Konten dari Pengguna

Geger Pelantikan Pejabat Sleman: Fakta dan Propaganda

Torul Doto Paryoto
Guru SD Kalasan. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
9 Juni 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Torul Doto Paryoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto: bkpp.slemankab.go.id
zoom-in-whitePerbesar
foto: bkpp.slemankab.go.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jacky Anthonius Latuhihin, dalam tulisannya yang terbaru, "Gagal Paham Konstitusi dan Hak Demokrasi Penulis 'Membedah Tuduhan di Pelantikan Pejabat Sleman' #STOPPEMBODOHANMASYARAKAT", adalah sebuah mahakarya kesalahan logika dan propaganda berdalih hukum yang bertujuan membuat kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang pesulap yang mencoba menipu penonton dengan trik yang gagal—itulah yang Jacky lakukan. Dalam usahanya untuk memaksakan narasi, Jacky justru membongkar kesalahannya sendiri. Tidak perlu kecerdasan berlebih untuk melihat kesalahan-kesalahan dalam tuduhannya yang tampak gamblang dengan sendirinya di hadapan pembaca.
Seperti seorang ilusionis yang memainkan trik, Jacky mencoba menciptakan kebenaran dengan memilah-milih fakta yang sesuai dengan keinginannya, mengaburkan keseluruhan fakta dengan serangkaian fakta yang ia pilih, dan penafsiran hukum yang keliru. Mungkin, bagi seorang Jacky, menyembunyikan kebenaran di balik penjelasan yang tidak relevan dan retorika akan bisa menggantikan kebenaran.
Artikel ini bertujuan untuk meluruskan kekeliruan itu dan menyajikan kebenaran berdasarkan data dan aturan yang sebenarnya.
Kepatuhan terhadap Undang-Undang
Mari kita mulai dengan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang konon katanya telah dilanggar. Jacky, ini adalah inti dari argumen Anda, bukan?
ADVERTISEMENT
Pasal itu isinya berbunyi, "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri."
Dua hal penting di situ: larangan dan pengecualian. Tapi sayang, Jacky hanya fokus pada larangan. Seolah-olah pengecualian itu hanya sekadar hiasan kata.
Lalu, apakah pelantikan Pejabat Sleman pada 22 Mei 2024 melanggar aturan itu? Tentu saja, jika tidak ada persetujuan tertulis dari Menteri. Namun, persetujuan itu ada dan telah diperoleh sebelumnya. Jadi, klaim bahwa ini melanggar aturan hukum adalah kekeliruan yang mencolok.
100.2.2.6/3097/OTDA tanggal 29 April 2024
Surat persetujuan Menteri Dalam Negeri itu datang dengan nomor surat 100.2.2.6/3097/OTDA tanggal 29 April 2024 tentang Persetujuan Pengangkatan dan Pelantikan Pejabat Administrator, Pejabat Pengawas, dan Kepala Sekolah di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.
100.2.2.6/2341/SJ tangal 17 Mei 2024
Kemudian disusul dua surat lain pada 17 Mei 2024 bernomor surat 100.2.2.6/2341/SJ tentang Persetujuan Pengangkatan dan Pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman serta surat pada tanggal yang sama dengan nomor 100.2.2.6/2333/SJ tentang Persetujuan Pengangkatan dan Pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.
100.2.2.6/2333/SJ tangal 17 Mei 2024
Ketiga surat Mendagri itu memberikan izin untuk pelantikan pejabat di Sleman. Persetujuan yang diberikan sebelum pelantikan dilakukan itu berarti menandakan bahwa pelantikan itu adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah Jacky berpikir bahwa dengan mengabaikan fakta ini akan membuat argumennya lebih kuat? Ironis sekali.
Inilah yang saya katakan sebelumnya tentang bagaimana kebenaran bisa dimanipulasi dengan memilih fakta yang sesuai selera dan keinginannya. Ketiga surat penting itu disembunyikan, diabaikan, dan sama sekali tidak disinggung. Mungkin dalam keseharian Jacky, memilih dan menggunakan fakta sesuai keinginan adalah hal biasa. Tapi ini bukan dunia fiksi ala film Inception, di mana realitas bisa ditekuk-tekuk sesuai kehendak. Di dunia nyata, fakta harus dilihat secara utuh, bukan dipotong-potong dan hanya diambil sebagian.
