Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Analisis Puisi "Di Mesjid" Karya Chairil Anwar
28 Oktober 2022 13:56 WIB
Tulisan dari Tri Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Di Mesjid" merupakan salah satu karya Chairil Anwar tahun 1943 yang tercantum dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Aku Ini Binatang Jalang. Buku tersebut memuat banyak puisi karya Chairil Anwar dari tahun 1942 sampai 1949 termasuk dua puisi saduran. Puisi "Di Mesjid" berisi tanggapan penyair mengenai dirinya dan orang-orang yang berdoa dalam sebuah bangunan ikonik bagi umat Islam, yaitu Masjid.
ADVERTISEMENT
Di Mesjid
(Chairil Anwar, 1943)
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila
Puisi ini menceritakan pengalaman penyair yang berusaha dibungkam dan digoyahkan oleh sekelompok orang saat dia berdoa dan beribadah di masjid. Namun, hal itu tidak membuatnya untuk berhenti dari berdoa kepada Tuhan.
Diksi dalam puisi "Di Mesjid" sangat tepat, sehingga memudahkan pembaca dalam mengetahui keadaan penyair saat dia beribadah kepada Tuhannya.
Tema yang terkandung dalam puisi "Di Mesjid" adalah usaha untuk berdoa dan beribadah kepada Tuhan meskipun banyak gangguan dan halangan.
ADVERTISEMENT
Pada bait Kuseru saja dia digambarkan bahwa penyair berusaha memanggil dengan nada tinggi kepada sosok Dia yang dapat diartikan sebagai Tuhan. Penyair memanggil Tuhan secara terus menerus dan penuh harap dengan berbagai macam seruan dan pujian.
Bait Sehingga datang juga menjelaskan kedatangan Tuhan yang dirasakan oleh penyair. Penyair merasakan seolah-olah Tuhan datang ketika dia menyeru-Nya dengan berbagai macam seruan pujian. Dia merasa bahwa Tuhan akan mengabulkan seruan dan keinginannya.
Bait Kami pun bermuka-muka menjelaskan bahwa penyair berhadapan dengan Tuhannya. Penyair merasakan Tuhan datang di hadapannya ketika dia meminta dengan berbagai macam seruan takwa. Tuhan mengabulkan doanya saat dia meminta.
Pada bait Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada menggambarkan bahwa keyakinan penyair tentang Tuhannya sudah mendarah daging dalam dirinya. Keyakinan akan kebaikan Tuhan yang akan selalu datang untuk menolongnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pada bait Segala daya memadamkannya dijelaskan bahwa keyakinan yang kuat itu berusaha dilemahkan oleh orang-orang yang tidak suka. Banyak yang tidak suka jika penyair berdoa dan memanggil Tuhannya.
Bait sebelumnya diperjelas lagi dengan Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda. Pada bait ini dijelaskan bahwa orang-orang yang berusaha melemahkan penyair dengan penuh susah payah tidak akan bisa mempengaruhi dirinya untuk berhenti meminta kepada Tuhannya. Penyair berkata bahwa dirinya tidak bisa dipengaruhi oleh mereka.
Ini ruang diartikan kembali kepada judul dari puisi ini, yaitu Masjid. Masjid yang digunakan penyair untuk berdoa dan beribadah kepada Tuhannya.
Bait Gelanggang kami berperang menjelaskan bahwa dalam masjid, penyair dan orang-orang berusaha sekuat tenaga menyembah Tuhannya dengan berbagai bentuk seruan dan perbuatan ketaatan untuk mencari pahala, rida, dan rahmat-Nya. Penyair dan orang-orang melakukan ketaatan untuk mengalahkan hawa nafsu yang mengajak mereka agar tidak menyembah Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Bait Binasa-membinasa menyebutkan bahwa orang-orang yang berdoa Tuhannya akan mendapat pahala menurut keyakinannya masing-masing. Jika keyakinan mereka rusak, maka pahala yang mereka dapat akan berkurang. Bahkan, malah tidak akan mendapat apa-apa.
Satu menista lain menggila memiliki arti bahwa jika ada satu orang saja yang merendahkan diri ketika menyembah Tuhannya, maka dia akan mendapat apa yang dia mau. Begitu juga dengan orang-orang yang rajin berdoa kepada Tuhannya dengan berbagai bentuk peribadatan, mereka akan mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan.
Ritme dalam puisi "Di Mesjid" dibaca lemah agar dapat diketahui dan dinikmati isi dan maknanya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari puisi tersebut adalah kesungguhan dalam berdoa dan beribadah kepada Tuhan karena Dia pasti akan mendengar setiap permintaan dan seruan yang diucapkan hamba-Nya meskipun banyak cobaan dan ujian yang membuat kita lemah saat meminta kepada-Nya.
ADVERTISEMENT