Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Ronggowarsito (5): Malapetaka Laksisme
14 Agustus 2021 21:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Toto TIS Suparto
Apapun kategorinya, laksisme jelas sebuah malapetaka bagi negeri ini. Kata Zoetmulder (1982:1092), malapetaka itu ibarat "kejatuhan kotoran", jika memperhatikan akar kata "mala" berarti kotoran dan "petaka" berarti kejatuhan. Sudah barang tentu orang berupaya menghindari malapetaka. Siapa pun tak ingin kejatuhan kotoran. Oleh karena itulah malapetaka menjadi hal menakutkan. Malapetaka menjadi bahaya hidup yang berat. Malapetaka menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan. Laksisme mengotori negeri ini.
ADVERTISEMENT
Laksisme tumbuh subur manakala orang ingin "serba cepat". Hal ini terkait dengan "serba cepat" yang dilahirkan oleh kesadaran praktis. Orang yang berkesadaran praktis tak perlu susah payah untuk berpikir, mengambil jarak atau memberi makna atas tindakannya (Anthony Giddens, 1986).
Didorong oleh kesadaran praktis itu maka "serba cepat" dicapai dengan kebiasaan jalan pintas, melanggar aturan, atau main terabas. Ingin cepat kaya, lantas dipilihlah jalan pintas yang sekaligus melanggar aturan: korupsi! Orang memilih korupsi karena dari tindakan itu bisa cepat kaya dan membuat hidup lebih enak. Lagi pula banyak orang melakukannya sehingga tidak perlu berpikir, mengambil jarak atau mempertanyakan makna dari tindakannya. Inilah korupsi yang terlahir dari kesadaran praktis.
Kebiasaan-kebiasaan itulah yang akan mengubah kode moral. James Rachels menyatakan kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam masyarakat itu. Artinya, jika kode moral dari suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, maka tindakan itu memang benar, setidaknya untuk masyarakat tersebut. Namun diingatkannya, kode moral dari masyarakat itu sendiri tidak mempunyai status istimewa karena hanya merupakan salah satu dari yang banyak. Lantaran hanya salah satu, kode moral sangat memungkinkan untuk bergeser-geser. Laksisme berpeluang menggeser kode moral dimaksud.
ADVERTISEMENT
Contoh paling gamblang adalah suap, misalnya, yang berada pada laksisme lunak. Banyak orang tahu, suap tidak dibenarkan berdasarkan aturan moral. Tetapi banyak orang yang melakukannya karena orang lain juga melakukan tindakan itu. Akhirnya melakukan suap juga tidak apa-apa. Apalagi jika berdalih saling menguntungkan. Pelaku suap memperoleh kemudahan dalam suatu proses, dan yang disuap mendapatkan keuntungan materi. Keduanya saling sepakat, dan seolah-olah tindakan yang tidak apa-apa secara moral. Di sini, kode moralnya juga bergeser. Suap yang tidak mengikuti aturan moral menjadi "tidak apa-apa" tadi. Bukankah hal macam ini merupakan malapetaka mengerikan?
Banyak kode moral yang bergeser karena masyarakat sudah banal dengan tindakan-tindakan yang menyimpang dari aturannya. Celakanya, segala bentuk sanksi sudah melunak dan bisa dipermainkan. Sanksi moral bukanlah hal menakutkan ketika sanksi hukum saja sudah tak bergigi karena bisa dibeli!
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu, sanksi--terutama sanksi hukum--harus kembali ditegakkan. Berbagai bentuk penyimpangan dalam pandangan laksisme, rasanya tak bisa sekadar diimbau agar seseorang lebih berkesadaran reflektif sehingga setiap tindakan telah dipikirkan matang dan diukur maknanya. Imbauan itu butuh proses panjang untuk mengubah laksisme menjadi rigorisme (patuh pada aturan moral).
Agar mendekati rigorisme maka hal pertama yang dilakukan adalah menegakkan sanksi hukum. Penyimpangan moral yang masuk ke ranah hukum, secepatnya diselesaikan secara hukum. Albert Camus mengingatkan hukum mampu mengatasi penyimpangan-penyimpangan dalam pandangan laksisme tersebut.
Namun hukum merupakan kekuatan dari luar untuk menekan laksisme, atau setidaknya upaya keluar dari zaman gemblung. Banyak sesepuh bilang, zaman gemblung itu harus dilawan dari dalam.Ajaran Ronggowarsito akan menjelaskan perlawanan dari dalam tersebut. (*/Askara)
ADVERTISEMENT