Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Ronggowarsito (3): Zaman Gemblung
31 Juli 2021 11:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Toto TIS Suparto
Di tengah kecemasan pandemi masih saja ada orang berbuat immoral. Bukan amoral? Saya mengikuti yang pakai istilah immoral. Ini mengacu kepada Concise Oxford Dictionary. Immoral berarti "bertentangan dengan moralitas yang baik" atau "secara moral buruk", bisa juga "tidak etis" ( K.Bertens 2007: 7). Sementara amoral yang sering digunakan punya arti " tidak berhubungan dengan konteks moral", atau "di luar suasana etis", dan "non-moral". Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), amoral diartikan sebagai "tidak bermoral, tidak berakhlak".
ADVERTISEMENT
Jadi kembali ke awal, orang-orang manakah yang immoral saat pandemi? Contohnya, ada yang memalsukan sertifikat vaksin, ada yang tak mau vaksin tetapi minta sertifikat vaksin untuk meminta bansos, menimbun tabung oksigen, menimbun obat-obatan, dan lelaki pun pakai cadar biar lolos pemeriksaan Covid 19.
Benar-benar nekat, bahkan edan. Ketika kegilaan menjadi-jadi maka kita ini berada di zaman gila, zaman edan, atau disebut pula zaman gemblung. Ada yang bilang zaman gemblung merupakan zaman di mana ketidakwarasan menjadi hal biasa. Segenap aspek kehidupan diwarnai ketidakwarasan itu. Celakanya, kita yang waras acap tak kelihatan lantaran lebih banyak yang tidak waras. Lebih celaka lagi, kita yang waras malah ikut-ikutan berbuat tak waras. Katanya takut, kalau tidak ikut gila maka tidak akan kebagian.
ADVERTISEMENT
Lihatlah, realitas politik Indonesia memasuki zaman gemblung. Pertandanya: para politisi berselisih soal uang komisi suatu proyek yang di dalamnya ada dugaan korupsi, atau pula para politisi penjarah saling lempar fitnah. Guna menutupi keburukannya, sang politisi menyangka koleganya berhalusinasi, sementara yang disangka berhalusinasi balik menuduh koleganya melakukan konspirasi.
Di zaman gemblung elite politik suka bikin gaduh dengan menyodorkan calon pemegang singgasana presiden jauh-jauh hari, padahal di tengah kegaduhan itu rakyat tengah menjerit atas kehilangan penghasilan akibat pandemi. Betapa tak malu para pemimpin atau calon pemimpin itu, mereka ribut berebut kursi presiden sementara rakyat dibiarkan nelangsa berebut sebutir nasi.
Lihat pula, betapa gemblungnya politik di negeri ini manakala elite politik mengabaikan ajining dhiri ana lathi (harga diri terletak pada ucapannya). Elite merelakan harga dirinya diinjak-injak khalayak lantaran ucapannya menyakiti publik. Elite itu tidak berpikir lagi apakah ucapannya itu bisa mendatangkan persoalan bagi diri sendiri atau merugikan dan menyakitkan orang lain? Ucapan yang menyakitkan publik, seumpama, tatkala khalayak kesulitan mencari rumah sakit untuk menyembuhkan Covid 19, eh ada saja politisi minta rumah sakit khusus bagi mereka. Gemblung, jan gemblung!
ADVERTISEMENT
Bisa jadi ada yang bilang, kegilaan bukan sekadar di dunia politik. Ya, saya sepakat soal ini. Kalau kita perhatikan, kegilaan sudah merambah segenap aspek kehidupan. Kita tak bisa menutup mata bahwa moral sebagian anak muda juga hancur berantakan. Tindak-tanduknya sudah mengabaikan aturan moral. Coba bayangkan, betapa gilanya ketika empat pelajar SMP ketahuan pesta seks. Sama gemblung-nya ketika anak SD sudah melakukan seks bebas. Atau kita baca berita ini: lima anak SD ditangkap lantaran memperkosa. Yang tua juga tak kalah gilanya. Misalnya, pasangan suami istri di satu kota rela ditonton orang ramai saat berhubungan intim asal penonton bayar mahal. Live sex berbayar!
Kegilaan juga terlihat dalam kehidupan beberapa artis di negeri ini. Sejumlah artis, misalnya, berlomba memamerkan aurat demi popularitas yang ditandai dengan jumlah follower. Tak sedikit artis idola berbuat cabul. Celakanya kecabulan mereka dipamerkan lewat internet sehingga meresahkan masyarakat. Betapa tak resah, bilamana remaja mulai ikut-ikutan berbuat cabul seperti idola mereka. Jangan kaget bilamana kita dikejutkan berita rekaman perbuatan cabul yang dilakukan para remaja.
ADVERTISEMENT
Kabar itu mengejutkan sekaligus melegakan masyarakat. Terkejut karena wajah santun itu bisa juga terperangkap tindakan immoral. Lega karena keresahan para orang tua bisa diatasi dengan adanya sanksi hukum bagi pelakunya. Keresahan orang tua beralasan, karena yang beradegan dalam video porno itu adalah idola para remaja. Di mata remaja, apa pun yang dilakukan oleh para idola "layak" untuk ditiru, seolah-olah tindakan para idola merupakan kewajaran.
Paparan kegemblungan itu sudah digambarkan oleh Ronggowarsito, walau tidak didiskripsikan satu per satu. Ronggowarsito sudah mewanti-wanti agar tidak terbawa arus kegilaan. Apa wanti-wanti itu? Silakan simak di bagian berikut tulisan ini. (*/Askara)