Konten dari Pengguna

Evaluasi Penanganan Tindak Pidana Cyberporn

TORANDO EL EDWAN
Mahasiswa Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
14 Juni 2022 16:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari TORANDO EL EDWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pornografi, Sumber : Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pornografi, Sumber : Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai pornografi dewasa ini dapat dikonsumsi cukup dengan tersambung jaringan internet dengan menggunakan atau tanpa menggunakan jaringan pribadi virtual atau virtual private network (VPN). Adanya berbagai cara dan situs yang menyediakan layanan untuk mengakses pornografi adalah bentuk nyata lemahnya pencegahan terkait dengan konsumsi pornografi oleh pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kejahatan pornografi (cyberporn), mengkriminalisasi bagi siapa saja yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana termuat pada Pasal 4 UU Pornografi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pengaturan mengenai pornografi diatur pada Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Adapun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yaitu pada Pasal 27 ayat (1) yang mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.
Adanya setumpuk aturan mengenai berbagai larangan untuk menyediakan layanan pornografi sangat terkait dengan penegakan hukum dalam penangan tindak pidana pornografi. Adanya kecenderungan dalam penegakan hukum mengenai kasus pornografi yang menurut penulis hanya dilakukan dengan pandang bulu. Sebut saja Ketika terdapat seorang artis dengan reputasi yang baik dalam kacamata publik yang video syurnya tersebar di media sosial. Kasus ini lantas menjadi perhatian publik yang kemudian dilakukan penyidikan oleh kepolisian. Adapun kasus lain, yaitu sepasang kekasih yang menyudahi hubungan yang kemudian yang kekasih laki-laki tidak terima dan menyebar foto dan video syur sang mantan pacar ke grup atau media sosial. Pada kasus sepasang kekasih tersebut memang tidak menjadi perhatian publik, namun lagi lagi adanya penegakan hukum yang dapat dinyatakan pandang bulu menjadi persoalan hukum.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat 3 (tiga) isu mengenai evaluasi dalam penanganan tindak pidana pornografi di Indonesia. Pertama, Hukum positif Indonesia belum memadai dengan perkembangan kejahatan pornografi (cyberporn) di internet saat ini. Setidaknya terdapat beberapa alasan mengenai alasan-alasan perkembangan kejahatan pornografi (cyberporn) yang tidak di ikuti dengan perkembangan hukum, yaitu:
Kedua, kejahatan pornografi (cyberporn) merupakan kejahatan transnasional. Kejahatan pornografi (cyberporn) dikatakan sebagai kejahatan transnasional karena memenuhi kriteria yang ada di dalam Pasal 3 ayat 2 United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Palermo) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.Pada Pasal 3 ayat 2 tersebut berisi tentang unsur-unsur suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan transnasional, yaitu:
ADVERTISEMENT
Adanya penyediaan melalui situs yang tidak berasal dari luar Negara Indonesia pada internet yang dapat diakses menggunakan VPN merupakan bentuk kejahatan transnasional, sehingga dalam penegakannya bukan hanya terfokus dalam satu negara.
Ketiga, adanya hambatan problematik pada aturan hukum, sarana prasarana dan aparatur penegak hukum. Tidak terjeratnya pemilik situs pornografi di media internet melalui hukum, membuat peredaran konten pornografi tidak akan berhenti. Hal ini dikarenakan dalam UU ITE tidak secara rinci menjerat pemilik situs pornografi di media internet. Adapun hambatan mengenai sarana dan prasarana yang digunakan aparatur penegak hukum masih belum memadai, misalnya yaitu pemblokiran situs penyedia pornografi yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang telah dilakukan secara masif namun masih dapat diakses oleh pengguna menggunakan VPN.
ADVERTISEMENT
Kemudian, aparatur penegak hukum yaitu penyidik yang masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus cyberporn. Kejahatan pornografi (cyberporn) masuk dalam kategori kejahatan cyber, yaitu lebih bersifat maya dan nonfisik. Hal ini membuat pembuktian menyulitkan bagi para penyidik. Selain itu pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cyberporn masih sangat terbatas. Belum pernahnya menjalani pendidikan khusus untuk penyidikan terhadap kasus cybercrime menjadi kelemahan dari kemampuan para penyidik. Hal ini juga menimbulkan problematic terkait dengan penentuan alat bukti.
Penulis menilai, Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas dan lengkap mengenai pemberian batasan pornografi, khususnya dalam hal pembahasaan atau redaksionalnya, sehingga aparatur penegak hukum akan lebih memiliki kekuatan hukum untuk bertindak. Hal tersebut kemudian dielaborasi dengan evaluasi yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum baik pada institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Akhir kata pornografi merupakan hal yang dapat merusak kecerdasan, ahlak, dan moral masyarakat, upaya maksimal perlu ditegakkan oleh penegak hukum agar terciptanya kecerdasan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT