Filsafat Ronggowarsito (7): Ramalan Zaman Edan

Toto TIS Suparto
Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara
Konten dari Pengguna
7 September 2021 10:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Toto TIS Suparto
Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunyaturi
ADVERTISEMENT
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi
atilar silastuti
sujana sarjana kelu
kalulun kala tida
tidhem tandhaning dumadi
ardayengrat dene karoban rubeda
Kutipan di atas merupakan bait pertama dari Serat Kalatidha karya pujangga Jawa yang sangat terkenal Ronggowarsito [jika pembaca ingin mengetahui siapa Ronggowarsito ini, pada bagian akhir serial ini penulis singgung sekilas tentang dia]. Ada 12 bait yang penuh makna.
Sebuah karya yang sangat popular, terutama jika dikaitkan dengan runtuhnya moralitas suatu tatanan negara. Bait pertama ini memberi gambaran umum ihwal keruntuhan moralitas tersebut, dan pada bait lainnya disisipkan ajaran-ajaran agar kita keluar dari degradasi moral dimaksud.
Kitab Bijak Ronggowarsito ( Foto: Penerbit Askara )
Karya itu diubah lebih seabad yang lalu. Persisnya pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M). Pada mulanya merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, tetapi kalau direnungkan, tetap saja aktual untuk masa sekarang di bumi Indonesia tercinta. Memang, ada yang bilang Serat Kalatidha juga merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Ronggowarsito sudah memprediksikannya. Ia dikenal ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak. Oleh sebab itu, Serat Kalatidha juga dianggap sebagai ramalan Ronggowarsito. Ia dikenal sebagai penulis jangka, yakni suatu pernyataan yang belum terjadi dan kemudian dikemukakan secara terang-terangan atau simbol. Kenyataannya pernyataan itu memang terjadi.
ADVERTISEMENT
Mari kita renungkan bait pertama itu. Jika ditafsirkan akan berarti sebagai berikut:
"Keadaan negara sekarang ini sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusak, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (zaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan."
Sekali lagi, bait itu dibuat lebih seabad yang lalu, tetapi kalau dipikir-pikir kejadiannya seperti sekarang ini. Bukankah kondisi negara kita sedang merosot? Korupsi merajalela. Uang negara dirampok. Tetapi para perampok itu tidak memperoleh sanksi hukum yang setimpal. Banyak orang yang dituntut hukuman berat lantaran merampok uang, namun pada saat divonis malah memperoleh kebebasan. Bayangkan, ada seorang pejabat yang dituntut hukuman 12 tahun penjara, kenyataannya divonis bebas alias nol tahun. Ada pula yang ngemplang bantuan sosial COVID-19, tetapi vonis ringan gara-gara koruptor di-bully. Mana logika hukumnya? Mana mungkin persepsi hukum antara jaksa dan hakim terpaut jauh macam itu?
ADVERTISEMENT
Lebih memprihatinkan lagi, tatkala para perampok alias koruptor itu dibebaskan, banyak orang-orang bersorak senang. Mereka itu pendukung si perampok, yang sebelumnya memang selalu kecipratan uang rampokan. Mereka tidak malu-malu untuk mengekspresikan dukungannya kepada si perampok. Sungguh aneh negeri ini, orang berbuat jelek banyak didukung teman, sebaliknya orang baik justru ditinggalkan. Pertemanan itu semata-mata didasarkan uang. Banyak uang, banyak teman. Tak punya uang, ditinggal teman.
Inilah yang digambarkan Ronggowarsito sebagai tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi," begitu tulis Ronggowarsito. Memang betul, sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu. (*/Askara)
ADVERTISEMENT