Konten dari Pengguna

Larangan Robot Pembunuh: Apakah Prematur Bagi Keamanan Internasional?

Tria Nadila Desanti Margono
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
6 Juli 2022 11:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tria Nadila Desanti Margono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Campaign to Stop Killer Robots dalam Konferensi Pers UNGA tahun 2019. Sumber: Ari Beser.
zoom-in-whitePerbesar
Campaign to Stop Killer Robots dalam Konferensi Pers UNGA tahun 2019. Sumber: Ari Beser.
ADVERTISEMENT
Kini sudah waktunya bagi kita untuk menyadari bahaya Robot Pembunuh dan mendukung proses stigmatisasinya. Alih-alih mewujudkan cita-cita perdamaian dunia, upaya sejumlah negara dalam mengembangkan Robot Pembunuh justru membuka opsi perang. Terlebih, wujud senjata ini semakin terlihat, tidak sampai 10 tahun pasca pembahasan senjata otonom pertama diangkat dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2013 (Sauer, 2022). Apabila terus berlanjut, hal ini dapat menstimulasi potensi proliferasi senjata otonom dalam kurun waktu yang cukup singkat, seperti halnya senjata nuklir. Proliferasi Robot Pembunuh akan lebih berbahaya karena dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Alhasil, menjadi penting untuk menyadari keharusan dalam melarangnya.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran terhadap perkembangan Robot Pembunuh kian meningkat pasca Pertemuan Informal PBB di Jenewa tahun 2021 silam. Pertemuan ini dinilai tidak memberikan hasil signifikan setelah Amerika Serikat dan Rusia menolak inisiasi 125 negara yang mendesak pelarangan Robot Pembunuh dalam Convention on Certain Conventional Weapons (CCW) (Satariano, Cumming-Bruce, & Gladstone, 2021). Di sisi lain, AS bersama Australia, Israel, dan Korea Selatan juga meyakini bahwa senjata ini mampu memberikan kemanfaatan bagi masa depan militer, sehingga pelarangannya merupakan langkah yang dinilai prematur (Acheson, 2020). Penggunaan Robot Pembunuh mulai terdeteksi sejak dua tahun terakhir. Antara lain drone Kargu-2 milik Turki pada Perang Saudara di Libya dan drone bunuh diri Kamikaze KUB-BLA milik Rusia di Ukraina, yang direspons dengan drone Bayraktar TB2 buatan Turki (Trager & Luca, 2022).
ADVERTISEMENT
Robot Pembunuh atau Killer Robots merupakan istilah untuk Lethal Autonomous Weapons System (LAWS). LAWS adalah sebuah sistem senjata yang mampu membuat keputusan dengan sedikit bahkan tanpa campur tangan manusia segera setelah diaktifkan (ICRC, n.d.). Para ahli berpendapat bahwa eksistensi Robot Pembunuh merupakan ancaman yang nyata bagi keamanan internasional, setelah mesiu dan senjata nuklir di awal revolusi perang. Penolakan pun datang dari sejumlah ilmuwan dan tokoh penting, seperti Stephen Hawking dan Elon Musk. Lalu, mengapa negara memiliki tendensi untuk menciptakan Robot Pembunuh?
Simbolisasi Kekuatan Negara
Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) merupakan simbolisasi dari kapabilitas militer suatu negara. Seiring dengan dinamika revolusi teknologi, kemampuan untuk mengembangkan Artificial Intelligence (AI) pun menjadi karakteristik kemajuan suatu negara. Pada kasus great powers, pengombinasian antara kapabilitas militer dengan AI mampu memperkuat validasi kekuatan mereka di panggung politik internasional.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat melalui peningkatan rivalitas AS-Cina. Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa Cina mampu menjadi pemimpin dunia di bidang AI pada tahun 2030, dimulai dari persaingannya dengan AS (Chan, 2019). Sebaliknya, AS ingin mempertahankan statusnya sebagai negara adidaya dengan mengembangkan LAWS. Robot Pembunuh memang menjadi inovasi militer yang diprediksi akan meminimalisir implikasi perang terhadap kombatan, mendiskriminasi targetnya, dan mampu membuat keputusan tanpa dipengaruhi emosi. Sayangnya, AI hanyalah subject to failed (Acheson, 2020) dan negara great powers perlu memperhitungkan dampaknya.
