Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Polusi Semakin Pekat, Siasat Apa yang Paling Tepat?
22 Agustus 2023 11:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang karyawan muda di bilangan Jakarta Selatan memandang ke langit dari kantornya di lantai 17. Pagi ini langit Jakarta terlihat abu-abu samar, sama seperti hari-hari sebelumnya. Apakah memang begini seharusnya, atau ada yang salah dengan langit Ibukota kita?
ADVERTISEMENT
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) pun berada di taraf yang mengkhawatirkan. Tercatat oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta bahwa ada rata-rata 100 ribu penderita ISPA setiap bulannya sejak Januari hingga Juni 2023 (liputan6.com).
Berdasarkan gambar-gambar tersebut, mengindikasikan bahwa kondisi udara di Jakarta dan sekitarnya tidak sedang baik-baik saja. Indeks Kualitas Udara (AQI, Air Quality Index) di Jakarta tercatat sebesar 172.
Air Quality Index sendiri bermakna pengukuran polutan pada udara dengan mengkategorikannya dari level 0-500. Semakin tinggi indeksnya bermakna bahwa kualitas udara di wilayah tersebut semakin tidak baik dan memungkinkan berpengaruh terhadap kesehatan. AQI ini pun diklasifikasikan berdasarkan range tingkat polutannya, sebagaimana gambar berikut.
Berdasarkan klasifikasi tersebut kondisi udara di Jakarta dan sekitarnya menempati kondisi yang tidak sehat dan meningkatkan kemungkinan atau efek samping dan perburukan pada jantung dan paru-paru di kalangan masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Penyumbang Polusi Terbesar?
Sejatinya, apa saja yang menyebabkan polusi di daerah urban/perkotaan? Dilansir dari ourworldindata.org bahwa penggunaan energi menjadi penyumbang emisi rumah kaca terbesar, yaitu sebesar 73,2 persen.
Penggunaan energi yang menyumbangkan efek rumah kaca terbesar itu terbagi menjadi 3 (tiga) aspek lagi, yaitu penggunaan energi di sektor industri yang menyumbang 24,2 persen, penggunaan energi pada transportasi sebesar 16,2 persen, dan penggunaan energi pada bangunan [HVAC (Heating, Ventilating, and Air Conditioning)] sebesar 17,5 persen. Hal ini bermakna bahwa 3 (tiga) bidang ini yang menjadi penyumbang emisi terbesar di dunia dan jika kita ingin memperbaiki kualitas udara kita, maka ketiga hal ini perlu menjadi sasaran utama perbaikan.
Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas bersama kabinet dalam konteks penanganan polusi di Jabodetabek (14/08) menyatakan bahwa setidak-tidaknya ada beberapa penyebab tingginya polusi udara di Jabodetabek, yaitu antara lain: musim kemarau yang berkepanjangan; transportasi; dan aktivitas industri energi dan manufaktur (bbc.com). Hal ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh ourworldindata.com.
ADVERTISEMENT
Industri Penyumbang Polusi (?)
Tidak bisa dipungkiri bahwa industri menjadi roda penggerak perekonomian dan memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Akan tetapi, di sisi lain industri pun berperan besar dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca dan polusi.
Tercatat terdapat 10 PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbasis batu bara di Banten dan 6 PLTU berbasis batu bara lainnya di Jawa Barat. Juga terdapat 418 fasilitas industri manufaktur dalam rentang jarak 100 km dari Jakarta (CREA, bbc.com).
Dari semua bahan bakar fosil, batu bara mengeluarkan karbon dioksida paling banyak per unit energi, sehingga pembakarannya menjadi ancaman lebih lanjut bagi iklim global, yang sudah memanas secara mengkhawatirkan.
Pada gambar 5 dapat dilihat perbandingan jumlah emisi CO2 dari berbagai sumber energi, batubara dan minyak bumi menjadi penyumbang terbesar, sehingga akan menjadi tepat jika pembenahan difokuskan pada 2 (dua) bidang, yaitu industri dan transportasi.
