Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Ronggowarsito (9): Malapetaka Fitnah
24 September 2021 15:43 WIB
Tulisan dari Toto TIS Suparto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Toto TIS Suparto
Bagi masyarakat Jawa, “baik” itu baru bisa dimaknai jika tidak tunggal, tidak sendiri. Beberapa unen-unen Jawa sebenarnya mendiskripsikan kebaikan dimaksud. Sebagai contoh, orang Jawa bilang berbudi bawa leksana adalah baik. Karakter berbudi bawa leksana ini diberikan kepada pemimpin yang setiap ucapannya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab. Konsekuen karena tak mau mengubah A menjadi B dalam sekejap. Sekali ia bilang “ya”, maka seterusnya tetap “ya”, dan tak mudah berubah menjadi “tidak” lantaran pragmatisme politik. Karakter ini memberi dasar kuat untuk tidak mencla-mencle. Oleh karena itu agar tidak mencla-mencle, seseorang berkarakter berbudi bawa leksana memilih untuk menunda ucapannya pada saat yang tepat. .
ADVERTISEMENT
Sikap berbudi bawa leksana merupakan modal berharga bagi calon pemimpin, sekaligus harapan bagus bagi masyarakat. Sikap itu akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, karena pemimpinnya akan menjalankan semua peraturan dengan penuh dedikasi demi kemaslahatan rakyat.
Masih banyak kearifan Jawa yang layak dipakai sebagai upaya menjelaskan baik tersebut, tetapi satu contoh itu menjadikan jelas bahwa kata baik itu bisa dimaknai bilamana ada "sesuatu"-nya, seperti dijelaskan oleh filsuf barat tadi. Bahkan etika Jawa bisa diurai lebih jauh lagi sampai melahirkan unen-unen lain. Misalnya kita kembali ke berbudi bawa leksana yang melahirkan derivatif tepa tuladha, yakni sosok yang bisa diteladani.
A. Ajaran Ronggowarsito
1. Ajaran dalam Sejumlah Karya.
Ibarat gajah mati meninggalkan gading, Ronggowarsito wafat meninggalkan ajaran moral hingga relijiositas. Ajaran itu berserakan di antara puluhan karya-karyanya. Ajaran itu relevan untuk dijadikan pegangan hidup hingga sekarang ini. Namun saya tidak ingin membahas secara mendalam ajaran dalam karya-karya lain. Penulis lebih fokus untuk membahas ajaran dalam Serat Kalatidha. Kenapa lebih kepada Serat Kalatidha? Sebab, pada karya inilah disebutkan ajaran eling lan waspada. Serial tulisan ini mau mengupas tafsir filosofis eling lan waspada. Rahasia selamat yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah eling dan waspada tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun sebelum melihat ajaran Serat Kalatidha secara umum, dan tafsir eling lan waspada secara khusus, saya menyampaikan beberapa contoh karya dan ajaran yang terkandung di dalamnya, di antaranya:
- Wirid Hidayat Jati, ajaran moral berupa delapan syarat menjadi guru ilmu jaya
kawijayan.
- Serat Darmasarana, ajaran ilmu kesempurnaan hidup.
- Serat Jayengbaya, hakikat kesempurnaan hidup.
- Serat Purwawasana, ajaran tentang nilai-nilai luhur.
- Serat Wedharaga, ajaran tentang kependidikan.
- Serat Wedhasatya, ajaran tentang perjodohan.
- Serat Saridin, ajaran kesusilaan.
2. Ajaran dalam Serat Kalatidha
Beberapa bait yang dicontohkan di atas bisa memberi gambaran ajaran Ronggowarsito atas karya agungnya. Namun masih ada pesan lain dalam Serat Kalatidha yang patut dijadikan pegangan hidup kita bersama, di antaranya:
ADVERTISEMENT
a. Malapetaka fitnah
Pada bait ketiga Serat Kalatidha disinggung tentang fitnah. Ternyata, fitnah itu dialami sendiri oleh sang pujangga, sehingga ia merasa perlu menggambarkan bagaimana jika seseorang terkena fitnah. Setidaknya betapa malunya jika seseorang diterpa fitnah itu. Maka, fitnah itu bisa dikatakan sebagai malapetaka.
Berikut Ronggowarsito memberikan gambaran:
Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka
(Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,
mendapatkan fitnah dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.)
