Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Ronggowarsito (2): Sawang Sinawang
23 Juli 2021 11:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Oleh: Toto TIS Suparto
ADVERTISEMENT
Seorang teman bilang begini: "Hidup yang nyaman adalah ketika kita mengarungi kehidupan dengan mudah, lancar dan sukses".
ADVERTISEMENT
Sukses? Tolok ukur sukses bagi teman saya tadi dan kita bisa saja berbeda. Masing-masing punya pandangan yang beragam tentang kesuksesan itu. Wajar saja bilamana ada orang yang sesungguhnya sudah sukses, tetapi ia menganggap dirinya "belum apa-apa". Masyarakat Jawa punya istilah sawang sinawang.
Makna sawang sinawang itu, kita melihat orang lain telah mencapai sukses, ternyata kenyataannya tidaklah sesukses sebagaimana anggapan kita. Mungkin kita melihat tetangga bergelimang harta, ternyata kemudian baru ketahuan bahwa harta itu merupakan hasil korupsi. Mungkin kita melihat tetangga hidup harmonis, ternyata di dalam rumah malah sering bertengkar. Malah tak jarang kelihatan suami istri harmonis, ternyata masing-asing punya selingkuhan. Begitulah hidup, sawang sinawang.
Meski ada keragaman pandangan tentang sukses, maupun kebiasaan sawang sinawang, pada dasarnya seseorang dikatakan sukses bilamana yang diinginkan sudah dicapai. Sebagai orang tua, bakal dibilang sukses jika mampu mengentaskan anak-anak menjadi orang berhasil. Kemudian bisa saja menjadi perdebatan lagi, apa tolok ukur "berhasil" itu? Lagi-lagi memang beragam, tetapi tolok ukur itu di antaranya sejauh mana seseorang telah menggapai kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Definisi sejahtera bisa mencakup sejahtera lahir dan batin. Namun banyak di antara kita berhenti pada sejahtera lahir yang ditandai dengan materi. Anggapan umum muncul, kita sejahtera bila kita punya banyak uang! Apa mau dikata, kenyataannya uang bisa membuat kita memperoleh segenap keinginan.
Misalnya begini, kita ingin sekali punya dua mobil di rumah. Lantaran punya banyak uang, maka keinginan itu mudah saja dipenuhi. Betapa sejahteranya mereka yang punya uang ini. Walau uang bukanlah segala-galanya, tetapi uang menjadi penting guna menopang hidup kita.
Atas dasar manfaatnya, orang tak pernah berhenti memburu uang. Ada yang memakai prinsip asal cukup. Tetapi ini cukup dalam arti sebenarnya. Sebab, "asal cukup" ini kerap juga di-plesetkan. Misalnya, "Ah saya sih yang penting punya uang cukup. Kalau ingin mobil, cukup untuk membelinya. Ingin rumah lagi, uangnya juga cukup." Wah ini sih bukan cukup dalam arti sesungguhnya. Lantas? Sepanjang yang kita ketahui, cukup itu dapat memenuhi kebutuhan, sudah memadai atau tidak kekurangan.
ADVERTISEMENT
Jadi, kita bisa menggunakan pengertian "asal cukup" di sini sebagai "memadai untuk memenuhi segenap kebutuhan". Namun asal cukup ini belum bisa menggapai segenap keinginan. Patut dibedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan memiliki batas, sementara keinginan tak pernah berbatas. Misalnya begini, saya butuh mobil agar tidak kepanasan maupun kehujanan. Keinginan beda lagi. Saya ingin mobil nyaman yang bisa mengangkat gengsi diri. Kebutuhan lebih kepada fungsinya, sementara keinginan diperbudak simbolisasi.
Orang-orang yang mendahulukan "keinginan" adalah mereka yang berprinsip raup uang sebanyak-banyaknya apa pun caranya. Alasan untuk memiliki uang itu menimbulkan perilaku nekat, dan gila-gilaan. Nah, inilah "pembuka" dari saya untuk menggambarkan bahwa sekarang ini kita berada di zaman gila.
Apa itu zaman gila? Zaman edan? Ronggowarsito punya gambaran sederhana tentang zaman edan ini. Kita akan telaah pada bagian tiga. SALAM SEHAT SELALU. JAGA DIRI! (*/Askara)