Disadari atau tidak, pengembangan Robot Pembunuh telah mempersempit jalan menuju pencapaian cita-cita perdamaian dunia. Ada dua alasan yang membuat logika ini relevan.
Pertama, penggunaan istilah mematikan atau lethal dalam LAWS sebenarnya menunjukkan urgensi kewaspadaan terhadap Robot Pembunuh. Jika diukur berdasarkan kontrol manusia di dalamnya, AWS berkembang mulai dari semi-autonomous, fully-autonomous, hingga lethal autonomous. Dengan titel 'mematikan' tanpa keterlibatan manusia, LAWS telah mengikis makna perdamaian dengan melanggar hak individu untuk merasa aman. Ditambah dengan adanya dugaan bahwa ilmuwan nuklir Iran telah dibunuh menggunakan robot bersenjata. Artinya, non-kombatan termasuk ke dalam target LAWS.
ADVERTISEMENT
Kedua, mayoritas negara yang diketahui mengembangkan LAWS adalah great powers. Setidaknya terdapat 12 negara yang telah mengembangkan Robot Pembunuh, termasuk AS, Rusia, Cina, Inggris, Prancis, Israel, dan Korea Selatan (Acheson, 2020). Dari segi militer, mudah bagi negara-negara tersebut untuk mempersiapkan dan mendeklarasikan perang. Dari segi politik, suara dan hak mereka pun cukup kuat di forum-forum internasional, seperti Dewan Keamanan PBB.
Dengan demikian, apakah Anda masih berpikir bahwa Robot Pembunuh tidak akan berdampak pada kehidupan kita? Mari lihat realitanya bagi keamanan internasional saat ini. Di tengah dunia yang semakin terintegrasi, dinamika politik internasional justru semakin kompleks. Perang Rusia-Ukraina, yang disinyalir menggunakan LAWS, turut memberikan dampak negatif terhadap kondisi politik dan ekonomi sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kedepannya, persaingan yang terus memanas berpotensi menyebabkan eskalasi konflik. Dalam waktu singkat, bukan tidak mungkin negara-negara Global South dapat bertransformasi menjadi medan perang bagi persaingan great powers. Selain itu, adanya kemungkinan proliferasi senjata juga memberikan ancaman baru.
ADVERTISEMENT
Potensi Proliferasi
Berbeda dengan senjata nuklir, proliferasi LAWS seringkali disebut sebagai difusi teknologi atau kapabilitas untuk mengembangkan. Salah satu teori yang menjelaskan mengenai proses tersebut adalah teori Adoption-Capacity (ACT). Berdasarkan Wyatt (2020), ACT berargumen bahwa proliferasi terjadi ketika demonstrasi inovasi militer mendorong keputusan untuk turut berinovasi, dengan syarat entitas yang mengikuti mampu secara finansial dan siap menghadapi perubahan tatanan perang. Entitas tersebut tidak terbatas pada aktor negara, melainkan juga aktor komersial dan non-negara lainnya (omnidirectional). Dalam beberapa kasus, fenomena ini seringkali dikaitkan dengan kelompok-kelompok bersenjata transnasional. Proses difusi teknologi ini kemudian akan menciptakan ketimpangan kuasa antar negara, ancaman transnasional, dan merampas rasa aman komunitas internasional. Mengacu pada laporan PAX (n.d.), implikasi dari proliferasi Robot Pembunuh adalah sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
1. Meningkatkan Kompleksitas Konflik dan Perlombaan Senjata dengan Solusi Politik yang Minim
Di tengah perdebatan proliferasi nuklir yang tidak kunjung usai, pengembangan LAWS hanya akan meningkatkan tensi konflik dan memperumit perlombaan senjata di dunia. Tanpa intervensi manusia, ketiadaan bukti konkrit keterlibatan pihak terkait akan mempersulit tindakan legal serta diplomasi dan negosiasi. Berdasarkan data Korea Peace Now (n.d.), fakta inilah yang mendorong banyak ilmuwan Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) menandatangani petisi untuk memboikot Robot Pembunuh, seperti robot SGR-A1 yang terpasang pada Zona Demiliterisasi pada tahun 2006. Hal ini hanya akan memperumit peluang damai di Semenanjung Korea.
