Filsafat Ronggowarsito (8): Dialog Batin

Toto TIS Suparto
Penulis Filsafat Moral, Pengkaji di Institut Askara
Konten dari Pengguna
21 September 2021 14:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Toto TIS Suparto
Pada bagian tujuh lalu diuraikan tentang dunia yang repot. Kali ini kerepotan dunia ini diperjelas pada bait kelima yang berbunyi berikut ini:
ADVERTISEMENT
Ujaring panitisastra
awewarah asung peling
ing jaman keneng musibat
wong ambeg jatmika kontit
mengkono yen niteni
pedah apa amituhu
pawarta lolawara
mundhuk angreranta ati
angurbaya angiket cariteng kuna
Artinya kurang lebih;
Menurut buku Panitisastra (ahli sastra),
sebenarnya sudah ada peringatan.
Di zaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini,
orang yang berbudi tidak terpakai.
Demikian lah jika kita meneliti.
Kitab Bijak Ronggowarsito ( Foto : Penerbit Askara )
Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah zaman dahulu kala.
Apa yang ditulis Ronggowarsito itu ternyata masih klop dengan zaman sekarang ini, khususnya di negeri kita. Coba perhatikan, "...ing jaman keneng musibat, wong ambeg jatmika kontit...". Ya, di zaman penuh kebatilan ini bisa kita lihat orang-orang berbudi itu tidak terpakai. Padahal orang berbudi ini membuat karakter bangsa menguat. Orang berbudi cenderung memilih tindakan-tindakan baik karena mereka acap melakukan dialog batin. Saat melakukan dialog batin, mereka memasuki tahapan untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu secara benar. Ia menjadi manusia yang memiliki, menguasai dan memastikan dirinya sendiri. Seseorang menjadi paham atas dirinya.
ADVERTISEMENT
Kalau kita mampu melakukan dialog batin, kita akan menemukan jalan menuju kebaikan. Memang, bukan soal mudah untuk mendefinisikan "baik" itu. Filsafat Barat saja masih belum bulat soal definisi itu. Misalnya, ada peringatan dari filsuf George Edward Moore; jangan bersusah payah untuk mencari definisi kata baik! Alasan yang disodorkan Moore adalah baik itu bersifat primer sehingga tidak bisa dianalisis karena memang bukan terdiri dari bagian-bagian lagi. Baik tak bisa direduksi kepada sesuatu yang lebih mendasar lagi karena memang dari sono-nya sudah merupakan data dasar.
Baik baru bisa mencapai makna bilamana direlasikan. Kemudian Moore membedakan "baik" dan "sesuatu yang baik". Tatkala membicarakan "sesuatu yang baik" maka "baik" yang dikenakan pada sesuatu itu sudah bisa dimaknai. Di sini (pada "sesuatu yang baik") kata baik telah direlasikan. Kita ambil contoh pada beberapa bidang kehidupan. Misalnya, kata "baik" yang dikenakan pada "pegawai pajak" sudah bisa dimaknai. Begitupun "politisi yang baik", "perwira polisi yang baik", "jaksa yang baik", "hakim yang baik", "pegawai negeri yang baik", "wartawan yang baik", "penulis yang baik", "warga negara yang baik", dan sampai akhirnya bisa dipadatkan menjadi "manusia yang baik".
ADVERTISEMENT
"Manusia yang baik", menurut Aristoteles, melakukan aktivitas jiwa dalam kesesuaian dengan keutamaan. Kalau mengacu kepada pemikiran kuno, bukan saja Aristoteles, melainkan Sokrates maupun Plato, juga menempatkan "keutamaan-keutamaan" menjadi ukuran "manusia baik". Platonis senantiasa menggunakan "yang baik" sebagai tujuan. Oleh karena itu segala tindakan dan pilihan akan mengacu kepada tujuan "yang baik". Tujuan "yang baik" itu sendiri, menurut Plato, bermuatan keutamaan.
Diskusi pun bakal berkembang, lantas apa pula "keutamaan" dimaksud? Aristoteles hanya memberi batas kepada "sifat karakter yang tampak dalam tindakan kebiasaan". Kesannya sebuah batasan yang remeh, tetapi jika diselami lagi, kita akan menemukan makna mendalam. Kebiasaan itu tidak akan muncul jika kita kadang-kadang bertindak. Contoh gamblangnya, kebiasaan jujur tidak akan terlihat jika kita kadang-kadang saja menyatakan kebenaran atau bertindak nyata dalam batasan kejujuran. Dalam hal ini jujur belum bisa mencapai kebiasaan. Namun jika kita terus menerus berbuat jujur, maka kejujuran itu tanpa terasa akan menjadi kebiasaan. Jadi, kebiasaan jujur ini merupakan tindakan yang muncul dari karakter yang kokoh dan tak berubah.
ADVERTISEMENT
Nah, pada bagian berikut, kita akan singgung “baik” menurut Ronggowarsito. (*/ Askara)