Konten dari Pengguna

Novel Saman Ayu Utami: Ketidakadilan Seks pada Perempuan & Kritik Sosial Politik

Tri Utami
Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran yang gemar menulis dan sedang aktif menulis cerita rekaan (fan fiction) di platfrom X atau Twitter.
21 Maret 2024 18:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Novel Saman Karya Ayu Utami
zoom-in-whitePerbesar
Cover Novel Saman Karya Ayu Utami
ADVERTISEMENT
Novel Saman karya Ayu Utami ini terbit pada masa Orde Baru, di mana novel ini merupakan gambaran kehidupan nyata di masa Orde Baru. Novel Saman mendapat pujian dari sastrawan Indonesia lainnya karena keberanian Ayu dalam mengangkat isu sosial politik dan seksualitas perempuan. Novel Saman juga mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1998 karena berhasil menyajikan isu seksualitas wanita yang merupakan hal tabu untuk diungkapkan di masa itu.
ADVERTISEMENT
Ayu Utami merupakan penulis perempuan yang berani dalam mengungkapkan hal tabu seperti tentang seksualitas. Beliau juga sangat berani dalam mengungkapkan hal-hal yang beliau yakini merupakan masalah mengenai tidak adilan atas hak-hak perempuan. Ayu Utami berkata dalam wawancara bersama siaran internasional Deutsche Welle bahwa “Seks itu pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan, termasuk dirinya. Namun banyak cara membongkar ketidakadilan gender, tapi saya memilih tema seksual, karena itu penting dan tidak banyak orang yang mau menempuhnya. Ketidakadilan yang menimpa perempuan berpangkal pada seks. Pandangan bahwa perempuan itu makhluk lemah, kurang mampu, emosional, harus dilindungi, sehingga tidak mampu memutuskan sendiri dan karena itu harus dipimpin. Itu semua berawal dari pemahaman yang salah mengenai seksualitas.”
ADVERTISEMENT
Hampir semua hukum dalam sistem budaya patriarki didasarkan pada pengalaman laki-laki, sehingga norma-norma tersebut cenderung mengikat perempuan. Seksualitas perempuan diobjekkan oleh budaya patriarki. Dalam hal ini, seksualitas perempuan hanya dilihat sebagai objek, dan fungsinya terbatas untuk memberikan kenikmatan seksual kepada laki-laki (Sudiati, 2016).
“Aku selalu bertanya apa yang dia lakukan. Aku dicium, jawabnya satu pagi. Tak boleh lagi kamu dicium, kataku, besok-besok kamu harus ciuman. Suatu siang ia laporan: semalam aku ciuman. Dan apakah kamu basah? -tanyaku. Tidak tahu, katanya, apa bedanya dengan keputihan?” (Utami, 1998: 131).
Pada kutipan novel di atas, perempuan yang selama ini menjadi objek seksual laki-laki memposisikan dirinya sebagai subjek yang menguasai sesksialitas pada laki-laki. Perubahan ini merupakan kritik terhadap tradisi patriarki yang selama ini ada di masyarakat. Karena dalam budaya patriarki, laki-laki sangat aktif dalam berhubungan seks, sedangkan perempuan bersifat pasif. Laki-laki selalu dapat memilih kapan saja mereka ingin melakukan seks, namun wanita tidak bisa seperti itu.
ADVERTISEMENT
Selain mengangkat isu seksualitas yang tertanam dalam budaya patriarki di masyarakat, novel Saman juga mengangkat isu tentang sosial politik. Terlihat pada kutipan berikut ini: "Lalu mereka berbicara singkat saja. “Kami menjalankan tugas dari Bapak Gubernur.” Salah satunya mengacungkan selembar kertas berkop pemda, tapi tidak menyerahkan kepadanya Anson. “Menurut SK beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan sawit. Perusahaan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” (Utami, 1998: 92).
Kutipan di atas menunjukkan adanya pemaksaan dari oknum pejabat pemerintah tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Ayu Utami menggambarkan kejadian-kejadian politik pemerintah dalam mengatur sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat Sei Kumbang dengan sangat jelas.
ADVERTISEMENT
"Di Jakarta, hampir tidak ada warta- wan diculik dan disiksa. Tapi itu terjadi di daerah.” (Utami, 1998: 174). Terlihat pada kutipan dari novel di atas bahwa penculikan dan penyiksaan pers pada masa Orde Baru adalah hal yang biasa, terlebih pada wartawan di daerah. Seperti yang dituliskan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam bulu kritik sastra yang berjudul Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara bahwa “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran.” Sebagai seorang jurnalis sekaligus penulis, Ayu Utami mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang terjadi di lapangan yang tidak dapat beliau ungkapkan di media sebagai jurnalis pada masa itu melalui novel Saman.