2. Menyimpang dari Norma Kemanusiaan
Secara etika, LAWS merupakan wujud dehumanisasi. Kemampuan Robot Pembunuh untuk menentukan target tanpa campur tangan manusia dianggap sebagai tindakan asimetris yang menyimpang dari hukum kemanusiaan internasional. Pihak-pihak yang menolak Robot Pembunuh menjustifikasi bahwa nyawa manusia tidak sepatutnya ditentukan oleh algoritma (Bode, 2020). Oleh karena itu, pelarangannya perlu diupayakan oleh komunitas internasional sebagai wujud perlindungan terhadap norma kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
3. Mendorong Inovasi Tandingan
Secara teknis, LAWS memiliki sifat yang tidak dapat diprediksi secara akurat. Selain proliferasi dalam bentuk senjata, inovasi teknologi lain dapat mengelabui penggunaannya. Salah satu contoh AI yang dimaksud adalah deep fakes, dimana teknologi mutakhir ini dapat digunakan untuk mengubah wujud atau bentuk dari target yang dituju oleh pihak lawan.
Stigmatisasi Terhadap Robot Pembunuh
Saat ini, solusi yang dapat dilakukan adalah menempatkan isu stigmatisasi LAWS sebagai salah satu fokus pembahasan keamanan di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional, konsekuensi negatif dari Robot Pembunuh perlu diperhatikan dalam konteks difusi teknologi aktor negara maupun non-negara. Di tingkat internasional, diperlukan diskusi yang lebih komprehensif dan instrumen legal yang lebih mengikat. Adapun saran untuk membentuk suatu Kode Etik perlu dipertimbangkan kembali karena memberikan lebih banyak waktu bagi proliferasi LAWS. Para aktor non-negara, seperti dalam gerakan Campaign to Stop Killer Robots, pun perlu terus mengampanyekan ancaman Robot Pembunuh sehingga pelarangan ini dapat menjadi norma yang diterima secara universal.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, proliferasi Robot Pembunuh menghasilkan dampak yang tidak pasti dan membahayakan. LAWS tidak harus bernasib sama dengan senjata nuklir. Tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk mendorong upaya non-proliferasi hingga pemusnahan. Maka, larangan LAWS sejak dini bukanlah langkah prematur. Robot Pembunuh telah hadir di depan mata kita. Pelarangan LAWS akan membuktikan bahwa eksistensi dan keterlibatan manusia tetap yang paling utama di era kemajuan teknologi dan inovasi militer saat ini.
Referensi
Acheson, R. (2020). A WILPF Guide to: Killer Robots. Women's International League for Peace & Freedom. https://www.wilpf.org/wp-content/uploads/2020/04/WILPF_Killer-Robots-Guide_EN-Web.pdf.
Bode, I. (2020, October 15). The threat of ‘killer robots’ is real and closer than you might think. The Conversation. https://theconversation.com/the-threat-of-killer-robots-is-real-and-closer-than-you-might-think-147210
Chan, M. K. (2019, September 13). China and the U.S Are Fighting a Major Battle Over Killer Robots and the Future of AI. Time. https://time.com/5673240/china-killer-robots-weapons/.
ADVERTISEMENT
ICRC. (n.d.). Autonomous Weapon Systems. https://casebook.icrc.org/case-study/autonomous-weapon-systems.
Korea Peace Now. (n.d.). Factsheet: Killer Robots and South Korea. https://koreapeacenow.org/wp-content/uploads/2020/12/KPN-Killer-Robots-Factsheet_final.pdf.
PAX. (n.d.). 10 reasons to ban killer robots. https://paxforpeace.nl/media/download/pax-ten-reasons-to-ban-killer-robots.pdf
Sauer, F. (2022). Lethal autonomous weapons systems. In A. Elliott (Eds.), The Routledge Social Science Handbook of AI (pp. 237-250). Routledge.
Satariano, A., Cumming-Bruce, N., & Gladstone, R. (2021, December 17). Killer Robots Aren’t Science Fiction. A Push to Ban Them Is Growing. The New York Times. https://www.nytimes.com/2021/12/17/world/robot-drone-ban.html
Trager, R. F. & Luca, L. M. (2022, May 11). Killer Robots Are Here—and We Need to Regulate Them. Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2022/05/11/killer-robots-lethal-autonomous-weapons-systems-ukraine-libya-regulation/.
Wyatt, A. (2020). Exploring the Disruptive Impact of Lethal Autonomous Weapon System Diffusion in Southeast Asia. [PhD Thesis, Australian Catholic University]. https://doi.org/10.26199/acu.8vyv7.
ADVERTISEMENT