Mengapa saya tidak membahas pelantikan pada 22 Maret? Karena pelantikan itu sudah dibatalkan. Semua keputusan pelantikan saat itu sudah batal dengan sendirinya. Sudah tidak lagi relevan lagi membahasnya. Ini sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2014: Pasal 53 ayat (1). Jika masih dipertanyakan, sudah jelas saya bahas secara terang pada tulisan pertama.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pelantikan ini, Mendagri adalah penjaga tata kelola pemerintahan yang memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan tertulis untuk penggantian pejabat dalam periode kritis menjelang Pilkada. Persetujuan tertulis dari Mendagri bukanlah formalitas semata; ini adalah langkah hukum penting untuk memastikan bahwa penggantian pejabat dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada.
Jacky, Anda tampaknya gagal memahami bahwa persetujuan tertulis dari Mendagri adalah langkah proaktif, bukan retroaktif. Surat persetujuan nomor 100.2.2.6/2333/SJ dan 100.2.2.6/2341/SJ yang dikeluarkan pada 17 Mei 2024 adalah bukti bahwa tindakan Pemkab Sleman dilakukan dengan mematuhi prosedur hukum yang ada. Namun, sekali lagi, Jacky memilih untuk mengabaikan fakta ini dan terus menuduh pelantikan di Pemkab Sleman sebagai tindakan yang melanggar hukum.
Lebih jauh lagi, Jacky tampaknya tidak menyadari bahwa surat persetujuan ini diberikan setelah proses verifikasi yang ketat oleh KASN. Ya, KASN yang, dalam bayangan Jacky, mungkin hanya seonggok formalitas tanpa fungsi. Padahal, rekomendasi dari KASN adalah bagian penting dari proses ini, pilar penyangga keadilan dalam birokrasi, memastikan bahwa setiap calon pejabat telah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Mengabaikan peran KASN dalam proses ini menunjukkan kurangnya pemahaman Jacky tentang prosedur hukum yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Proses verifikasi yang dilakukan oleh KASN mencakup evaluasi menyeluruh terhadap kompetensi, integritas, dan rekam jejak setiap calon pejabat. Ini bukan pekerjaan main-main, bukan pula sekadar mencoret dan menyetujui. Setiap persetujuan yang diberikan bukanlah keputusan sembarangan, melainkan hasil dari analisis yang mendalam dan objektif. KASN memastikan semua aturan terkait hal ini berjalan: UU No. 5 Tahun 2014: Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 ayat (1); PP No. 11 Tahun 2017: Pasal 114 ayat (1), Pasal 115 ayat (1), Pasal 117; Perpres No. 81 Tahun 2010: Pasal 3 ayat (1); Peraturan KASN No. 1 Tahun 2019: Pasal 2 ayat (1), Pasal 6.
Kegagalan untuk memahami dan menghargai proses ini tidak hanya menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme hukum, tetapi juga meremehkan usaha yang dilakukan untuk menjaga kualitas dan integritas aparatur sipil negara. Jadi, tuduhan bahwa pelantikan di Pemkab Sleman melanggar hukum adalah tidak berdasar dan hanya mencerminkan ketidaktahuan akan prosedur yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, jelaslah bahwa proses pelantikan pejabat di Kabupaten Sleman tidak dilakukan secara sembarangan. Setiap langkah dalam proses ini dilakukan dengan mematuhi aturan yang ada, memastikan bahwa tindakan ini sah dan legal. Verifikasi oleh KASN adalah langkah pertama dalam memastikan bahwa setiap calon pejabat memenuhi syarat dan kriteria yang ditetapkan. Seolah-olah, Jacky lupa bahwa tanpa proses ini, birokrasi kita hanya akan menjadi pasar bebas bagi nepotisme dan kolusi.
Setelah verifikasi oleh KASN, Pemkab Sleman mengajukan permohonan persetujuan tertulis kepada Mendagri. Permohonan ini mencakup nama-nama calon pejabat, laporan lengkap mengenai proses seleksi, dan hasil verifikasi yang telah dilakukan. Ini memastikan bahwa setiap langkah dalam proses pelantikan dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas. Proses yang seharusnya dipuji karena menjaga marwah hukum dan tata kelola yang baik, malah diabaikan begitu saja oleh Jacky.
ADVERTISEMENT
Surat persetujuan nomor 100.2.2.6/2333/SJ dan 100.2.2.6/2341/SJ yang dikeluarkan oleh Mendagri adalah bukti bahwa penggantian pejabat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tuduhan Anda bahwa pelantikan ini melanggar hukum adalah tidak berdasar. Setiap langkah dalam proses ini telah mematuhi ketentuan hukum yang ada, dan persetujuan tertulis dari Mendagri diberikan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Namun, Jacky, tampaknya lebih memilih untuk mengabaikan fakta ini, barangkali berharap bahwa dengan menutup mata terhadap realitas, ilusi yang ia ciptakan akan menjadi kebenaran yang dipercaya orang.
