news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Menjerat Para Pencoleng Bansos

Tri Suharman
Saya adalah produser news TV swasta nasional dan sedang menempuh pendidikan S3 Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana Jakarta
6 Agustus 2020 9:29 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Suharman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
TEMUAN Satuan Tugas Khusus Pengawasan Dana COVID-19 Mabes Polri tentang dugaan penyelewengan dana bantuan sosial, baik itu Bantuan Sosial Tunai (BST) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT), sejatinya bukan suatu yang mengagetkan publik.
ADVERTISEMENT
Pun demikian bukan hal baru, ketika Mabes Polri menyebut terduga pelaku sindikat pencolengan bantuan untuk warga terdampak Covid-19 adalah seorang kepala daerah, kepala dinas, camat, kepala desa atau perangkat desa, dan bahkan Ketua RT (Devina Halim, Kompas.com).
Sebab sejak awal, bakal amburadulnya kebijakan instan pemerintah di tengah pandemi sudah diprediksi banyak pihak. Bahkan alarm bahaya terhadap bantuan yang bersumber dari Kementerian Sosial maupun dana desa ini sudah diperingatkan oleh lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak awal Mei.
SMRC menyebut sebanyak 49% warga dari 1.235 respondennya di seluruh Indonesia menyatakan bantuan sosial belum mencapai sasaran (Sandy Baskoro, Kontan.co.id). Berdasarkan pengakuan 60% responden SMRC, terdapat warga lain yang berhak, tapi belum menerima bantuan. Bahkan 29% responden mengaku menemukan bansos diberikan kepada yang tidak berhak.
ADVERTISEMENT
Kala itu, hasil survei yang disiarkan di televisi dan media cetak/online nasional itu dilakukan di tengah proses penyaluran bansos pada tahap pertama yakni pada Mei 2020. Bahkan di sejumlah daerah, masih banyak yang belum rampung melakukan penyaluran bansos pada Mei. Misalnya di Jawa Tengah yang baru mencapai 95,06% penyaluran bansos tahap pertamanya pada akhir Juni (Diskominfo Jateng, jatengprov.go.id).
Sementara masih terdapat dua tahap lagi yakni dihitung untuk pembagian Juni dan Juli 2020. Artinya, pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga ke akar rumput sejatinya sudah melakukan mitigasi agar persoalan ini tidak terjadi. Dan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak berusaha melakukan hal tersebut.
Nah, bila mitigas sudah dilakukan dan upaya untuk menutup kebocoran bansos sudah diantisipasi. Pertanyaan besar pun timbul; mengapa persoalan seputar penyaluran bansos masih saja menjadi momok hingga tahap tiga pada Juli? Tentu tidak relevan lagi, bila pemerintah disebut minim persiapan. Tak elok pula bila persoalan ini menjadi dalih bentuk kelalaian para penyelenggara.
ADVERTISEMENT
Merujuk penjelasan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri Brigjen Awi Setiyono, pemotongan dana bansos sengaja dilakukan oleh aparat yang berkepentingan. Walaupun Awi menyebut tujuan pemotongannya untuk azas keadilan yang disepakati oleh penerima bansos (Sri Utami, Mediaindonesia.com).
Dari penjelasan tersebut, terdapat dua kata yang perlu ditelisik lebih jauh. Yakni penekanan pada unsur sengaja. Kedua, adalah penekanan soal kesepakatan. Sebab kenyataan di lapangan, indikasi bahwa kesengajaan untuk kebutuhan pribadi dan dugaan pemotongan tanpa kesepakatan penerima justru banyak ditemui.
Setidaknya hal itu tergambar pada aduan di Ombudsman RI. Lembaga ini mengakui bahwa pemotongan atau kerap disebut penyunatan dana bansos oleh aparat berwenang menjadi salah satu dari sekian ribu aduan terkait bansos ke lembaga tersebut. Salah satunya, menurut Ombudsman RI, terjadi di Sulawesi Barat. Pemotongan jumlah bantuan sosial yang awalnya Rp 600 ribu menjadi Rp 300 ribu (Achmad Nasrudin Yahya, Kompas.com).
ADVERTISEMENT
Reaksi masyarakat terhadap dugaan pemotongan dana bansos juga mencuat di sejumlah daerah. Salah satunya demo warga Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada 20 Juli 2020. Mereka menuntut dana bansos yang dipotong senilai Rp 100 ribu dikembalikan (Seli Andina Miranti, Tribunnews.com).
Lebih gawat lagi di Desa Buluduri, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Warga mengaku hanya mendapatkan dana bansos Rp 100 ribu. Kendati aparat desa setempat juga berdalih hal tersebut bentuk kesepakatan dengan warga, toh, kasus itu akhirnya bergulir di kepolisian setempat (Wito Karyono, Tribunnews.com).
Temuan tersebut mengindikasikan bahwa tak semua pemotongan dana bansos melalui kesepakatan para penerima. Namun ada indikasi yang bisa jadi merembet pada pidana korupsi. Sehingga perlu penelusuran yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi alat jerat bagi mereka yang berlaku korupsi terhadap dana bansos ini. Pasal 2 ayat 2 sudah mengatur soal pidana mati bagi mereka yang mempermainkan dana-dana untuk bencana nasional seperti Covid-19 ini.
Soal penyelenggara negara yang hobi sunat-menyunat juga terdapat pada pasal 12 huruf e. Mereka bisa dijerat dengan pidana penjara seumur hidup, serendah-rendahnya 4 tahun, dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Oleh karena itu aparat penegak hukum tak boleh memandang ini hanya persoalan administrasi semata. Namun sejatinya adalah menguatnya indikasi patgulipat korupsi di dalamnya. Bahkan bisa jadi dugaan korupsinya sudah pada ranah terstruktur dan sistematis. Itu ditandai dengan dugaan keterlibatan dari pucuk pimpinan hingga bawahan.
ADVERTISEMENT
Harus digarisbawahi bahwa kebijakan penyaluran dana bantuan sosial ini sudah menyerap anggaran mencapai Rp 56,66 triliun dari alokasi Rp 178,9 triliun yang disediakan hingga pertengahan Juni 2020 (Syamsul Ashar, kontan.co.id). Bahkan bantuan sosial bakal diperpanjang hingga Desember 2020. Sehingga bila pelakunya tak ditindak, dikhawatirkan bansos justru menjadi ajang pesta pora para pencoleng.
Warga pun tidak boleh bertindak pasrah. Banyak kanal yang bisa dimanfaatkan dan disediakan penegak hukum untuk mengadukan kecurangan penyaluran bansos. Salah satu yang paling gampang misalnya aplikasi JAGA bansos oleh KPK. Aplikasi yang bisa diunduh lewat PlayStore dan AppStore itu sudah dijamin KPK aman bagi pelapor. Sehingga ini sekaligus menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk peduli bahwa dana bansos benar-benar jatuh ke tangan yang berhak. Dan para pencoleng bansos itu enyah di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Tri Suharman Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mercu Buana Praktisi Media