ADVERTISEMENT
Jika mengacu kepada akar katanya, fitnah yang berasal dari bahasa Arab al-fitnah acap disepadankan dengan kekacauan, bencana, sirik, cobaan, ujian dan siksaan. Khalayak lebih sering mengartikan sebagai berita bohong atau desas-desus menyangkut seseorang di mana pembuat fitnah memunyai agenda terhadap sasarannya. Ketika fitnah disepadankan sebagai malapetaka, maka selanjutnya akan timbul; konflik, kedustaan, kebinasaan, kedzaliman, gangguan, maupun godaan,
Sebagai malapetaka, fitnah jelas merisaukan. Kerisauan pertama adalah kemungkinan munculnya konflik. Hal ini mudah dijelaskan. Saat fitnah tersebar, saat itu muncullah prasangka. Coba simak pemikiran Gordon Allport. Pakar kajian konflik itu menyebutkan prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes. Generalisasi mudah terbangun dari fitnah yang tersebar.
Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. Kata kunci prasangka adalah antipati, dan beberapa pemikir menyebutnya sebagai perasaan negatif. Jelas, fitnah melahirkan perasaan negatif terhadap korban. Tatkala fitnah itu telah meresap maka saat itu pula perasaan negatif kian menguat.
ADVERTISEMENT
Perasaan negatif itu merupakan representasi dari perbedaan sikap. Ia membatasi diri dengan yang lain. Inilah potensi pertentangan yang sangat mudah dipicu. Begitu ada pertentangan lahirlah sebuah konflik. Jadi konflik merupakan bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok, di mana mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai, maupun kebutuhan.
Dari paparan itu menjadi jelas bahwa penyebar fitnah sesungguhnya tengah memancing konflik. Betapa buruknya tabiat pemancing konflik. Ia memporakporandakan kedamaian. Ia mengguncangkan pribadi seseorang. Dan Ronggowarsito telah memberi gambaran dengan jelas, bahwa fitnah menimbulkan konflik diri sendiri yang sangat dahsyat. Konflik yang bisa membuat diri sendiri menjadi malu besar.
Ronggowarsito mengingatkan pula fitnah sebagai kebohongan. Bagaimanapun bohong merupakan penyakit dalam masyarakat. Bohong mencederai komunikasi yang tulus. Semustinya, guna membangun komunitas yang solid, perlu didukung komunikasi di dalamnya. Untuk hidup bersama perlu saling bicara satu sama lain, saling tanya-jawab, saling mengungkapkan hasrat maupun saling berjanji kebaikan. Interaksi itu didukung dengan sikap saling percaya, dan kejujuran mutlak sebagai pilar saling percaya dimaksud. Apa jadinya jika kejujuran dinafikan dan yang muncul kemudian justru kebohongan? Kepercayaan itu runtuh!
ADVERTISEMENT
Adakalanya berbohong bisa dimaklumi dan tidak menghancurkan kejujurannya. Tentang ini bisa dijelaskan dengan ilustrasi berikut; ketika seorang pemuka agama dikejar-kejar oleh orang-orang kafir. Pemuka itu tengah mendayung perahu saat pengejar mendekatinya. "Di manakah si pengkianat itu?," tanya mereka geram. Dengan tenang pemuka itu menjawab, "Tak jauh dari sini" Ia mendayung dengan gembira sembari melewati para pengejar. Kaum kafir itu tak menyadari bahwa yang ditanya justru yang sedang mereka kejar. Dan sang pemuka agama itu tidak berbohong secara langsung dengan jawaban "Tak jauh dari sini". Maka, ia tetap bisa dikategorikan jujur.
Kejujuran merupakan salah satu keutamaan. Filsuf Edmund L.Pincoffs mengingatkan keutamaan adalah karakter yang baik untuk dimiliki seseorang. Mengacu kepada Pincoffs, sejatinya kita menghindari praktik fitnah karena bertentangan dengan keutamaan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Ronggowarsito membocorkan rahasia agar kita tak mudah menjadi penyebar fitnah. Jurus jitu itu di antaranya menahan emosi, tak banyak bicara, bergaul dengan orang saleh. Kematangan emosi juga terkait akal sehat. Orang bijak bilang, "Seorang lelaki kehilangan akal sehatnya saat terjadi fitnah." Lalu dianalogikan, "Kemudian fitnah datang bergelombang seperti gelombang laut, dan ia yang menjadikan manusia padanya seperti binatang."
Maksudnya, penyebar fitnah itu seperti binatang, karena ia sebagai manusia telah kehilangan akal sehat. Maka, mereka yang terus menerus membuat risau masyarakat dengan menebar fitnah, (maaf) tak lebih dari seekor binatang. ( */ Askara )
- Selanjutnya : Mengendalikan Nafsu….(bag 10)