Berkomunitas Fotografi di Pasar Barang Antik Bandung

Tri Damayantho
applied generalist, entrepreneur, UNSIA student
Konten dari Pengguna
22 Juli 2022 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Damayantho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota Bandung identik kekuatan industri fesyennya. Sebagai salah satu pusat industri kreatif di Jawa Barat, kota Bandung yang berjarak sekitar 3 jam dari Jakarta, memiliki akar komunitas yang kental sebagai pondasi dari kegiatan kreatifnya. Suasana sejuk kota Bandung menjadi salah satu faktor pendukung warga kota Bandung untuk berkomunitas dan berkreasi untuk saling bertukar kreativitas satu dengan yang lainnya di dalam komunitas.
Salah saatu karya komunitas.
Identitas fesyen di Kota Bandung memang tidak terhindarkan. Jika kita lebih lama berinteraksi dalam komunitas kreatif Kota Bandung baik fesyen, musik kuliner dan lainnya, kita menyadari hampir semua komunitas itu menggunakan media sosial sebagai alat utama interaksi. Media sosial seperti Instagram, mengutamakan foto sebagai alat interaksi dan terkadang sebuah foto menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Sampai kita bertemu dengan para penggiat fotografi yang berkomunitas di Pasar Barang Antik Cikapundung Bandung.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, Pasar Barang Antik Cikapundung Bandung ini hanyalah sebuah bangunan tua yang berdiri di kawasan heritage di kota Bandung. Mungkin banyak yang tidak menyadari, Pasar Barang Antik Cikapundung Bandung ini hanya berjarak beberapa ratus meter dari Gedung Asia-Afrika yang berada di sebelah selatan, dan beberatus meter dari Jalan Braga di sebelah timurnya.
Gedung yang dibangun tahun 1987 ini berdiri tepat di sebelah Sungai Cikapundung. Apabila berada pada balkon yang tepat, Sungai Cikapundung dapat terlihat dari gedung yang juga merupakan salah satu pusat elektronik di kota Bandung. Pada tahun 2013, atas inisiatif pengelola gedung dan Walikota Bandung saat itu, Ridwan Kamil, bersepakat unutk memanfaatkan lantai 3 Gedung Cikapundung Elektronik Center Bandung untuk dijadikan Pasar Barang Antik.
ADVERTISEMENT
Dimulailah dilakukan pendekatan-pendekatan kepada para pedagang barang antik yang saat itu tersebar di kota Bandung untuk bersedia berpartisipasi di lahan itu. Dengan biasa sewa yang sangat terjangkau saat itu, sekitar Rp. 300.000 per bulan menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi tempat ini. Tidak hanya barang antik, barang-barang seni juga banyak yang dijual di pasar ini.
Menjelang 2014, Walikota Bandung saat itu Ridwan Kamil, melakukan re-branding dari pasar tersebut, sehingga para kolektor dan penggila barang-barang antik dan vintage baik dari dalam negeri maupun luar negeri semakin rajin berburu barang antik di pasar ini. Pada umumnya para kolektor Asia Tenggara dan Eropa seperti dari Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand, Perancis, Inggris dan lainnya yang sengaja datang untuk berburu barang antik. Pasar ini menjadi pusat berkumpulnya para kolektor barang-barang antik yang bernilai sejarah.
ADVERTISEMENT
Variasi barang antik yang dijual sangat beragam, mulai dari uang logam, hiasan dinding, furnitur, perangko, mainan, alat musik, telepon rumah, lukisan, fesyen, kamera lawas dan pernak-pernik lainnya.
Dengan banyaknya para pedagang dan pelanggan Pasar Barang Antik Cikapundung Bandung ini yang berasal dari luar negeri, maka tidak heran omset yang dapat dicapai rata-rata perputaran uang mencapai 180 juta perhari. Program rutin seperti pengenalan produk setiap hari Sabtu menjadi salah satu wadah dari proses kreativitas dari para pedangang agar dapat bertahan.
