Konten dari Pengguna

Dua Garis Biru yang Tak Diinginkan

Tri Vosa Febiola Ginting
Reporter kumparan di Medan
23 September 2023 0:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Vosa Febiola Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi test pack. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi test pack. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Bagi beberapa pasangan, atau bahkan banyak pasangan, dua garis biru adalah hal yang sangat dinanti-nanti. Ya, garis biru pada alat yang bernama test pack. Itu buat cek kehamilan.
ADVERTISEMENT
Tapi, tidak buat pasangan yang belum menikah yang kemarin ku temui, itu bukanlah hal yang dinanti. Bahkan, tak diinginkan sama sekali oleh mereka.
Sebut saja namanya Ana dan Bima. Aku tak mau sebutkan nama aslinya, menghargai sebuah kepercayaannya yang mau bercerita padaku, orang asing yang baru dia temui sekitar 3 jam yang lalu.
Mari kita mulai ceritanya. Hari itu, Selasa (19/9), aku berangkat dari rumah siang hari sekitar pukul 13.00 WIB menuju sebuah panti asuhan di Kota Medan.
Aku ke sana untuk bekerja, aku seorang reporter. Jujur, aku tak punya ekspektasi apa-apa sejak berangkat. Hanya ingin membuktikan sesuatu dan mengecek fakta yang sebenarnya.
Selain bekerja, bisa bertemu adik-adik di panti rasanya juga menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Aku tiba di sana sekitar pukul 13.30 WIB. Jujur saja, awalnya aku takut tak diterima. Apalagi, saat ada isu mengemuka, reporter tentu orang yang sangat dihindari. Tapi, ternyata aku salah. Mereka menerimaku dengan baik.
Mulanya, aku berhenti di depan bangunan yang terlihat usang itu. Kupandangi terus-terusan. Aku yakin tak yakin mematikan mesin motorku.
Lalu, ada anak kecil di depan bangunan itu. Kucoba sapa saja.
“Bapak sama ibu panti ada gak dek?” tanyaku pada anak laki-laki itu.
“Ibu ada, tapi bapak pergi, enggak ada kak,” katanya yang sambil heran memandangiku.
Aku meminta izin untuk masuk dan diperbolehkan. Mereka membantu membukakan gerbangnya.
“Enggak usah lebar-lebar dibukanya, motornya kecil kok,” kataku sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Aku masuk ke dalam bangunan berwarna hijau yang telah kusam itu. Kutemui ibu pantinya.
Wajahnya tampak lelah mengurus 26 anak di sana. Tapi dia tersenyum.
Aku tak mau buang waktu. Tadinya, niatku hanya bercerita-cerita dulu. Saat kulihat dia welcome, aku ganti strategi. Langsung kusebutkan mauku.
“Ibu, aku mau tanya sesuatu,” kataku.
Ibu itu langsung memegang seorang bayi laki-laki yang diletakkan di atas sebuah tikar. Tempat kami duduk juga. Diceritakanlah soal bayi dan peristiwa itu.
Lalu, aku langsung dikelilingi puluhan anak di sana. Mereka tampak penasaran akan kehadiranku.
Adik-adik itu juga bercerita kondisi di sana.
Lalu, sekitar pukul 17.00 WIB, ayah panti itu pulang. Aku bercerita banyak dengannya. Aku bisa melihat ketulusannya. Tapi, aku juga tak bisa benarkan apa yang dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Katanya, Dinsos akan segera datang. Jujur aku kaget. Dari ceritanya, tercetuslah beberapa berita.
Sembari menunggu Dinsos datang, kami wawancara untuk kebutuhan kerjaku. Sesekali, kulihat dia sibuk. Menelepon seseorang. Ternyata, dia sedang menelepon ibu bayi 2 bulan itu.
Katanya, Dinsos minta bayi 2 bulan itu dikembalikan. Dia pun terima saja soal keputusan itu.
Tak berselang lama, seorang perempuan muda berbaju hitam dan bermasker datang. Ternyata, usianya masih sebayaku, 24 tahun.
Tapi, dia masih kuliah. Masih skripsian. Dialah yang kunamai Ana dalam tulisan ini. Dialah ibu dari bayi mungil itu.
Kutanyakan, apakah dia sudah menikah. Belum katanya. Aku tak mau menghakimi, jadi kutanya saja dia jurusan apa. Sedang mengusahakan sebuah gelar sarjana.
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian, dia tertunduk menangis. Aku kaget.
“Kakak kenapa?” tanyaku.
Dia pun menjawab. Katanya sebuah pesan masuk ke handphone-nya. Pesan itu dari keluarga ayah bayi itu. Ayahnya kunamai saja Bima. Mereka ini ternyata masih pacaran.
Selama ini, bayi itu ditutupi. Tak ada yang tahu, hanya Ana dan Bima, dan beberapa temannya. Tidak dengan keluarga mereka. Bayi itu dititipkan ke panti saat usia 2 hari.
Ya, bayi itu hasil hubungan layaknya suami-istri yang tak seharusnya terjadi. Jadi, mereka takut menyampaikan ke keluarga. Terlebih Ana yang masih kuliah.
Tak lama, Bima juga datang ke panti itu. Dia datang bersama om dan tantenya.
Tibanya di panti, suasana jadi sedikit kurang nyaman. Sebab, ada sedikit keributan di sana. Itu karena keluarga Bima tak terima Ana dan Bima menyembunyikan telah punya bayi.
ADVERTISEMENT
“Kalau kau bilang ini anakmu, kan bisa kita rawat sama-sama! Enggak perlu viral dulu, semua orang tahu!” katanya ke Bima.
Bima cuma tertunduk. Ana juga. Lalu, seorang pria dari Forum Panti Kota Medan meminta agar Ana dan Bima untuk menggendong dan mengambil kembali bayinya itu.
Tapi, Ana tertunduk sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu, Bima memalingkan wajahnya. Mereka tampak tak menginginkan bayi itu.
“Jangan geleng-gelenglah. Ini anakmu. Mirip sama kamu!” kata seorang pria berompi coklat di sana.
Lalu, Ana dan Bima menggendong bayi itu bergantian. Sesekali dia meletakkan bayi itu di ayunan. Sesekali di ranjang bayi. Sesekali pula digendong oleh orang asing di sana.
Hingga pukul 22.00 WIB aku masih di sana. Kupandangi Ana dan Bima. Bukan menghakimi. Aku cuma membayangkan saja, bagaimana akhir dari kisah mereka berdua itu. Sebab, di malam itu, orang tua Ana di kampung masih belum tahu kalau Ana sudah punya anak.
ADVERTISEMENT
Yang mereka tahu, anaknya sedang di Medan, menempuh pendidikan untuk mendapatkan sebuah gelar sarjana.
Dua garis biru yang tidak diinginkan itu jadi cerita berarti bagiku. Ada dua hal yang bisa aku petik dari cerita ini. Pertama, jika tak siap bertanggungjawab, jangan lakukan.
Kedua, dari sudut bayi itu. Kembali ke pelukan ibundanya merupakan takdir baik. Di balik peristiwa pasti ada jalan cerita-Nya.