SDA, khususnya di sektor tambang diambil kembali oleh pusat. Tersisa tambang galian C. Proses izin diberikan ke daerah.
ADVERTISEMENT
Saat ini, nasib tambang galian C pun sedang terancam. DPR RI sedang rapat. UU terkait izin galian C kabarnya sedang direvisi. Arahnya akan disentralisi. Diambil kembali oleh pusat. Setelah ketuk palu di Senayan dan ditandatangani di Istana, maka tak ada lagi kewenangan daerah terkait perizinan. Semuanya diambil pusat. Daerah hanya akan menjadi penonton pesta pora di pusat.
Setelah itu, kepala daerah akan menjadi pemimpin-pemimpin yang kewenangannya semakin kecil. Dengan otoritas dan anggaran yang semakin mengecil, daerah akan kembali miskin. Semua dicaplok oleh "ketamakan" pusat.
Sentralisasi dalam jangka panjang akan kembali membuat daerah ketinggalan dan masyarakatnya miskin kembali. Harapan akan keadilan semakin jauh. Akankah dalam keadaan seperti ini, kelak akan lahir peristiwa 1998? Atau lebih parah dari itu. Daerah kecewa, tak tahan dengan kemiskinan, lalu masing-masing ingin merdeka dan memisahkan dari NKRI?
ADVERTISEMENT
Sentralisasi menjadi sumber petaka bagi harapan akan adanya keadilan. Stop! Harus dihentikan dan dilawan, agar NKRI kuat karena adanya distribusi keadilan yang dirasakan secara oleh seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 15 Februari 2025