Pasar yang mulai dibuka sejak pukul 12.00 hingga pukul 22.00 ini berada di lantai tiga, dapat diakses melalui lift yang tersedia di basement. Lift ini merupakan akses yang paling mudah untuk mencapai pasar ini, dibanding apabila mesti melewati beberapa lantai melalui anak tangga. Ketika tiba di lantai 3, dimana Pasar Barang Antik Cikapundung Bandung ini berada seakan membawa kita ke masa lalu. Barang-barang antik yang berjajar di pinggiran toko-toko, suasana yang santai dan sejuk, tatapan bersahabat dan teguran akrab dari para pedagang disini, memberikan nuansa yang berbeda, ciri khas Bandung tempo dulu yang bersinergi dengan suasana Jalan Braga yang tidak jauh dari tempat ini sangat terasa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya barang dagangan yang lawas, tetapi juga furnitur yang digunakan juga unik dan lawas, terkadang para pengunjung tidak dapat membedakan mana barang dagangan dan mana properti toko, tetapi yang namanya pasar, semua bisa ditawar jika mencapai kesepakatan. Suasana unik dan nyaman sangat terasa ketika mengamati betapa akrabnya para pedagang satu dengan lainnya, saling memberikan informasi dan membantu pembeli yang mencari barang-barang antik, hal ini sangat terasa ketika menghampiri Galaya Corner yang berada di Blok FS 02.
Melukis dengan cahaya.
Toko itu berukuran 3x3. Hanya ada 2 kursi yang tersedia. Deni Rahadian sang pemilik toko sedang sibuk mengoprek kamera analog dihadapannya. Dengan menggunakan lup (kaca pembesar) dan kain perca Deni sedang membersihkan kamera Olympus Trip 35 buatan tahun 1967.
ADVERTISEMENT
“Awalnya sih pengen bisa melukis, tapi sayangnya saya kurang berbakat, fotografi ini menjadi pelampiasan saya untuk melukis”, tutur Deni memulai bercerita. Saat itu sekitar tahun 1980an ketertarikan Deni Rahadian dalam fotografi dimulai, tepatnya pada saat sekolah menengah pertama. Deni pernah dipinjamkan kamera saku kecil, oleh kakaknya yang menggunakan kamera SLR Pentax MX. Ketka melihat kamera SLR itu, timbul keinginan Deni untuk menggunakan kamera SLR tersebut. Inilah momen masa kecil ketika Kang Deni (biasa disapa) ingin menggeluti fotografi.
Dari kecil Kang Deni suka mendokumentasikan segala sesuatu yang dilakukan, senang menangkap momen, dari situlah kecintaan terhadap fotografi mulai tumbuh. Itulah merupakan kenangan awal Deni Rahadian dalam menggeluti fotografi. Awal belajar kamera SLR Kang Deni menggunakan Canon AE 1, yang kemudian dia berikan ke temannya lalu beralih ke kamera Pentax MX. Kang Deni mengakui, kecintaannya kepada kamera analog bukan bearti anti kamera digital.
ADVERTISEMENT
Dengan berbekal kecintaan, Kang Deni mempelajari fotografi secara otodidak. Tidak seperti sekarang, dimana hampir semua channel internet, terutama youtube, semua orang dapat mempelajari dengan akses yang lebih mudah, Kang Deni belajar melalui buku-buku, terutama ketika menemukan buku Michael Bussell, Master Photography di pasar buku loak Cikapundung saat itu.
Kang Deni bercerita mengenai perkembangan kamera bahwa tahun 2007 itu penggunaan kamera analog mulai berkurang, banyak fotografer yang beralih ke digital. Tetapi tidak lama kemudian kisaran tahun 2008-2012 kamera analog kembali berkembang tetapi ada keterbatasan bahan-bahan kimia untuk pencucian dan pencetakan foto.
Karena sulitnya mendapat bahan-bahan kimia tersebut, menuntut Kang Deni dan komunitasnya untuk lebih kreatif, dengan bantuan sosial media pada saat itu seperti Kaskus dan tentunya Youtube, mereka berhasil membuat salah satu komponen kimia yang dibutuhkan dengan berbahan dasar parasetamol, obat yang biasa dan mudah ditemukan di warung-warung.