ADVERTISEMENT
Transportasi Kita Mau Dibawa ke Mana?
Kendaraan pribadi (mobil dan motor) masih menjadi opsi yang banyak digunakan oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya, hal ini karena kendaraan pribadi, terutama motor, bisa menjadi jawaban untuk bepergian di sekitar Jakarta.
Dari grafik di atas terlihat bahwa porsi kendaraan pribadi masih menjadi jumlah yang terbesar mengaspal di DKI Jakarta. Bus hanya berjumlah 30 ribuan, sedangkan mobil penumpang berjumlah 3 jutaan, terlebih sepeda motor berjumlah 16 jutaan.
Bus yang merupakan kendaraan umum hanya memiliki jumlah yang sedikit, padahal perbandingan bus dengan mobil pribadi adalah 1:10, yang artinya 1 (satu) unit bus dapat menampung penumpang sama dengan 10 unit mobil (vehiclehelp.com).
Lantas, Apa yang bisa Dilakukan?
Menyoroti masalah polusi udara ini tentu saja memerlukan solusi yang komprehensif dan kolaboratif. Semua pihak harus terlibat dan mengambil andil dalam menerapkannya.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis bisa dilakukan guna menurunkan tingkat polusi di Jakarta dan sekitarnya.
Pertama dari sisi penggunaan energi, perlu dilakukan perubahan (shifting) penggunaan energi fosil (batu bara/minyak bumi) menjadi bahan bakar yang memiliki emisi yang lebih rendah, seperti gas alam dan selanjutnya dengan semakin meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Saat ini penggunaan EBT di Indonesia baru berkisar di angka 11 persen dengan target 23 persen di tahun 2023.
Kedua, industri harus semakin sadar untuk bisa tetap produktif tanpa harus mencemari lingkungan dengan menerapkan konsep green productivity (produktivitas hijau). Pemerintah harus semakin erat dalam meningkatkan regulasi emisi gas buang industri, terutama bagi industri yang masih menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, visi transportasi Indonesia ke depan harus berubah. Kendaraan pribadi tidak bisa lagi menjadi tumpuan untuk bepergian (terutama di dalam kota) karena peningkatan jumlah kendaraan tidak pernah sepadan dengan peningkatan volume jalan, hal ini dapat dipastikan akan menyebabkan kemacetan yang tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Transportasi di Indonesia harus semakin mengarah kepada penggunaan kendaraan umum. Fasilitas kendaraan umum, insentif bagi operator, dan subsidi bagi pengguna kendaraan umum bisa menjadi siasat agar masyarakat Indonesia semakin banyak berpindah dari penggunaan kendaraan pribadi menjadi kendaraan umum.
Menurut hemat penulis, penggunaan kendaraan pribadi listrik belum tentu bisa menjadi solusi untuk menurunkan polusi karena akan terjadi paradoks yang menggelitik. Kendaraan listrik akan ditenagai oleh baterai yang dicas menggunakan listrik, sedangkan listrik ini dihasilkan oleh PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang masih banyak menggunakan batubara. Selama masih banyak PLTU yang menggunakan batubara, maka paradoks polusi ini hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Sebagai edukasi dan selama masa transisi, selayaknya kendaraan listrik bisa lebih difokuskan pada kendaraan umum saja (bus listrik) karena jumlahnya bisa diatur dan dikendalikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Terakhir, masyarakat pun harus semakin memahami bahwa kondisi udara di sekitar Ibukota memang sedang tidak baik-baik saja dan kita harus ikut terlibat dalam memberikan solusi, bukan menjadi sumber masalah. Masyarakat bisa mulai memilah sampah dan tidak membakarnya sembarangan juga mulai melakukan efisiensi penggunaan energi di rumah (AC, pemanas, dll).
Kerja-kerja bersama ini diharapkan dapat membantu menurunkan tingkat polusi di Jakarta dan sekitarnya dan menciptakan masyarakat yang produktif dan sehat.