Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dirgahayu Jakarta ke-494: Kolaborasi Semakin Diperkuat
22 Juni 2021 18:58 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:07 WIB
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Faddillah Khan muda beranjak pergi ke Makkah bersama keluarganya karena daerah kelahirannya di Pasai, Aceh Utara telah takluk di tangan penjajah Portugis. Faddillah Khan disebut Faletehan oleh orang-orang Portugis juga beberapa sumber menyebutnya sebagai Fatahillah (jakarta.go.id).
ADVERTISEMENT
Ia adalah putera dari Syarif Abdullah bin ‘Ali Nur ‘Alim yang dikenal sebagai Syaikh Maulana Akbar, seorang mubalig dan ‘alim ternama.
Nasab (garis keturunan) Fatahillah sampai kepada Rasulullah SAW, yaitu Faddillah Khan bin Syarif Abdullah bin ‘Ali Nur ‘Alim bin Jamaludin bin ‘Amir bin ‘Abdul Malik bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Ali Gajam bin ‘Ali bin ‘Alwi bin Muhammad bin Baedillah bin Ahmad bin Albakir bin Idris bin Kasim al-Malik bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Bakir bin Zainal ‘Abidin bin Sayyid Husain bin Sayyid ‘Ali bin Abi Thalib suami Sayyidati Fathimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
Melalui jalur ibu pun Fatahillah memiliki nasab yang baik, yaitu putra dari Nyai Rara Santang yang merupakan putri dari Prabu Siliwangi dari istrinya Nyai Subang Larang yang merupakan adik dari Kian Santang (Pangeran Walangsungsang) yang bergelar Cakrabuwana dan memiliki guru seorang mubalig ternama dari Baghdad, yaitu Syaikh Datuk Kahfi.
ADVERTISEMENT
Fatahillah muda berguru kepada banyak 'ulama baik di Mesir, Baghdad, hingga ke Makkah. Tahun 1470 menjadi awal mula ia kembali ke Nusantara, tepatnya di tanah Jawa.
Fatahillah yang bergelar Syarif Hidayatullah menetap bersama ibundanya Syarifah Mada'im di Caruban, Jawa Barat dan mengembangkan pesantren di Gunung Jati, hingga ia bergelar Sunan Gunung Jati, satu-satunya Walisongo yang berdakwah di Jawa Barat (Makalah Sunan Gunung Jati, IAIN Syekh Nurjati Cirebon).
Fatahillah menikah dengan putri Sang Cakrabuwana sehingga menjadi pangeran yang memiliki kekuatan di Cirebon, Jawa Barat.
Pembebasan Sunda Kelapa
Fatahillah merupakan daí, mubalig, habib, sekaligus pemimpin dan panglima perang. Ia memiliki kedekatan dengan Kerajaan Demak dan memiliki misi untuk menghentikan dan menghancurkan penjajahan dan pengaruh Portugis yang dahulu juga telah berhasil menguasai Pasai, tanah kelahirannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Kerajaan Pajajaran kala itu telah memiliki perjanjian dengan Portugis bahwa mereka akan menyediakan sebuah tempat di mulut Sungai Ciliwung sebagai lokasi berlabuh kapal-kapal Portugis. Hal ini dilakukan Pajajaran karena merasa “terancam” dengan eksistensi kerajaan Islam di Pulau Jawa yang semakin menguat.
Fatahillah/Syarif Hidayatullah merasa perlu untuk menyerang Portugis agar dapat membebaskan Sunda Kelapa dari cengkeraman penjajah itu, meskipun memiliki konsekuensi memasuki wilayah Kerajaan Pajajaran.
Kerajaan Pajajaran saat itu sudah sangat melemah, terlebih banyak wilayah-wilayahnya yang berusaha ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran. Pasukan Banten menyerang Pajajaran dari sisi barat dan Pasukan Cirebon menyerang Pajajaran dari sisi Timur.
Di sisi lain, Portugis mengirimkan tak kurang dari enam kapal perang galleon ke Sunda Kelapa di bawah pimpinan Francisco de Sa. Kapal perang galleon ini memiliki 21 hingga 24 pucuk meriam dan mampu membawa 600 personel perang.
ADVERTISEMENT
Tak gentar dengan serbuan Portugis, Fatahillah memimpin 20 kapal perang dengan pasukan berjumlah 1500 orang (republika.co.id).
Pertarungan begitu sengit dan keras, hingga akhirnya Fatahillah mampu memenangkan pertempuran tepat pada tanggal 22 Juni 1527 dan mengganti nama Sunda Kelapa yang berhasil dibebaskan dengan nama Jayakarta yang memiliki arti kemenangan yang gilang-gemilang.
Sebuah ungkapan yang terinspirasi dari ayat pertama dari QS. Al-Fath yang berbunyi “innaa fatahnaa laka fatham-mubiinaa” yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang gilang-gemilang”. Hingga kini, tanggal 22 Juni dijadikan sebuah tanggal monumental lahirnya Kota Jakarta.
Jakarta Bangkit
Telah lebih dari satu tahun, Indonesia, khususnya Kota Jakarta menghadapi tekanan akibat pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Efek kesehatan maupun ekonomi yang menurun tajam menjadi pukulan telak bagi masyarakat Jakarta. Bahkan tingkat pengangguran terbuka di Jakarta pada Agustus 2020 mencapai 10.95 persen (jakarta.bps.go.id).
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu saja tidak menyurutkan dan mengurungkan langkah Jakarta untuk kembali bangkit. Jakarta telah teruji selama ratusan tahun menghadapi berbagai musibah dan kesulitan, akan tetapi mampu terus bangkit dan berjuang bersama-sama, baik pemerintahan maupun rakyatnya.
Slogan ini pula yang dibawa menjadi tagline Ulang Tahun Kota Jakarta ke-494 tahun ini, bahwa Jakarta, yang merupakan Kota Kolaborasi, akan bangkit bersama dan memberikan kenyamanan, kesejahteraan, dan ketentraman untuk warganya, insya Allah.
Dirgahayu Jakartaku! Ibu kota negeri kami tercinta.