Menjaga Nyala Cinta

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
17 Juli 2022 4:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto suami dan istri. FOTO: Dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto suami dan istri. FOTO: Dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan adalah hal yang sakral. Peristiwa penting yang bisa mengubah hidup seseorang. Satu-satunya legitimasi yang mampu membuat dua insan, pria dan wanita, menyatu dalam sebuah torehan pena kehidupan yang suci dan penuh arti.
ADVERTISEMENT
Meskipun saat ini banyak pihak yang sudah tidak mengindahkan kesakralan pernikahan, namun tidak ada satu pun hubungan pria-wanita yang nyaman, tenteram, dan melengkapkan selain hubungan pernikahan. Bahkan, ia adalah obat bagi mereka yang sedang dilanda cinta.
Sebagaimana Rasulullah SAW, orang yang paling mulia yang pernah berjalan di muka bumi, mengisyaratkan bahwa pernikahan itu menyembuhkan bagi mereka yang dilanda asmara.
لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
Terjemahan: Saya belum pernah melihat solusi untuk dua orang yang saling jatuh cinta, selain nikah (HR. Ibnu Majah 1847).

Dimensi Cinta

Sepasang pria dan wanita bisa menikah karena saling mencintai sebelumnya atau bahkan belum pernah tumbuh cinta di antara mereka pada mulanya.
Pernikahan ini memang unik sejatinya. Ia bisa menjadi berkah berkelimpahan atau bahkan menjadi petaka yang meresahkan.
ADVERTISEMENT
Pernikahan harus dimulai dari niat yang lurus, ikhlas, dan paripurna. Ia tak boleh hanya sekadar menjadi pemuas nafsu belaka atau pelarian dari ketidakberdayaan hidup seorang lajang yang merana.
Apakah yang menjadi bahan bakar pernikahan? Ialah cinta. Cinta yang bagaimana?
Pernikahan harus tulus dan ikhlas diniatkan sebagai ibadah. Uniknya, ibadah ini tak berkesudahan. Sejak ijab dan qabul terucap, maka sejak itulah ibadah ini dimulai hingga nanti Allah yang sampaikan waktu selesai bagi pernikahan sepasang kekasih ini.
Terinsyafinya pernikahan sebagai sebuah bentuk ibadah “memaksa” kita untuk menyadari bahwa cinta tertinggi tidak bisa disematkan pada pasangan. Cinta itu harus menggantung di langit, namun menghunjam kuat di hati. Ialah cinta kepada Sang Penggenggam Semesta.
ADVERTISEMENT
Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam buku beliau Raudlatul Muhibbiin wa Nuzhatul Musytaaqiin (Taman Orang-orang yang Jatuh Cinta dan memendam Rindu) menyebutkan dengan istilah “mahabbatullah” (cinta kepada Allah).
Suami atau istri bukanlah milik kita, meskipun saat ini kita sudah menikahinya. Mereka sejatinya tetap milik Allah SWT yang dititipkan kepada kita dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Maka cara tercepat dan terampuh untuk menjaga keharmonisan dan kelanggengan rumah tangga adalah dengan mencintai Sang Maha Cinta, Allah SWT.
Benarlah adanya perjalanan biduk rumah tangga tidak akan senantiasa indah sebagaimana drama-drama Korea dan telenovela. Setiap keluarga akan menghadapi ujiannya masing-masing dan sandaran terkuat agar bisa selamat bersama keluarga melewati ujian tersebut adalah dengan mengharapkan sepenuh-penuh cinta-Nya.
ADVERTISEMENT
Jenis cinta berikutnya menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah adalah “mahabbah maa yuhibbullah” (cinta kepada apa yang dicintai Allah). Ini menjadi dasar penting saat kita memilih jodoh dan mencintai pasangan setelah menikah.
Membangun keluarga adalah membangun peradaban. Oleh karenanya, partner yang akan dipilih haruslah dia yang memiliki visi yang sama dalam pernikahan dan visi ini haruslah berupa tujuan yang menembus batas keduniawian, menuju keabadian.
Sejatinya manusia tidak akan hidup selamanya di dunia. Itulah mengapa sepasang suami-istri harus memikirkan akan ke mana keluarga mereka setelah selesai dengan urusan dunia ini.
Cinta inilah yang akan mendorong sepasang suami-istri untuk saling mengingatkan satu dengan yang lainnya. Saat suami salah, istri wajib untuk mengingatkan, begitupun sebaliknya, saat istri salah suami wajib untuk meluruskan. Begitu indah cinta kedua orang ini, mereka mencintai apa yang dicintai Allah.
ADVERTISEMENT
Jenis cinta berikutnya adalah “al-hubb fillah wa lillah” (cinta di jalan Allah dan karena Allah). Sebagaimana telah penulis sebutkan di awal bahwa pernikahan adalah ibadah terlama bagi sepasang insan. Oleh karenanya, cinta yang dibangun tidak bisa hanya sekadar atas ketertarikan fisik, materi, dan strata sosial semata, akan tetapi lebih kepada kapasitas ketakwaan pasangan kepada pencipta-Nya.
Cinta yang tertaut pada ketakwaan kepada Allah akan membuatnya menjadi lebih abadi dan bertahan lama di jalan kebenaran. Cinta ini adalah cinta para pejuang di jalan Allah. Bukankah menafkahi keluarga, mendidik anak, melayani suami, dan menyenangkan istri adalah sebuah perjuangan di jalan Allah? Ia memang tak selamanya mudah, namun Allah tidak akan menyia-nyiakan perjuangan mereka yang ikhlas ingin mereguk cinta-Nya.
ADVERTISEMENT

