Filsafat Ronggowarsito (4): Cacat Moral

Toto TIS Suparto
Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2021 19:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelumnya, saat menyinggung zaman gemblung, saya memaparkan kekhawatiran bahwa idola yang terjerumus kegilaan akan menular ke penggemar. Bahkan bisa jadi penggemar itu "membabi-buta" mengikuti tindakan sang idola.
ADVERTISEMENT
Saya ingin mengajak pembaca untuk melihatnya dari sisi filsafat moral. Dalam kajian filsafat moral dikenal teori hasrat Rene Girard. Teorinya dinamakan hasrat segi tiga. Manusia dilengkapi hasrat. Bahkan hasrat ini diperlukan demi memperoleh pengakuan. Selain berhasrat, pada sisi lain juga berharap dihasratkan orang lain. Tentang ini, beberapa rekan motivator menyebutnya sebagai modeling. Seseorang melihat model, dan seseorang bisa saja menjadi model. Filsuf moral menempatkan model ini sebagai mediator.
Ketika hasrat diri menduplikasi model atau mediator maka seseorang berada dalam proses mimesis. Ia meniru sang model. Ia menempatkan model sebagai idola, dan atas pengaruh sang idola inilah seseorang menyatakan hasrat.
Pemikiran itu mau dibawa ke dalam kehidupan riil, bahwa hasrat seseorang tidak muncul sendirinya, tetapi ada model yang dijadikan pijakan. Maka tatkala model mengabaikan moralitas, subyek pun merasa wajar mengikuti model untuk berbuat serupa. Dalam benak subyek terpikirkan kalau idola bisa berbuat porno, penggemarpun boleh-boleh saja. Jika idola tak pernah malu, penggemar biasapun buat apa musti malu. Model menjadi sumber inspirasi. Inilah pelajaran berharga bahwa di balik magnet sang idola ada juga cacat moral.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud cacat moral? Secara sederhana bisa dikemukakan cacat moral itu diartikan jika segala tindakannya tidak dibimbing oleh akal, dan tidak sesuai dengan keutamaan. Kalau dipadatkan, tindakannya lebih condong kepada hal-hal yang bersifat buruk.
Gambaran di dunia politik dan gemerlap artis sekadar menjadi contoh zaman gemblung tersebut. Gambaran itu pula yang saya jadikan pintu masuk untuk mengenal istilah ini lebih jauh. Layak untuk diketahui bahwa zaman gemblung atau zaman cacat, zaman rusak, zaman kacau, zaman edan diistilahkan pujangga Kraton Surakarta R.Ng Ronggowarsito sebagai kalatidha. Istilah ini dipakai untuk serat gubahannya. Sampai sekarang karya itu dikenal sebagai Serat Kalatidha, sebuah serat yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom.
Tentang kalathida itu ada pada bait ketujuh. Bait ini sangat terkenal, kalau diartikan kurang lebih: "Mengalami zaman edan, hati gelap kacau pikiran, mau ikut edan tak tahan, jika tidak ikut tak kebagian, akhirnya kelaparan, tetapi kehendak Tuhan, seuntung-untungnya yang lupa, lebih untung yang ingat dan waspada."
ADVERTISEMENT
Kalau kita kaitkan dengan filsafat moral, zaman gemblung itu ditandai oleh suburnya laksisme di negeri ini. Laksisme itu bisa berupa guru besar yang terbukti jadi plagiat, ada siswa mengamuk lantaran tak lulus ujian nasional, ada orang yang terbukti pernah berbuat mesum tetapi tetap berani mencalonkan diri jadi pemimpin lewat pilkada, ada pegawai pajak secara tak bijak menggerogoti uang negara, ada perwira polisi menjadi makelar kasus, ada produsen tahu tetap saja membubuhi formalin, ada penjual daging glonggongan, ada penjual minuman keras sengaja mencampurnya dengan obat nyamuk, dan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi bukti kesuburan laksisme.
Kitab Bijak Pujangga Jawa ( sumber foto : Penerbit Askara )
Laksisme menunjukkan tindakan yang menyimpang dari norma, kaidah, atau etika. Beberapa filsuf moral membaginya dalam laksisme lunak dan laksisme keras. Pada laksisme lunak, seseorang menyadari etika itu ada dan harus dilaksanakan, tetapi pelaksanaannya sangat tergantung kemampuan masing-masing orang itu. Seseorang tak perlu berusaha keras menerapkan etika jika memang tak mampu bertindak sesuai aturan itu. Pilihan ini dianggap tak apa-apa. Laksisme memang dengan mudah memberi izin untuk menyimpang dari aturan moral yang umum.
ADVERTISEMENT
Sementara laksisme keras menegaskan berbuat apapun tidak berdosa sepanjang belum ada kesepakatan tentang prinsip dan norma yang menetapkan baik-buruk perbuatan tersebut. Dalam laksisme, keraguan kecil saja terhadap eksistensi suatu hukum akan menghilangkan kewajiban untuk mentaati.
Apapun kategorinya, laksisme jelas sebuah malapetaka bagi negeri ini. Maka, tetap diupayakan untuk membuang jauh-jauh laksisme itu. Bagaimana? Di bagian berikutnya akan kita diskusikan. (*/Askara)