Narasi Hierarki Hukum yang Tak Relevan
Jacky, dalam tulisannya, menyajikan narasi berbelit tentang hierarki perundang-undangan bak seorang mahasiswa yang tengah belajar tata negara. Menyebutkan berbagai tingkatan undang-undang dan regulasi dengan gaya akademis seperti menulis makalah kuliah. Saya cukup geli membacanya.
ADVERTISEMENT
Menarik sekali melihat bagaimana Jacky, dengan penuh keyakinan, mencoba menjelaskan bahwa hierarki ini mendukung argumennya. Namun, sayangnya, itu semua tidak relevan.
Maksud saya, bukan hierarki perundang-undangan yang tidak relevan. Memahami hierarki perundang-undangan memang penting dalam sistem hukum kita. Undang-Undang Dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri, semuanya memiliki peran dan posisi masing-masing, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011: Pasal 7 ayat (1) dan UU No. 15 Tahun 2019: Pasal 4. Tetapi, apakah benar bahwa hierarki ini mendukung klaim bahwa pelantikan pejabat di Kabupaten Sleman melanggar hukum?
Fokus kita sebenarnya adalah Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Surat Persetujuan Tertulis dari Mendagri. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah ada persetujuan tertulis dari Kemendagri? Mengapa malah membahas panjang lebar tentang hierarki perundang-undangan yang sebenarnya tidak relevan dengan kasus ini?
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, Jacky tampaknya lupa atau salah mengerti bahwa surat dari Mendagri bukanlah sekadar formalitas. Surat menjadi bagian dari administrasi pemerintahan yang berkekuatan hukum sebagaimana dalam UU No. 30 Tahun 2014: Pasal 14 ayat (1) dan (2). Ini adalah dokumen resmi yang dikeluarkan dengan fungsi otorisasi dan memiliki kekuatan hukum mengikat untuk tindakan tertentu, dalam hal ini pelantikan pejabat. Surat ini menjadi landasan hukum untuk memastikan bahwa penggantian pejabat dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, bukan sekadar hiasan hierarki perundang-undangan belaka.
Narasi tentang hierarki perundang-undangan yang disajikan Jacky mungkin terlihat mengesankan di atas kertas, tetapi tidak memiliki relevansi nyata dalam konteks ini. Yang penting adalah bahwa semua prosedur telah diikuti dan tindakan Pemkab Sleman adalah sah sesuai dengan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Jacky juga tampaknya mengalami kesulitan dalam menafsirkan Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini, sejelas langit biru di musim kemarau, menyatakan bahwa penggantian pejabat dalam 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon bisa dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Mendagri. Persetujuan yang tidak misterius, diberikan pada tanggal 17 Mei 2024, sebelum pelantikan dilakukan. Tindakan Pemkab Sleman jelas sudah sesuai dengan ketentuan hukum.
Namun, Jacky, dalam beberapa tulisannya yang lalu, bersikeras soal larangan pergantian pejabat yang tertera dalam pasal itu, hanya fokus pada poin tersebut. Sungguh suatu aksi yang mengabaikan fakta bahwa dengan persetujuan tertulis—yang menjadi bagian integral dari pasal itu—pergantian pejabat adalah sah untuk dilakukan. Seperti membaca novel detektif, tetapi lupa membaca bagian pengungkap pelaku.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan terakhir juga panjang lebar membicarakan surat mendagri yang dalam pandangannya, menunjukkan kurangnya pemahaman tentang prosedur hukum dan peran Mendagri pada konteks ini.
Jacky juga menggunakan istilah-istilah bombastis seperti "BEGAL" dan "PEMBODOHAN MASYARAKAT" untuk menarik perhatian, tetapi tanpa dasar hukum yang benar, semuanya hanyalah retorika kosong. Tuduhan bahwa tindakan Pemkab Sleman melanggar hukum adalah tidak berdasar dan menunjukkan kurangnya pemahaman tentang prosedur hukum yang sebenarnya. Yang mengherankan, kok bisa Jacky sebagai ahli hukum lupa bahwa tindakannya itu bisa bekonsekuensi pada pelanggaran UU No. 19 Tahun 2016: Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 45 ayat (1); KUHP: Pasal 310 ayat (1), Pasal 311 ayat (1); dan UU No. 40 Tahun 1999: Pasal 5 ayat (1).