Merenungi Perjalanan Enam Tahun Pernikahan

Hampir bagi semua pasangan, tahun pertama dalam pernikahan dirasakan bak kisah dongeng penuh bunga. Ketika kita mulai memiliki belahan jiwa, bisa senantiasa tertawa bersama, menikmati indahnya dunia, bahkan merasakan seolah dunia ini hanyalah background semata dan kita adalah pangeran dan putri pemeran utama.
Menjelang di masa pernikahan tahun kedua, mata mulai terbuka akan segala kekurangan dan hal-hal yang tidak kita sukai pada pasangan, bahkan banyak pihak menyatakan bahwa lima tahun pertama adalah masa-masa rawan dalam pernikahan.
Di kala itu kita mulai berjuang menerima dan bertoleransi dengan kekurangan pasangan, bahwa sejatinya ia bukanlah malaikat atau bidadari yang sempurna. Juga kita mulai mengkompromikan berbagai hal yang perlu disepakati bersama.
ADVERTISEMENT
Singgungan-singgungan kecil bisa menyebabkan pertengkaran hingga akhirnya kita sadar bahwa memang egolah yang harus sama-sama diturunkan.
Kini penulis dan istri telah memasuki masa enam tahun pernikahan, sebuah usia yang bisa dikatakan masih sangatlah muda. Namun kami merasa banyak pelajaran yang Allah berikan sehingga mampu menguatkan dan mendewasakan selama hidup bersama.
Ke depan bisa jadi ujian-ujian kehidupan semakin kompleks dan besar, namun bukankah Allah tidak akan memberikan ujian kecuali kita memang sanggup menanggungnya?
Semoga senantiasa Allah kuatkan cinta di dalam keluarga kita sehingga kelak kehidupan ini dapat dijalani dengan tentram, tenang, dan nyaman. Hingga kelak saat Allah memanggil kita pulang, kita dapat berpulang dengan syahdu dan yakin bahwa insya Allah kelak Ia akan kumpulkan kita kembali bersama orang-orang tercinta, salah satunya bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Selamat memperingati pernikahan untuk istri tercinta dan bagi para pasangan lainnya yang meskipun jatuh namun tetap membangun cinta setiap harinya. Semoga Allah senantiasa meridhai kita semua.
~Ditulis khusus sebagai pengingat untuk penulis dan istri selepas enam tahun hidup bersama. Ana uhibbuki fillaah, aku mencintaimu karena Allah~