ADVERTISEMENT
Kang Deni juga sering mengajak untuk motret bareng, tidak ada spesifikasi khusus kamera yang harus digunakan, yang penting adalah memotret. Boleh menggunakan kamera analog, digital, pocket, kamera HP, yang penting adalah mengabadikan momen dan merekam suasana. Pada saat kegiatan-kegiatan motret bareng seperti rollbuburit ini, Kang Deni juga sering berbagi roll film analog, bagi fotografer yang mempunyai kamera analog, tetapi tidak mempunyai roll filmnya. Yang penting enjoy dan sharing.
Selain fotografi, Kang Deni juga aktif berkegiatan di alam terbuka, seperti mendaki gunung, memanjat tebing, sungai, offroad atau sekedar kemping di tepi danau. Kegiatan-kegiatan ini tentunya mendukung aktivitas fotografi Kang Deni pada awalnya, yaitu essay fotografi, human interest dan tentunya landscape fotografi. Dengan bekal otodidak, Kang Deni terus belajar dan merasa semakin mendalami sesuatu kita menjadi semakin merasa kurang.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2014, Kang Deni mulai mengisi toko di lantai 3 tersebut setelah temannya akan fokus mengerjakan skripsi. Daripada ditutup, Kang Deni menawarkan diri untuk mengelola toko tersebut, dan akhirnya sepakat, untuk kemudian Kang Deni mendirikan toko Galaya Corner.
Awalnya toko ini tidak mengkhususkan diri menjual satu jenis barang, initinya barang apapun yang menarik dan kreatif, bisa dijual di toko ini. Lama kelamaan karena koleksi kamera lawas Kang Deni cukup banyak, dan juga semakin banyak pelanggan yang ingin mereparasi kamera lawasnya, toko ini menjadi lebih spesifik, yaitu kamera lawas. Berbagai penggemar kamera lawas telah mengirimkan kamera mereka untuk direparasi oleh Kang Deni, mulai dari Aceh sampai Sulawesi. Selain menyediakan kamera lawas yang murah meriah, Kang Deni juga rajin mengadakan workshop gratis dan selalu menyediakan waktu untuk konsultasi gratis kamera analog.
ADVERTISEMENT
Selain handal dalam membenahi kamera lawas, Kang Deni juga mendalami fotografi alternatif. Setelah terus mencoba fotografi aliran “mainstream” Kang Deni terus mengskeplorasi kecintaannya terhadap aktivitas fotografi ini. Kang Deni tidak hanya menggeluti fotografi “mainstream” saja, juga menggeluti turunan dari lain dari fotografi. Kang Deni lebih menyukai menyebutnya dengan Fotografi Alternatif.
Salah satunya adalah dengan menggunakan kamera pinhole yang terbuat dari kertas. Pinhole ini menggunakan konsep dasar dari fotografi, dengan memenuhi syarat-syarat mengenai adanya ruang gelap, media rekam dan cahaya tentunya.
Selain pihole, Kang Deni juga menggeluti Solargraphy, dimana suatu proses melacak pergerakan matahari dengan media rekam tertentu. Jadi pada prinsipnya dalam merekam gambar tidak selalu harus menggunakan kamera, tersedia media rekam lainnya. Untuk teknik cetak sendiri, Kang Deni menggunakan klorophyl print, yaitu dengan menggunakan media daun sebagai media rekamnya. Kegiatan fotografi alternatif ini sangat baik untuk aktivitas anak-anak dalam mempelajari prinsip-prinsip kamera.
ADVERTISEMENT
Fotografi alternatif ini sangatlah luas. Salah satu eksplorasi Kang Deni adalah dengan menggeluti kamera Pinhole (lubang jarum). Kamera lubang jarum ini sebenarnya mempraktekkan dasar-dasar penggunaan kamera sebelum ditemukan kamera seperti sekarang. Dengan fotografi alternatif ini akan menyadarkan kita bahwa banyak sekali cara unutk menghasilkan gambar dari cahaya, seperti melukis dengan cahaya.