ADVERTISEMENT
Komparasi dengan Peristiwa Serupa
Untuk memahami lebih dalam konteks pelantikan pejabat di Kabupaten Sleman, penting juga untuk melihat kasus serupa di daerah lain. Dalam kasus hukum, namanya yurisprudensi, atau sederhananya ya studi kasus. Dalam hal ini, banyak daerah lain yang juga melakukan penggantian pejabat dengan persetujuan tertulis dari Mendagri, menunjukkan bahwa tindakan ini adalah praktik yang umum dan sah.
Misalnya, di Kabupaten Gunungkidul, Bupati Sunaryanta melantik 72 pejabat pada tanggal 22 Maret 2024. Pelantikan ini dilakukan berdasarkan SK Bupati No. 51/UP/Kep.D/D.4 dan SK No. 52/Up/Kep.D/D.4 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, Jabatan Administrator, dan Jabatan Pengawas.
Namun, pelantikan tersebut dibatalkan setelah terbitnya Surat Edaran (SE) dari Kementerian Dalam Negeri No. 100.2.1.3/1575/SJ pada 29 Maret 2024, yang mengatur kewenangan kepala daerah pada daerah yang melaksanakan Pilkada dalam aspek kepegawaian. Setelah konsultasi dengan Kemendagri, Pemkab Gunungkidul mengajukan izin penggantian pejabat dan melantik ulang pejabat tersebut pada 26 April 2024 setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menunjukkan bahwa pelantikan pejabat dengan persetujuan tertulis dari Mendagri adalah praktik umum yang sah dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tuduhan bahwa tindakan Pemkab Sleman melanggar hukum adalah tidak berdasar dan menunjukkan kurangnya pemahaman tentang prosedur hukum yang sebenarnya.
Tidak hanya di Sleman dan Gunungkidul, tetapi juga di Kabupaten Lombok Tengah, Gresik, Lamongan, Kota Palu, Kota Samarinda, Musi Rawas, Bangka Barat, Kota Pematangsiantar, Lombok Utara, Bandung, Sijunjung, dan puluhan kabupaten lainnya. Kesemuanya juga telah melakukan pelantikan ulang, Lalu jika peristiwa itu melanggar hukum? Apakah mereka semua juga melanggar hukum?
Dengan membandingkan kasus Sleman dengan daerah lain, kita dapat melihat bahwa tindakan Pemkab Sleman adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tuduhan bahwa tindakan ini melanggar hukum adalah tidak berdasar dan menunjukkan kurangnya pemahaman tentang prosedur hukum yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan pula pada UU No. 23 Tahun 2014: Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2), penggunaan yurisprudensi atau studi kasus dari daerah lain adalah sah dan diterima sebagai referensi hukum. Ini membantu dalam memahami konteks pelantikan pejabat dan memastikan bahwa tindakan yang diambil adalah sesuai dengan hukum yang berlaku dan praktik yang umum di Indonesia.
Justru pelantikan pejabat di Kabupaten Sleman adalah contoh kepatuhan terhadap hukum dan transparansi dalam pemerintahan. Setiap langkah dalam proses ini dilakukan dengan mematuhi aturan yang ada, memastikan bahwa tindakan ini sah dan legal.
Argumentum ad hominem
Terakhir yang saya ingin bahas adalah tuduhan Jacky bahwa saya adalah oknum pendukung petahana. Ini sebuah kesalahan besar. Hampir sama seperti ketika seorang pejabat negara mengatakan pengkritik adalah buzzer. Tuduhan semacam ini terlalu simplistik dan menunjukkan ketidakmampuannya membedakan antara kritik yang konstruktif dan fitnah.
ADVERTISEMENT
Tudingan Jacky tidak lebih dari sekadar bualan tanpa dasar, yang digunakan untuk menyerang kredibilitas saya dengan harapan mengalihkan perhatian dari ketidakakuratan argumennya. Jacky, dengan beberapa tuduhannya, tampaknya senang bermain dengan api fitnah, mungkin berharap asapnya cukup tebal untuk menutupi kepandirannya.
Kenyataannya, saya tidak ada kaitannya dengan pelantikan ini. Saya juga bukan ASN yang sedang dinaikkan jabatannya pada pelantikan itu. Intinya, saya tidak berkepentingan terhadap peristiwa itu, apalagi sebagai pendukung pihak tertentu.
