Menggugat UU Perkawinan, Larangan Menikah Beda Agama

TORANDO EL EDWAN
Mahasiswa Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Februari 2022 15:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari TORANDO EL EDWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan, Sumber: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan, Sumber: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cinta dihalangi, berujung uji materi, kalimat yang menggambarkan kisah seorang bernama Ramos Petege warga negara Indonesia beragama Katolik yang ingin menikahi kekasihnya yang beragama Islam. Jalinan asmara antara Ramos dan kekasihnya kandas, karena kedua belah pihak memiliki keyakinan agama yang berbeda. Alasannya, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama.
ADVERTISEMENT
Ramos kemudian mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Perkawinan yang tercatat dengan nomor register 17/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022 pada 4 Februari 2022. Ramos merasa terdapat ketidakpastian perihal pelarangan pernikahan beda agama dan merasa hak konstitusional sebagai warga negara tidak dipenuhi. Ramos berpendapat, Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
menurutnya UU Perkawinan tidak lagi relevan dalam mengakomodasi kebutuhan penegakan hukum hak asasi manusia (HAM) dalam hal memeluk agama, menjamin kepastian hukum, kesamaan kedudukan dimata hukum, dan hak untuk membentuk keluarga. Lantas, apakah ketentuan dari UU Perkawinan melanggar hak-hak konstitusional warga negara?
ADVERTISEMENT
Bolehkah Pernikahan Beda Agama di Indonesia?
Sebelum lebih jauh mendalami pelanggaran hak-hak konstitusional terhadap pernikahan beda agama, mari kita pahami pengaturan pernikahan beda agama di Indonesia.
Pernikahan beda agama secara hukum positif di Indonesia tidak dengan spesifik melarang. Selama ini makna larangan ada pada tafsir Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang mengatur bahwa pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing agama. Pada pasal ini yang dimaksud “masing-masing” adalah tiap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan. Sementara, Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku. Sehingga tiap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan harus berada pada agama yang sama.
Kadati demikian, terdapat peluang dalam pencatatan administrasi di Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang melakukan pernikahan beda agama karena adanya putusan Mahkamah Agung (MA) No 1400 K/ Pdt/1986 tentang pernikahan beda agama. Pencatatan perkawinan beda agama bisa dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Menurut Pasal 35 pasangan wajib terlebih dahulu melaporkan pernikahan beda agama yang telah dilakukan yang kemudian akan dibuatkan penetapan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Namun, legalitas pernikahan beda agama masih menjadi topik yang menimbulkan pro dan kontra. Menurut penulis sendiri, pernikahan beda agama sah secara normatif-administratif, karena dapat dilakukan dengan penetapan pengadilan.
Hak Konstitusional Pernikahan Beda Agama
Pada kasus Ramos yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan kemudian mengajukan uji materi ke MK bukan pertama kali dilakukan. Pada tahun 2014, empat warga negara atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi mengajukan uji materi terhadap UU Perkawinan persoalan nikah beda agama. MK pun menolak uji materi tersebut pada putusan nomor 68/PUU-XII/2014 dengan berbagai pertimbangan. Menurut majelis hakim yang diketuai oleh Arief Hidayat MK Pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pernikahan, ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Majelis juga berpendapat, suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Disisi lain bila melakukan pendekatan melalui hukum HAM larangan menikah beda agama merupakan hal yang diskriminatif karena tidak sesuai dengan prinsip dasar HAM yang membatasi agama warga negara. Kebebasan memeluk agama telah dijamin pada Pasal 29 UUD 1945. Sehingga secara konstitusional pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan namun terhalang oleh adanya larangan pernikahan beda agama cenderung dirugikan.
Meskipun telah ada putusan MA yang memperbolehkan menikah beda agama, diharapkan untuk kedepan terdapat ketegasan secara normatif dalam rumusan pasal untuk melegitimasi dalam hal memperbolehkan atau melarang pernikahan yang berbeda agama, sehingga tidak menimbulkan perbedaan interpretasi dan kekosongan hukum.