Saya hanya seorang abdi negara yang merasa perlu berbicara saat melihat ketidakakuratan logika yang digunakan untuk menciptakan kekacauan. Kritik terhadap pemerintah tentu boleh, bahkan harus dilakukan. Namun, terus-menerus menyebarkan propaganda bahwa pemerintah melanggar aturan tanpa dasar yang kuat, tentu harus diluruskan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, tindakan saya didorong oleh keinginan untuk mengungkap kebenaran dan meluruskan logika yang bengkok. Saya berdiri di sini bukan untuk membela satu pihak, tetapi untuk membela kebenaran dan integritas.
Jacky, dalam usahanya menggiring opini publik, menuduh saya sebagai pendukung pihak tertentu, justru mengabaikan fakta bahwa dirinya adalah bagian dari tim kampanye salah satu kontestan bupati yang sedang berpropaganda dengan dalih hukum.
Sebelum menuduh saya, Jacky seharusnya bercermin. Dalam tulisannya di situs Metro Times pada 8 Januari 2023, justru Jacky lah yang merupakan pendukung figur calon bupati yang ia kampanyekan sejak sosok itu masih berstatus ASN. Ada pelanggaran etika yang jelas dan terbukti yang bahkan sudah mendapatkan peringatan dari KASN.
Saya malu ketika itu. Melihat ASN terang-terangan berkampanye, dengan sadar melanggar sumpah netralitas Korpri demi hasrat pribadi, dan menggalang dukungan di antara abdi negara untuk melawan Bupati dan Wakil Bupati.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, dalam tatanan demokrasi elektoral yang kita anut, Bupati dan Wakil Bupati adalah representasi nyata dari suara rakyat. Mereka dipilih melalui proses langsung, sebuah manifestasi dari aspirasi masyarakat yang diartikulasikan dalam bilik suara. Mereka bukan sekadar pejabat, tetapi simbol dari kepercayaan dan harapan yang diletakkan di pundak mereka oleh warga yang memilih.
Sementara itu, kita, sebagai Aparatur Sipil Negara, adalah roda-roda yang menggerakkan mesin pemerintahan. Kita ditugaskan oleh negara, bukan untuk bermanuver dan berpolitik, tetapi untuk memastikan bahwa amanat rakyat yang dipercayakan kepada Bupati dan Wakil Bupati dapat terealisasi. Di bawah kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat, kita beroperasi dengan setia menjaga prinsip-prinsip pelayanan publik dan integritas birokrasi.
Kita memegang sumpah janji ASN. Sumpah yang diucapkannya dengan penuh haru, di hadapan bendera merah putih, dan disaksikan oleh langit yang luas. Sumpah itu bukan sekadar rangkaian kata, tetapi janji suci kepada negeri, kepada rakyat, kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Apakah Jacky lupa bahwa kontestan figur ASN yang ia dukung telah melanggar etika dan janji suci? Setidaknya ada 10 peraturan yang mungkin dilanggar: UU No. 5 Tahun 2014: Pasal 2, Pasal 9 ayat (2); UU No. 7 Tahun 2017: Pasal 282; UU No. 42 Tahun 2004: Pasal 4; UU No. 53 Tahun 2010: Pasal 4, Pasal 10; UU No. 10 Tahun 2016: Pasal 71 ayat (1); PP No. 42 Tahun 2004: Pasal 4; PP No. 53 Tahun 2010: Pasal 4, Pasal 10. Atau mungkin, dalam ketergesaan menuduh orang lain, Jacky sengaja melupakan kenyataan ini?
Salah satu tuduhan utama Jacky pada tulisan seblumnya adalah bahwa tindakan Pemkab Sleman mengancam hak demokrasi dan netralitas birokrasi. Namun, fakta bahwa figur junjungannya lah yang tidak berkomitmen untuk mematuhi hukum dan menjaga netralitas birokrasi. Tidak ada yang lebih memalukan daripada melihat seseorang mencoba tampak seperti pakar dengan menutupi kekurangannya sendiri. Dan itulah yang akan kita lihat di sini.
ADVERTISEMENT
Netralitas birokrasi adalah prinsip penting dalam pemerintahan yang baik. Bagaimana bisa membawa Sleman makin maju kalau prinsip dasar seperti ini saja dinodai. Pengen berpolitik boleh, tapi tanggalkan dulu baju Korpri. Sayangnya sampai akhir pun itu tidak dilakukan. Memalukan. Atau setidaknya, bagi saya, itu mengerikan.